Part 1

55.4K 2K 36
                                    

Pagi ini terik sekali. Matahari tanpa malu bersinar begitu terangnya. Padahal ini baru pukul enam pagi, bagaimana siangnya nanti. Jalanan mulai ramai di padati, penjual kaki lima telah menggelar lapaknya di sisi jalan. Kicauan burung memeriahkan pagi cerah ini. Aku mengelap sisa-sisa embun pada kaca jendela kamarku, menggunakan sapu tangan yang biasanya sering aku bawa. Biarlah nanti bisa di cuci. Angin berhembus menerbangkan gorden berwarna biru langit. Ku panjatkan do'a yang sering ibu ajarkan padaku dikala bangun tidur.

Menyusun daftar pelajaran dan menyiapkan seragam sebagai langkah pertama, mengawali aktivitas senin pagi ini. Kemudian bergegas mandi.

"Riin" panggilan akrab yang sering aku dengar dari seseorang yang melahirkanku. Menjadi kebiasaan ketika jarum jam membentuk sudut sembilan puluh derajat.

"Ayo buruan sarapan, nanti kamu telat" panggil ibu memperingati.

"Ya, bu. Nanti aku kesana" sela ku disamping mengancingi blazer hitam khas murid SMA TARUNA BANGSA.

Ku lirik jam weker di atas meja belajar, yang menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Selalu. Sepertinya ibu selalu hapal dengan kebiasaannya satu ini. Mengucapkan kalimat berulang yang sering aku dengar tiap pagi. Apa dia tidak bosan ya?

Langkah demi langkah ku turuni anak tangga, lalu berbelok menuju ruang makan sekaligus dapur.

Tas jinjing ku letakkan di bangku sebelah dan duduk di kursi sampingnya. Ibu memberikan nasi goreng bertabur bawang goreng dan potongan sosis, jenis sarapan yang sering kami makan setiap pagi.

Ku amati penampilan ibu sambil mengunyah nasi goreng buatannya, ia tampak berbeda dari hari biasanya. Blous putih beserta rok pensil melekat di tubuhnya dengan pas. Di umur yang sudah berkepala empat, ibu tetap cantik dan awet muda. Aku ingin sekali bertanya tapi keragu-raguan mengganjal kerongkongan hingga kata-kata yang akan diucapkan, tertelan didasar hati terdalam.

"Ibu mau kemana?" setelah bergelut dengan berbagai pikiran, akhirnya kata itu bisa juga terucap.

"Ibu mau melamar kerja" Sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.

"Bukannya, ibu sudah mendapatkan perkerjaan" tanyaku spontan dan aku langsung menyesalinya.

"Ibu di pecat" ujarnya padat, jelas dan tepat. Setelah itu hanya terdengar dentingan sendok dan jarum jam berdetak mengingatkan waktu yang akan terus berjalan.

"Aku pamit bu" ucapku mencium punggung tangannya.

"Hati-hati" bisiknya kecil nyaris tak terdengar.

Seulas senyum terbit di bibir ini, mengiringi langkah keluar menuju sekolah. Tempat dimana aku akan menuntut ilmu selama dua setengah tahun kedepan. Akhirnya aku mendengar kata pengertian itu dari sosok yang telah mengandungku, setelah hilang beberapa tahun belakangan dan kata itu terucap kembali walau hanya bisikan tanpa ada kecupan dikening ataupun usapan di kepala. Aku tetap senang. Karena dirinya masih mengingatku.

Setelah kepergian seseorang yang menjadi punggung keluarga maupun panutan, ibu menjadi berbeda. Ia tidak seceriah dulu. Beliau menutup dirinya dari dunia luar termasuk diriku. Ia begitu pendiam dan tidak tersentuh.

Raut wajah lelah sering aku temukan dikala dirinya pulang sehabis kerja. Ketika kami bersitatap ia hanya memandangku hampa lalu pergi mengunci dirinya di kamar.

Kadang ketika tengah malam telah merangkak, sering aku dengar suara tangisan manakala saat aku melewati pintu kamarnya untuk minum.

Namun aku hanya bisa diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Ingin aku menjadi Irene teman sekelasku yang berbicara blak-blakan untuk menyampaikan pendapatnya. Ia tidak memikirkan apakah ucapannya menyakiti orang lain atau tidak yang penting argumennya telah tersampaikan. Masalah mau marah atau memaki, urusan belakangan. Sudah ku coba, tapi aku malah di cap aneh. Apa yang salah dengan perkataanku, aku hanya ingin menyampaikan apa yang ku rasa. Mereka malah menjauhiku dan perkataanku menjadi bahan lelucon untuk mereka.

Hati ini ingin menangis rasanya melihat diri jadi bahan tertawaan. Membela? Percuma, mereka semakin menertawakanku habis-habisan. Hal bisa yang dilakukan hanya diam dan menundukan kepala agar tak menatap mereka atau pergi ke perpustakaan mencari buku yang besar untuk menutupi wajah lalu menangis dalam diam.

Seperti hari ini baik laki-laki maupun perempuan berbisik-bisik ketika aku jalan di koridor sekolah. Telinga ini terasa panas dan gatal, rasanya inginku tarik saja sampai lepas. Tapi itu tak mungkin ku lakukan. Sebagai pelarian aku ke perpustakaan, tempat teraman untuk menjernihkan otak dan hati yang terasa panas.

Tak banyak orang di tempat ini, mungkin bisa dihitung dengan jari. Ku cari buku secara asal, lalu membukanya. Rangkaian tulisan yang tersusun rapi disana tampak mengabur dalam penglihatanku. Cairan bening mulai menelusuri pipi ini. Jatuh menetes membasahi buku yang dibaca. Ku ubah posisi menjadi tegak, menghalau orang-orang agar tidak melihat wajahku yang mengenaskan.

Beginilah aku, murid biasa yang selalu kesepian. Masalah yang datang bertubi-tubi belum lagi cemoohan dari teman sekelas. Menjadikan diriku pemurung. Tak ada tempat untuk berbagi ataupun sekedar mengucapkan satu kata saja.

Dulu ketika ada ayah, aku tidak akan kesepian seperti ini. Ia akan selalu mendengarkan celotehanku walaupun hanya khayalan dan karanganku semata. Ia akan selalu mengabulkan keinginanku, menjadi sosok yang akan memelukku ketika ada anak nakal yang menggangguku. Dan ibu akan mengusap kepalaku dengan sayang. Benar- benar kenangan yang indah. Dapatkah itu terjadi lagi dalam hidupku?.

Air mataku menetes tanpa henti. Mengingat semua kenangan itu membuat dada ini sesak. Menghirup udarapun menjadi susah. Entah, aku tak tau bagaimana penampilanku saat ini. Apakah aku peduli pada penampilan saat sekelumit masalah ini menghantam bathin ini?.

"Apakah kau sudah membaca bukunya?" suara itu menyentakku dalam lamunan. Cepat-cepat ku hapus air mata yang membasahi pipi, namun karena ingin menghapus jejak ini. Membuat buku yang ku pegang terlepas. Gerakan ku terhenti, sepercik rasa aneh mulai menelusup relung hati. Manakala mata coklat nan tajam itu menatapku dalam rautnya yang tak terbaca. Bibir ini keluh tak ada kata yang bisa terucap selain keterpanaan akan sosok yang berdiri dihadapan.

Kesadaran menyentakku keluar, ketika jemari tangan kokoh mengusap pipi ini dengan gerakan lembut dan penuh kehati-hatian. Paru-paru ini terasa sesak karena tidak ada suplai oksigen yang terhirup. Sejak tangan itu menyentuh pipiku, tubuh ini secara otomatis tak bergerak bahkan bernafas pun tidak.

Aku berdiri dengan cepat, mengakibatkan kursi yang ku duduki terdorong hingga menimbulkan decitan yang menyakitkan telinga. Semua mata kini tertuju padaku, begitu pun Ibu Mila yang menjaga perpustakaan merasa terganggu dengan ulah ku barusan. Berbagai spekulasi muncul di tempurung kepalaku yang kecil ini, aku yakin setelah ini mereka akan memaki atau mengeluarkan umpatan sebagai wujud kekesalan mereka padaku. Tapi yang ku dapatkan justru sebaliknya, mereka kembali ke aktivitasnya seperti tidak terjadi apa-apa. Juga Ibu Mila yang tadi menampilkan wajah marah kini balik tersenyum manis kemudian menekuni pekerjaannya.

Aku mengerti kenapa mereka bersikap seperti itu, tak lain dan tak bukan karena sosok di hadapanku.

*****

Terima kasih telah membaca^^

Sebelumnya aku minta maaf, part yang dulu di Diary Of Rain aku hapus. Karena aku merasa kurang sreg aja, alurnya yang kecepatan dan rasa tidak nyambung membuatku untuk menghapusnya. Jadi maaf yang sudah baca part yang dulu.

Aku informasikan sekali lagi. Part ini dan part yang dulu beda banget. Jadi kalian harus baca dari part ini. Dan jalan ceritanya juga beda.

Maaf atas ketidaknyamanan ini. Aku memang orang labil. Hehehe.... Jadi maaf ya.

Vote dan comment, please?

Untuk part ending terpaksa saya private. Karena semua cerita yang saya buat ada di suatu blog bukan di wattpad. Cerita author yang lain ada juga disana. Jadi dengan berat hati, semua cerita saya akan saya private. Cara bacanya follow dulu, kalau belum bisa hapus dulu cerita saya dari library kalian baru add lagi.

Diary Of Rain [END]Where stories live. Discover now