Part 15 : Mundur dan Biarkan aku selesaikan

21.3K 2.2K 149
                                    

Malam sudah benar-benar kelam, saat akhirnya Dylan pulang dengan sekujur tubuh penuh keringat. Mobilnya mogok di perjalanan tadi, dan sialannya ponselnya juga kehabisan baterai. Jadilah ia berusaha membongkar mobilnya seorang diri. Dylan hampir menyerah pada awalnya, dan berniat menyetop taksi saja untuk kembali ke rumah, setelah mencoba menstarter mobilnya di saat-saat terakhir, saat itulah akhirnya Dylan mendapatkan keajaibannya.

Well, ya, bagi Dylan yang buta dengan mesin, memperbaiki mobil sendirian bisa di namainya dengan keajaiban.

"Baru pulang, Mas?" Rivan menyambutnya di ruang tamu, adiknya itu sedang asyik bermain game di sana.

"Gimana masalah perusahaan? Sudah beres?" Gelengan kepala Rivan yang menjawab. "Terus kabar Eve sama Al gimana?" Dylan duduk di salah satu sofa sambil memijat tengkuknya yang terasa pegal.

Kalau kakaknya sudah turut bergabung, maka artinya adalah sudahi permainan. Sebab Rivan tahu sekali, bahwa Dylan benci ketika lawan bicaranya tak terfokus padanya. Jadi setelah menghentikan game-nya, Rivan meletakkan stick permainannya di atas meja. "Untuk beres sepenuhnya belum, tapi untuk mencegah kebocoran proposal lagi, itu sudah bisa di atasi." Rivan meregangkan lengannya. "Mereka di pekerjakan oleh perusahaan saingan, jadi bukan hanya sekedar di sogok dengan uang, Mas. Mereka-mereka itu sudah merencanakan masuk ke perusahaan kita dengan rencana yang matang."

Hal itu cukup mengejutkan bagi Dylan. Pasalnya seleksi karyawan di perusahaan keluarga mereka sangat ketat. Tak hanya sekedar pintar dan cerdas, latar belakang keluarga juga pasti di selidiki.

"Berarti ada orang dalam ikut terlibat." Tebak Dylan setelah menganalisa sekilas.

Dan anggukkan kepala Rivan membenarkan tebakkan kakaknya itu. "Bagian ESDM, bukan kepala divisinya. Hanya staff biasa saja, tapi orang itu memiliki otak yang cerdik."

Kini semuanya menjadi lebih jelas. Mengapa mereka sampai tidak menyadari adanya penyusup. Hingga beberapa bulan terakhir, proposal-proposal yang mereka ajukan hanya berakhir di tong sampah. Karena sebelumnya para pesaing memberi detail yang lebih terperinci lagi dari perusahaan mereka.

"Semua yang dicurigai sudah di aman'kan?"

"Sudah Mas, dan sudah ada di pihak yang berwajib."

Pelayan rumah mereka datang dengan nampan berisi tiga gelas teh, hingga otomatis hal itu membuat tak hanya Rivan, namun Dylan juga bingung.

Pasalnya tak seorang pun yang memanggil pelayan itu tadi, dan perintah terhadap pembuatan minuman jelas bukan mereka yang berikan. Lantas kenapa ada tiga gelas teh di sini? Mengingat hanya mereka berdua sajalah yang duduk saat ini.

"Siapa yang suruh buat, Bik?" Rivan menyilangkan kakinya. "Kok tiga juga ini?"

Wanita setengah baya itu menunduk sopan. "Den Fabian yang nyuruh, katanya untuk teman ngobrol bertiga, Den."

Dylan menghela napas. Pasti Fabian tahu kepulangannya dari jendela kamar pria itu. Fabian jelas menuntut penjelasan lengkap. Dan Dylan belum siap dengan naskah skenarionya.

"Jadi di mana dia sekarang, Bik?" Rivan bertanya lagi.

Lalu derap langkah penuh perhitungan menggema di belakang mereka. "Di sini adik kecil," suara Fabian menjawab.

Jadi baik Dylan mau pun Rivan secara otomatis memandang arah dari suara tersebut. Dan yeah, Fabian muncul dengan wajah seratus persen menyeringai.

"Rasanya nyaris seabad ketika duduk bersama sambil meminum kopi." Fabian melanjutkan monolog atas deklarasi kehadirannya di tengah-tengah ruang. "Berhubung Dylan tidak menyukai kopi, jadi aku putuskan menggantinya dengan teh, Mama melarangku meminum alkohol lagi. Lalu sebagai anak yang baik aku bisa apa selain menurutinya."

Not Perfect TearsWhere stories live. Discover now