7. Why? (Part I)

2.1K 233 54
                                    

Selama menginjakan kaki di Seoul, Jaejoong tak pernah merasa sekacau ini. Layaknya karang kecil di tepi pantai yang di hempas ombak pasang bertubi-tubi. Gadis cantik itu menyerah kepada imajinasi mengenai peristiwa yang terjadi sejak kelopak matanya terbuka. Memberi umpan otaknya dengan probabilitas tak terbatas yang menyebabkan setiap lamunan bercabang tanpa ujung.

Dia terlatih menghadapi segala kemungkinan yang kiranya berjalan di luar praduga. Namun, sebuah goresan mustahil tak meninggalkan luka meski kasat mata. Mengulas senyum palsu untuk menyenangkan hati orang lain kini tengah ia lakukan. Penyesalan hanya menyusahkan hati, karena sejak awal paradigmanya telah keliru.

Dalam sekejab kegusaran sang Aphrodite berubah menjadi perasaan nyaman tatkala angin biru sejuk memeluk seraya meredakan segala kegelisahan. Menciptakan aroma musim semi yang menenangkan. Sang angin nan sejuk membentuk siluet tubuh gagah seorang pria. Lengan kokoh itu menjauh menyebabkan tubuh kurusnya kembali menggigil terselimuti kecemasan. Ia menginginkan rengkuhan hangat itu lagi.

Mata bening Jaejoong menatap sayu kearah pintu sewarna apricot yang di buka lebar oleh seseorang. Sosok tampan itu mengambil duduk disebelah tubuhnya yang terbaring diatas ranjang bergaya vintage.

"Minumlah, susu akan menambah tenaga mu. Aku tidak berhasil mendapatkan bubur abalone." Bibir unik kepunyaannya membentuk lengkungan menawan. "Roti isi tuna dan custard tidak terlalu buruk, aniya?"

Jaejoong membalas senyum sang kekasih seraya mendudukkan diri. Ia mengangguk mengerti dan menerima susu pemberian lelaki tampan itu. Pukul 23.10, toko bubur di persimpangan jalan jelas sudah tutup. Changmin menjulurkan dua bungkus roti yang ia beli di minimarket 24 jam. Seakan mengerti, Jaejoong lantas menunjuk salah satu dan roti isi krim custard menjadi pilihannya.

"Terimakasih, Changminnie." Gadis serupa menekin itu berujar tulus.

Changmin tersenyum teduh lantas menyobek bungkus pelindung roti dan menyerahkan penganan manis tersebut kepada Jaejoong. Mengacak surai madu sang kekasih lantaran merasa gemas dengan cara gadis itu menikmati santapannya. Pipi pucat dengan polesan merah muda alami milik Jaejoong mengembung seperti ikan fugu membuat Changmin tidak tahan untuk mengecupnya.

"Pelan-pelan, Jaejoongie."

Changmin membantunya menyeruput susu. Ia hampir tersedak. Jaejoong mendesah lega ketika hangat cairan susu mengalir nyaman ditenggorokannya. Ia makan dengan sangat cepat bukan dikarenakan rasa lapar yang mendera, melainkan semacam cara untuk melampiaskan sesuatu.

Oh, Ya Tuhan!

Perempuan mana yang tak terguncang ketika menerima perlakuan seperti itu?

Jelas kau mengerti pembahasan ini.

Untuk pertama kali, Jaejoong mengetahui bagaimana rupa kabut hitam rasa penyesalan, kendati enggan menerimanya namun perasaan asing itu menyusup tanpa dapat di cegah. Tercekik, sulit bernapas, otak mu tak mampu memerintahkan tubuh agar berhenti gemetar. Segalanya akan menjadi rumit, Jaejoong tahu itu. Namun, tak dapat memprediksi peristiwa mengejutkan apa lagi yang akan terjadi pada detik selanjutnya. Pertemuan itu menyisakan kegelisahaan.

Hari ini, Jaejoong berhasil menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya tidak rumit apabila suasana hatinya enggan ikut serta. Tubuh semampainya yang terasa kaku terpaksa beranjak dari kursi yang mestinya terasa nyaman. Gadis cantik itu hendak mengganti berkas schedule sang Presdir dengan yang baru. Mustahil memberikan kertas lusuh akibat air matanya yang menetes.

Jaejoong bersandar pada photocopy machine seolah benda tersebut adalah tumpuannya untuk tetap berdiri. Lantai 26 sangat sunyi, tak ayal ia masih berjumpa dengan segelintir pekerja. Para petinggi perusahaan menyapanya. Oh! Wow! Itu luar biasa, kendati Jaejoong cukup memahami tatapan yang dilayangkan dan senyum yang mereka berikan. Ya, semua palsu. Dunia bisnis sekali, kan?

AdrenalineWo Geschichten leben. Entdecke jetzt