Part 5

20.4K 1.4K 42
                                    

Kejadian kemarin masih membayang dalam benakku, sulit sekali untuk mengenyahkannya sebentar saja. Aku menjadi takut terhadap hal yang akan menimpaku nantinya. Seringainya mirip seperti iblis dan bekas memar di tangan, membuatku tak lagi berusaha bersembunyi darinya. Suka tidak suka, senang tidak senang, harus ku jalani. Agar tak membuatnya semakin marah padaku. Seperti sekarang.

Ku edarkan pandangan mencari kursi yang kosong di kantin ini, banyak pandangan menatap heran padaku. Mungkin mereka penasaran melihatku berada disini.

Setelah sekian lama hilang sejak peristiwa aku menumpahkan semangkuk bakso ke senior. Sekarang, aku mulai mengerti pada diriku. Ternyata aku tidak seberani yang ku kira. Bisa dilihat dari sikapku yang selalu bersembunyi dari Agung and The Geng.

Aku duduk disebuah meja yang kosong, mungkin karena disampingnya ada kotak sampah jadi tidak ada orang yang sudi duduk disini. Mereka menganggap sesuatu yang kotor dan berteman dengan kasta yang rendah, contohnya aku. Bukanlah level dan orang yang pantas dijadikan teman. Berteman dengan orang yang miskin hanya menyusahkan dan membawa masalah, itu yang mereka ucapkan padaku kala saat orientasi sekolah.

Aku buka tutup bekal seiring ku rasakan puluhan pasang mata mencemoohku.

"Masih ada ya anak SMA membawa bekal? Kepikir anak TK saja!" ucap sebuah suara lalu disambut gelak tawa dari orang sekitarnya.

"Ku dengar ibunya baru dipecat, mungkin keluarganya sedang mengalami krisis moneter kali. Maklum orang miskin! Mau makan apa saja pasti susah! Hahaha..." tambah suara yang lain.

"Alah! Kamu jangan kayak gitu, dari dulukan dia emang miskin! Betul nggak teman-teman ?" tanya suara pertama pada teman-temannya.

"Betul" jawab mereka serempak.

Kurasakan cengkeraman pada ganggang sendokku begitu kuat, inilah kenapa aku tidak suka berada di kantin. Aku harus tenang, tidak boleh terbawa oleh suasana. Biarkan mereka berbicara semaunya, nanti akan berhenti dengan sendirinya.

"Hei kalian!" kuangkat wajah memandang pemilik suara, ia berdiri dengan tangan bersedekap memandang segerombolan cewek yang tadi mencibirku. "Apa kalian baru saja menghinanya!" tatapan sinis nan tajam mampu membungkam bibir-bibir yang tadi berkicau mencela kelemahan orang lain tanpa berkaca terlebih dulu.

Mereka menunduk takut pada tatapan yang seakan melubangi kepala mereka. Senior yang paling ditakuti akibat menindas adik kelas begitu kejam. Jika kau sudah berurusan dengannya, jangan harap bisa lepas dalam cengkeramannya.

"Jawab!" ucapnya sambil menggebrak meja.

Dapat kulihat bahu mereka yang gemetar ketakutan. Mendadak suasana kantin menjadi hening. Bahkan aku bisa merasakan detak jantung yang begitu kuat dalam tubuh. Kupandangi lagi mereka yang terlihat sikut-menyikut satu sama lain.

"A-Anu...i-tu..kak.." ucap siswi pertama yang menghinaku walaupun suaranya terbata-bata.

"Bicara yang jelas! Atau kau baru belajar berbicara!" tubuhku hampir terjengkang mendengar teriakannya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti aku ada di posisinya. Mungkin aku sudah lari atau menangis sejak tadi. Berbeda dengan siswi itu, ia tampak menunduk dalam, tak berani untuk mendongak. Wajah Agung terlalu menakutkan untuk dilihat saat ini.

Jika dipikirkan, perkataannya barusan seperti membalas hinaan dari siswi itu. Seperti membela tapi dari segi pembalasan yang setimpal. Tapi aku tak boleh berharap terlalu tinggi, karena dia adalah Agung, mustahil ada kebaikan dihatinya.

"Kalian semua dengar! Tidak ada yang boleh menghina Rain tanpa seizinku! Jika aku mendapatkan salah satu diantara kalian mencemoohnya. Bersiap-siaplah, aku akan menjadikan kalian sama sepertinya!"

Diary Of Rain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang