Part 22

17K 889 9
                                    

"Kenapa masih disitu?" suara itu membuatku terkejut. Aku menoleh ke tempat dimana Gio pergi tadi. Bukan Gio yang kutemui tapi Agung yang tengah memasukkan tangannya ke saku celana. Ia berjalan ke arahku.

Aku menatapnya lama sambil menimang pertanyaan yang bergelut dipikiranku sejak tadi.

"Kau tau identitasku yang sebenarnya?" akhirnya pertanyaan itu terucap juga.

Ia terkekeh sebentar lalu menoleh ke arahku, " menurutmu?" tanyanya balik

"engh..." aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. Jika aku jawab iya sama saja aku menggali kuburanku sendiri. Tapi jika aku jawab tidak dan dia tau yang sebenarnya, aku yakin dia akan menertawaiku habis-habisan.

Kali ini ia menghadap ke arahku sambil menyilangkan tangannya didada. Alisnya naik ke atas diiringi sudut bibirnya juga.

"Kau tau, penyamaranmu sangat buruk" ia menyentil dahiku.

Aku mengelus dahiku dengan bibir ditekuk. Tuh, kan dia tau.

"Dan lihat ekspresi itu, apa ada seorang cowok yang berekspresi seperti itu jika dahinya disentil. Ck, ck, ck, kau tidak berbakat jadi artis" ia mengambil topi dan kumisku lalu dibuangnya ke lantai.

"Itu mahal" aku memberengut kemudian menunduk karena Agung menatapku tajam.

Terdengar ia menghela nafas setelah itu sebuah jaket yang ia kenakan, ia pakaikan padaku. Aku mendongak menatapnya terkejut.

"Udara malam tidak bagus untuk kesehatan" ucapnya.

Aku terdiam saat mata itu menatapku balik. Kemudian kurasakan dekapan hangatnya memelukku. Tubuhku tak mampu ku gerakkan, aroma parfum Agung memenuhi rongga hidungku. Ku sadari tinggiku hanya sebatas dadanya.

"Apakah kau Agung yang itu?" aku mendongak memastikan, benarkah orang yang memelukku ini adalah orang yang sama dengan orang yang membullyku? Ketika mata kami bersitatap, aku ingin menyangkal tapi wajah sendu itu mengusikku.

"Tentu saja, kau pikir aku Agung yang mana? Dasar bocah nakal, kemana saja kau selama ini? Kau pikir kau itu kuat, hah? Kau pikir kau itu pintar? Menyamar saja tidak becus. Dengan beraninya melarikan diri. Dan, dengan tubuh kurus kering seperti itu kau bisa melawan pembunuh itu? Baru ditiup angin saja sudah jatuh apalagi mau melawan, heh? Aku yakin tanpa diapa-apakan pembunuh itu saja kau sudah mati." ia melepaskan pelukan lalu berkacak pinggang memandangku.

Aku setuju dengan Rico kali ini, perkataan Agung pedas kayak cabe.

Aku menekuk wajahku, kenapa aku merasa seperti sedang dimarahi oleh emak-emak ya?

"emak Agung ngidam apa sih?" gumamku kecil.

Sebuah jitakan mendarat di kepalaku. Aku mengelus kepala sambil menatapnya bingung. Aku yakin suaraku tadi kecil dan hanya bisa didengar oleh aku sendiri.

"Berani-beraninya kau mengataiku. Rasakan ini" ia menjepit kepalaku diantara lengannya, bisa dibilang dibawah ketiaknya.

Sontak aku memekik, "aaah, ampuun" aku memukul-mukul tangannya namun tak membuahkan hasil. Kepalaku tetap dalam pitingannya. Dan deritaku bertambah dengan kepalan tangannya yang besar itu, ia tekankan ke kepalaku yang tak seberapa ini.

"Aku akan melepaskanmu, asal kau mengikuti perkataanku?"tawarnya yang membuatku curiga.

"Baiklah, cepat katakan,"desakku cepat "aku tidak sanggup lagi menghirup bau ketiakmu yang melebihi bau kentut"lanjutku sambil mengomel dengan suara kecil.

"Enak saja, ketiakku wangi tau. Nih, nih cium" ia mengusap ketiaknya lalu menempelkannya dihidungku.

"Iiiih, jorok! Agung joroook" aku berteriak histeris sambil menggoyangkan kepalaku ke kiri dan ke kanan, menghindari tangannya yang dengan ganasnya ingin ia tempelkan dihidungku.

Diary Of Rain [END]Where stories live. Discover now