OneShoot 2

13 2 1
                                    

"Kumohon, hanya untuk malam ini saja.."

Dia menggenggam tanganku dengan sangat erat. Kepalanya menunduk, enggan memamerkan air matanya yang menetes di lantai keramik sekolah. Tubuhnya bergetar. Aku menghela nafas untuk menjernihkan pikiran. Dendam masa lalu dengan orang yang berkaitan dengannya membuat diriku menjadi enggan untuk berkenalan dengannya.

"Harus berapa kali saya katakan, saya tidak bisa. Maaf"

Aku melepas genggaman tangannya, lalu berjalan menjauh darinya. Aku melirik ke belakang melalui ekot mataku, melihat dirinya yang terduduk lemas sembari menutup wajahnya dan tubuh itu bergetar semakin hebat. Ada segores luka ketika melihatnya seperti itu. Sebenarnya, aku tidak ingin berbuat seperti itu. Tapi... mungkin ini balasan yang tepat untuk seseorang yang pernah menyakitiku.

Malamnya, hujan turun dengan deras. Hanya ada lantunan lagu yang keluar dari radio yang sengaja aku putar untuk menemani hari-hari penuh kesendirianku. Aku menyulut sebatang rokok lalu menghisapnya dalam, lalu menghembuskan kepulan asap putih yang melayang tinggi menembus air hujan di luar sana.

Aku tengah berdiri di depan rumah, memperhatikan rintik hujan yang turun. Tak lama, telingaku mendengar cipratan air dengan cepat. Aku menoleh dan mataku menangkap sosok gadis itu yang tengah berlari menembus hujan. Apa yang dia lakukan di malam hari seperti ini?

Aku melengos, pura-pura tidak melihatnya. Suara cipratan tadi sudah tidak mendengar, aku pikir gadis itu sudah pergi jauh tapi ketika aku melihat ke arah awal, dia terjatuh tidak sadarkan diri. Hujan membasahi tubuhnya. Aku mematikan rokok dan berlari menembus hujan. Kemudian, aku membawa gadis itu ke dalam rumah. Menepuk-nepuk wajahnya agar dia tersadar. Ternyata dia tetap tidak sadarkan diri. Aku pun menyalakan perapian dan meletakan tubuhnya di dekat perapian.

Aku mengelap wajahnya dengan kain agar tidak terlihat basah lagi. Aku pun mengoleskan minyak angin di kepalanya lalu menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Ada rasa kasihan akan dirinya, namun itu sama sekali tidak mengurangi rasa dendamku pada orang tuanya. Karena mereka, aku harus hidup sendirian sekarang.

Aku menaruhnya di tempat tidurku yang berada di ruang tengah sementara aku terjaga di depan rumah, menghabiskan beberapa puntung rokok lagi yang tersisa. Malam juga sudah semakin larut dan hujan berhenti, berganti menjadi butiran putih lembut yang turun dari langit.

Putung rokok terakhirku sudah habis. Dan kepulan asap masih keluar dari mulut karena cuaca yang semakin dingin. Aku menambahkan kayu bakar di perapian. Lalu kembali ke posisi semula. Besok hari libur sekolah pertama di musim dingin. Kembali ke masa-masa waktu dulu. Dimana hidupku harus terpisah oleh orang tua dan entah dimana keberadaan orang tuaku sekarang. Apa mereka masih hidup atau sudah meninggal.

Aku mendengar suara batuk dari dalam rumah, aku menoleh ternyata gadis itu sudah sadar. Aku segera mengambilkan teh hijau hangat untuk menghangatkan dirinya. Dia menerimanya dengan tangan gemetar, tapi berhasil meneguknya secara perlahan. Aku menatap sorot matanya, ada kesedihan yang terpancar dan ada juga sebuah harapan.

"Terima kasih, Akira"

Aku mengangguk dan kembali berdiri di luar rumah tanpa memedulikan dirinya. Rokokku sudah habis dan aku bingung harus melakukan apa. Aku memandangi ke arah kiri, hanya ada sorot lampu dari rumah-rumah penduduk juga kepulan asap putih dari cerobong rumah mereka. Pasti asyik menghabiskan malam musik dingin sembari menyantap makanan hangat.

"Boleh bergabung?"

Aku mengangguk pelan kemudian melirik gadis ini yang berdiri sembari membungkus badannya dengan selimut. Dia memejamkan matanya, menghirup udara musim dingin secara dalam. Dan kembali membuka matanya. Kepulan asap putih juga keluar dari mulutnya.

Keheningan melanda kami berdua, tak ada yang memulai pembicaraan diantara kami. Hanya ada suara angin yang berhembus kencang. Aku tetap pada posisi awal, menerawang ujung jalan yang gelap dengan kilauan lampu diujung sana yang kuyakini itu adalah kilauan lampu dari rumah-rumah penduduk juga.

"Mengapa kau membenciku, Akira?"

Aku terkejut ketika mendengar pertanyaannya. Seperti ada luka yang menggores di hati ini. Sungguh! Aku tidak pernah membencinya. Aku hanya dendam kepada orang tuanya dan aku lampiaskan kepada dia. Sebenarnya, itu sama saja. Tapi aku rasa, itu lebih pantas daripada pertanyaannya.

"Karena orang tuamu. Orang tuamu yang menyebabkan aku seperti ini. Orang tuamu yang memisahkan anak dengan orang tuanya sendiri. Orang tuamu yang mungkin sudah membunuh kedua orang tuaku. Ini semua adalah kesalaham orang tuamu dan sebaiknya kau tanyakan padanya!!".

Dia terdiam seribu bahasa, matanya menerobos masuk ke dalam sorot mataku yang membara. Kemudian, ia menunduk. Air menetes dari wajahnya. Aku memalingkan wajah, enggan untuk melihatnya menangis. Dia mengeluarkan suara yang lirih. Dia sangat terisak.

"Sejujurnya.. orang tuaku yang menyelamatkan dirimu.. orang tuamu itu mengalami gangguan jiwa, Akira. Mereka akan membunuhmu kalau orang tuaku tidak mengambil mereka darimu... orang tuaku... terus mencari keberadaanmu.. tapi mereka tidak menemukanmu.. sampai pada akhir hayat mereka. Dan aku.. aku berhasil... menemukanmu... untuk menyampaikan perihal tadi... kepadamu, Akira".

Aku membisu seribu bahasa, otakku mulai bekerja keras untuk mencari kebenarannya. Orang tuaku mengalami gangguan jiwa? Kenapa? Apa hidup terlalu miskin? Atau ada tuntutan lain? Aku tidak mengerti. Pikiranku kacau. Perkataan Kaeda tadi cukup membuat hatiku menjadi sesak. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah foto keluarganya, jadi dulu aku dirawat oleh mereka dan aku kabur.

Tubuhku melemas ketika tahu berita ini. Aku jatuh berlutut sembari memandangi salju yang turun. Air mata ini turun bersamaan dengan salju. Kaeda ikut berlutut dan memeluk tubuhku dengan erat. Erat sekali, seakan memberikan kehangatan di kala dingin menyerang. Dia menangis, aku merasakan tubuhnya bergetar. Aku memeluknya kembali. Menciptakan kehangatan antara kami berdua.

Dinding kebencian yang selama ini berdiri kokoh dalan tubuh ini seketika menjadi runtuh ketika meriam menghancurkannya. Aku juga menangis dalam pelukan Kaeda. Aku menyesal. Sangat menyesal.

"Maafkan aku"

Dia mengangguk dalam pelukan ini.

"Jangan membenciku lagi, aku sayang kepadamu, Akira"

Aku mengangguk lagi. "Aku juga menyayangimu"

Malam ini terasa begitu panjang dari biasanya. Sepanjang malam, kami habiskan waktu dengan menonton acara tv bersama sampai akhirnya kami tertidur berdua di atas tempat tidurku. Hangat sekali. Kaeda meletakan kepalanya di dadaku dan aku memeluk dirinya.

TANPA JUDULWhere stories live. Discover now