negeri impian

7.6K 1.2K 97
                                    

[Fiksi Kilat - 300+ kata]***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Fiksi Kilat - 300+ kata]
***

SUDAH beberapa hari ini, aku sering dilanda kesialan.

Entah karena tugasku ketinggalan, aku mendapat remedial di Ulangan Harian--untuk yang kesekian kalinya--atau bahkan orangtuaku yang kerap kali memainkan drama payah dengan memanfaatkan psikisku.

Entahlah, mungkin ini karena kucing hitam yang kulihat beberapa hari yang lalu, atau karena aku memang ditakdirkan sial seumur hidupku.

Nyatanya, dewi fortuna tidak sejahat itu.

Karena malas pulang ke rumah, aku memutuskan pergi ke salah satu destinasi favoritku. Pinggir sungai yang kalau sore hari sudah sepi karena tidak banyak orang yang berlalu lalang. Sebenarnya dulunya ada jembatan di atas sungai itu, tetapi karena suatu bencana, jembatan itu sudah ambruk dan tak dibangun kembali.

Tetapi hari ini, ada yang berbeda. Aku melihat seorang laki-laki tengah berdiri beberapa meter dari pinggir sungai, tengah menatap sungai yang mengalir deras yang tidak terlihat lagi dasarnya.

Kurasa, lelaki itu seumuran denganku.

Dari samping, aku bisa melihat wajahnya yang bisa dibilang cukup ... tampan? Astaga, singkirkan pikiran lovey-dovey konyol itu.

Aku mengambil tempat sekitar 5 meter dari tempat dia berdiri dan ikut memandang sungai. Seperti biasa seperti hari-hari sebelumnya, dengan pandangan kosong.

Memikirkan betapa menyedihkannya hidupku akhir-akhir ini.

"Sendirian saja?" Aku hampir saja terjungkal kala mendengar suara lembut nan teduh di dekatku.

"E-eh? Yah, begitulah." Aku mengendikan bahu sambil menatap lelaki yang masih saja melihat sungai dengan pandangan yang tidak bisa kutebak.

Tiba-tiba, dia menoleh padaku dan menunjukan seulas senyum yang bagi seluruh kaum hawa akan melumer melihatnya. Termasuk diriku.

"Kau mau ikut denganku ke suatu tempat bernama Negeri Impian?"

Aku terperangah.

Lelaki itu mengulurkan tangannya, seolah menungguku meraihnya.

"Kau ... pasti bercanda." ujarku skeptis. Tetapi, pikiranku yang hanya berisi tentang betapa menyedihkannya hidupku, mau-mau saja meraih tangannya.

Dia terlihat senang dan berujar,

"Pejamkan matamu dan hanya ikuti langkah kakiku." Hanya kegelapan yang bisa kurasakan, tetapi aku tetap melangkah, sembari dituntunnya.

"Jangan pernah melepaskan tanganku, kita berangkat sekarang,

Menuju Negeri Impian."

Hal yang terakhir kuingat adalah, aku ikut berlari saat lelaki itu berlari dan melompat ke gerbang yang dia sebut-sebut negeri impian.

Bagiku, Negeri Impian terasa sangat ... sejuk dan menenangkan. Apalagi dengan genggaman tangannya yang makin lama terasa makin dingin.

Itulah Negeri Impianku dan dia. Dan kami hidup bahagia di dalamnya.

***

Harga Kebahagiaan [10/10 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang