Amar tak tahu harus bagaimana ia menjelaskan keinginan adiknya itu kepada rekannya. Namun setelah mendengar semua penjelasan Nessa dan memuntahkan kemurkaannya pada wanita itu, Amar sadar bahwa tak selamanya nasib baik kan memayungi manusia. Mungkin kini giliran adiknya yang mendapat petaka ini.Jadi bertindak sebagai seorang kakak, Amar berusaha mengambil sikap. Salah satunya mungkin dengan mempelajari bagaimana proses pembatalan pernikahan itu. Dan langkah pertama yang ia lakukan adalah menghubungi Adam.
"Jadi gimana, Dam? Bisa?"
Amar sudah menceritakan sedikit permasalahan yang di alami Nessa lewat telepon kemarin. Kemudian merincikan lagi kepada Adam saat mereka memutuskan bertemu di sini.
Pria itu mengenakan kacamata, bertengger pas di hidungnya yang mancung. Seraya menyesap minumannya, Adam mengangguk walau samar.
"Bisa aja sih, Mar." Ucapnya sambil menghela napas. "Toh pernikahan belum sampai enam bulan. Jadi kalau kita ngajukan gugatan ke Pengadilan Agama, gugatan kita masih bisa di proses."
"Pasti ada tapinya kan? Apaan Dam?" Amar tak sabar, ia sudah berfirasat masalah ini tak mungkin selesai begitu saja.
"Masalahnya Mar, seharusnya yang ngajuin pembatalan pernikahan itu pihak suaminya Nessa. Karena poinnya di sini, Nessa hamil tapi dia ngaku kalau itu bukan anak suaminya." Adam menegakan punggungnya, "jadi Mar, sebenarnya yang cacat hukum itu Nessa di sini."
Bahkan Amar yang buta dengan rumitnya ilmu hukum mampu memprediksi hal itu. Jelas sekali noda tersebut berada di kubu adiknya. "Terus solusinya gimana, Dam? Kalau ngajukan perceraian aja gimana?"
Tertawa, pria berwajah serius itu mengendurkan otot-otot wajahnya yang kaku. "Nessa aja yang otaknya udah pasti sumpek, bisa ngerti kalau perceraian juga nggak bisa di situasi gini. Lha, kenapa lo yang jadi goblok, Mar?" Cerca Adam sambil tertawa. "Nessa bunting, Amar. Kalau ngajuin perceraian juga selesainya pas udah lahiran."
Benar juga, Amar lupa memprediksi hal itu.
"Lagian ya Mar, Nessa mainannya kelas kakap. Bukan nakuti nih gue ya, cuma mikir deh, kalau orang-orang kaya macam suaminya Nessa bakal nuntut Nessa balik dengan tuduhan penipuan."
See, masalah hukum ini benar-benar memusingkan.
"Secara Nessa sama Dylan nikah memang dengan alasan Nessa terlanjur hamil. Otomatis, keluarga atau Dylan sendiri tau nya Nessa ngandung anaknya. Eh sekarang datang kejujuran dari Nessa yang bilang kalau yang di kandung dia bukan anaknya Dylan." Adam menggeleng dengan tatapan prihatin. "Keluarga yang mau kita seret ke pengadilan bukan keluarga sembarangan Mar. Kuasa hukum mereka jelas bakal ngeliat celah ini."
Dan Adam benar lagi. Dan batin Amar mulai mengumpat apa yang sudah di lakukan adiknya. Serius, kali ini Nessa benar-benar membuatnya nyaris menjerat diri sendiri dengan seutas tali.
"Kalau aku sih sebagai pengacara mungkin akan ngebela klien mati-matian. Tapi kalau liat situasinya gini, apa nggak sebaiknya kalian selesaikan dulu secara kekeluargaan? Minimal jangan sampai malah tuduhan nanti di pengadilan ngeberatin Nessa."
Amar tak memikirkan sampai sejauh itu. Tetapi memang awal dia berniat bertemu Adam hanya untuk sekadar berkonsultasi saja dulu. "Enggak mikir sampai situ kita, Dam." Aku Amar jujur. "Buta hukum sih gini ya? Semalam cuma nelpon bentaran aja sama Abra, roaming gila, di Jerman dia." Kelekar Amar sedikit menghibur diri.
"Suntuk dia, rekanan Bank masih dikit. Mau mengandalkan orang datang ke kantor aja nggak bener juga. Makanya refreshing dia. Mau liat Holsentor kayaknya." Adam tertawa, "sekarang memang jaman lagi sulit ya Mar. Profesi apa-apa kayaknya kritis." Selorohnya realistis. "Ya kalau dokter enak ya, tiap hari pasti ada aja orang sakit. Jadi profesinya nggak ada yang nganggur."

YOU ARE READING
Not Perfect Tears
RomanceNessa mengandung bayi Fabian. Namun semesta mengharuskannya menerima lamaran Dylan, saudara kembar Fabian. Nessa pikir, perihnya hanya sampai di situ. Namun Tuhan, tidak berkata demikian. Sebab alih-alih bahagia dengan pernikahannya, Nessa harus me...