2

26 5 0
                                    

Happy Reading....

Minggu ini aku akan disibukkan dengan ujian final, semester depan aku hanya mengambil mata kuliah skripsi. Aku sudah mulai membuat proposalnya hanya menunggu jadwal seminar lalu aku bisa melanjutkan skripsi dan...

...voila! Aku bisa lulus dengan predikat summa cumlaude.

Memang itu masih rancangan kedepan tapi tidak ada salahnya aku merancang yang baik. Kata Ayah, gantunglah mimpimu setinggi langit karena kalau setinggi langit aku takut sakit kalau jatuh maka aku memilih menggantung mimpiku setinggi pohon pinang dirumah kakek saja. Hehehe

"Pulang bareng ga Shit?"

"Ampun deh Zor, kamu ngatain aku sial?"

"Ehehehe nama lo kan Rashita, boleh dong gue singkat Shit aja, lo juga manggil gue Zor..Zor..emangnya gue apaan" Zora mencibir lalu nyengir lebar membuat deretan gigi putihnya terlihat berjejer sangat rapi, "Kan kita sahabat Shit, panggil lo monyet juga sah-sah ae" Zora kembali terkikik setelah puas mengolok-ngolok namaku dan menaik turunkan alisnya.

Aku heran apa yang salah dengan namaku, mereka suka sekali menyingkat namaku menjadi 'Shit' artinya kan sial. Bisa-bisa jodohku menjauh kalo keseringan didoakan sial.

"Asem kamu Zor. Aku pulang sendiri aja. Sekalian mau ke kafe Fressout" aku mengambil tumpukan jurnal yang sudah aku masukan ke dalam map bersampul pikachu. Iya pikachu hewan berwarna kuning yang sangat unyu pada zaman aku masih kecil, susah carinya ini.

"Ciee mau ketemuan ya?" Zora mengerling jahil ke arahku.

"Sirik aja kamu, aku cuma mau minta ajarin cara mengolah data kok,"

"Eleehh...olah data mah sama Kikan juga bisa. Dia kan jago begituan,"

"Kikan galak, kalo Bang Arya baik..ik..ik.."

"Modus lo! Nyari jodoh mulu," nyinyir Zora.

"Modus itu nilai terbanyak kan ya?" Jawabku sok polos.

"Seraaahhhhh...gue duluan ya! Semoga berjodoh!" Zora yang kesal langsung berlari kecil ke depan gedung kampus sambil melambaikan tangan padaku, disana bundanya sudah menunggu didalam mobil.

Meski aku tak mungkin membalas teriakan Zora tapi aku tetap mengamini doanya. Perkataan adalah doa lho.

Setelah kejadian habis bensin minggu lalu aku sering bertemu Arya, banyak hal yang kami perbincangkan, ternyata dia salah satu dosen dikampusku tapi bukan dijurusanku. Dia pintar, dia sering memberikan arahan padaku mengenai tugas akhir yang sedang aku geluti. Tak jarang dia memberikan saran-saran tentang penelitian yang akan aku lakukan. Dia sangat baik, bahkan dia sama sekali tak keberatan kalau aku memanggilnya abang, seharusnya kan bapak karena dia kan dosen.

Aku juga sudah cerita padanya tentang kejadian di supermarket waktu itu, ternyata anak kecil yang bersamanya waktu itu adalah anak bibinya yang termuda. Sedangkan dia adalah anak ke tiga dari empat bersaudara, kedua kakaknya sudah menikah dan menetap diluar negri. Sedangkan adiknya masih bersekolah disalah satu SMA yang lumayan ternama disini. Nama lengkapnya Arya Trianda Husain.

Orang tuanya hanyalah pengusaha perhotelan yang beberapa diantaranya dikembangkan didaerah lain. Dia adalah penyuka warna kuning, penyuka makanan manis, penyuka kopi, penyuka segala hal yang berbau sejarah. Sama sepertiku. Jodoh ya.

Sebenarnya aku tau semua itu karena aku yang banyak bertanya ini itu padanya. Walaupun dia tidak banyak membalas bertanya tapi setidaknya dia selalu menjawab pertanyaanku dengan senyum lebarnya. Sangat maniss!!! >_<

Dan yang paling utamaaaa....ARYA TIDAK PUNYA PACAR!!

Hari ini aku kembali duduk di kafe fressout, kelasku baru saja berakhir satu jam yang lalu. Ujian final sudah selesai hari ini, besok aku sudah mulai libur itu berarti besok aku pulang ke rumah. Sebelum itu aku ingin bertemu dengan Arya, aku akan lama tidak bertemu dengannya. Omong-omong sudah lima belas menit aku duduk disini, sudah lima pesan aku kirim pada Arya tak kunjung dapat balasan. Mungkin dia sedang sibuk, lebih baik aku pulang saja.

Baru saja aku mau keluar dari kafe setelah membayar pesananku seseorang memanggil namaku.

"Dik Shita" aku menoleh kearahnya, Sandi teman Arya.

"Teman bang Arya kan ya?"

"Iya, saya Sandi. Sendiri aja?"

"Iya, tadinya sih mau ketemu sama bang Arya tapi kayaknya lagi sibuk deh,"

"Lho, Arya kan udah keluar kota dik. Mungkin minggu depan dia baru balik lagi,"

"Oh lagi diluar kota," aku mengangguk-anggukan kepalaku beberapa kali, "yaudah deh bang, aku duluan ya, salam sama bang Arya kalau dia udah balik," aku pun menunduk sopan dan melangkah pulang.

"Iya dik, insyaallah, hati-hati dik!" bang Ihsan tersenyum ramah padaku.

Pantas saja Arya tidak membalas pesanku, dia sedang sibuk diluar kota. Mungkin tugas kampus.

.
.
.
.

Aku menyeduh teh hijau yang aku temukan didapur, biasanya Putri yang menyimpan berbagai macam jenis teh, dia pencinta teh sedangkan aku hanya membantunya menghabiskan berbagai macam jenis teh yang dia beli saja. Bukan aku yang minta kok, Putri sendiri yang menawari. Dia bilang dia suka beli teh banyak, yang diminum cuma beberapa terus coba yang lain lagi.

Sore ini aku sepertinya bernasip baik, saat sedang menikmati teh hijau dihalaman belakang, mbak Keke pulang dari kantor dan menawariku camilan yang dia beli didekat kantornya, pas sekali untuk dimakan sembari minum teh.

"Jadi pulang kamu Ta?"

"Jadi mbak, tadi bunda udah telfon katanya besok aku pulang bareng Hamid,"

"Hamid anak Bu Rumi? Bukannya kamu bilang udah lulus?"

"Iya, dia udah lulus tapi Ayah nyuruh dia kerja disini,"

"Udah ga cemburu lagi?"

"Cemburu? Kenapa?" Aku mengerutkan dahi, heran dengan pertanyaan mbak Keke.

"Lho, Hamid itu anak pengasuhmu yang kamu bilang paling disayang Ayahmu kan? Yang udah kayak anak laki-lakinya?"

"Iya sih, tapi udah ga lagi kok. Hamid pantes disayang Ayah, waktu jaman sekolah dia yang selalu belain aku sama kak Ina kalo ada anak cowok yang nakal, padahal temen-temen sering ngejek dia babu tapi dia ga malu ataupun marah,"

"Sadar juga kamu Ta, tapi memang iya sih selama ini mbak liat juga baik banget sama kamu,"

"Iya mbak, ibunya juga baik banget. Jarang anak cowok yang begitu tapi kadang ngeselin juga sih,"

"Kenapa?"

"Susah diajak kompromi, aku kan pengen juga liburan bareng temen-temenku tapi Hamid selalu tau jadwal masuk dan libur aku," aku mendengus kesal mengingat sifat Hamid yang satu itu. Jujur tidak tau tempat.

Oya, aku akan beri tahu Hamid adalah anak keempat dan putra semata wayang pengasuh setia aku dan kak Nirina, Bu Rumi. Beliau sudah bekerja sejak Ayah masih kecil, pertama kali bekerja usianya masih sangat belia. Ia dan suami, sebelumnya bekerja dirumah keluarga Ayah sebagai pengasuh dan Supir pribadi. Kemudian beralih menjadi pengasuh dan supir pribadi aku dan juga kak Nirina. Mereka sudah seperti keluarga bagi kami.

Hamid dua tahun lebih tua dariku, sejak kecil ia tinggal dengan keluargaku sampai sekolah dimanapun kami sekolah. Ayah sangat menyayangi Hamid, darimana aku tau? Karena cuma dengan Hamid Ayah bisa bercerita panjang lebar, tak jarang Ayah mengajak Hamid keperjalanan bisnisnya. aku dan Kak Nirina saja hanya diajak kalau kami sedang libur.

Hamid memang tak bekerja dirumahku seperti orang tuanya karena Ayah menganggapnya sebagai anak tapi dimanapun Hamid, jika ia sedang bersama aku ataupun kak Nirina dia akan selalu berperan menjadi penjaga dan pengasuh kami, seolah kami ini bayi-bayi kecil. Dia tidak pernah malu jika ada teman yang mengejeknya 'babu' saat dia membawakan tas maupun buku kami disekolah.

Tunggu, kenapa aku harus menceritakan tentang Hamid?

Sebenarnya yang aku pikirkan sejak tadi adalah...siapa calon kak Ina????

Tbc

Maaf jika ini terlalu pendek. Memang draft yang sudah di buat seperti ini.
Maafkan juga tentang E-Ye-De yang masih sangat-sangat amburadul.

Kuterima kritik dan sarannya kok. 😉

Psssttt...di mulmed cocoknya Arya atau Hamid ya???

amor é vocêOù les histoires vivent. Découvrez maintenant