sekelompok pecundang

5.1K 1K 214
                                    

[ Cerpen : 646 Kata]***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ Cerpen : 646 Kata]
***

Namanya juga remaja. Suka berkelompok dan benci sendirian. Supaya tidak terlihat menyedihkan.

Namanya juga remaja, ada kelompok yang dianggap 'raja' dan 'ratu', ada juga kelompok yang dianggap 'pesuruh' dan 'orang payah'.

Namanya juga remaja, pasti kelompok 'raja dan ratu' akan menindas kelompok 'pesuruh dan orang payah', bukan?

Lalu, kamu termasuk kelompok yang mana?

***

AKU terlahir dari keluarga yang sempurna. Sempurna secara finansial, maksudku. Oh, ayolah, kalau aku mau, aku bisa meminta pesawat jet langsung pada orangtuaku.

Di sekolah, aku juga termasuk dalam jajaran anak populer. Sebut namaku, anak-anak dari golongan pecundang akan berlari terbirit-birit. Tidak mau berurusan denganku.

Di kelas, aku duduk bersama salah satu anak konglomerat di Indonesia, Dinda. Bersama tujuh anak lainnya di barisan yang sama tempat kami duduk, kami menyebut diri kami 'Barisan Kiri'. Agak konyol, ini ide dari Davin, anak pemilik salah satu saham terbesar di perusahaan minyak yang sudah mendunia.

Kelas kami terbagi menjadi 3 barisan, salah satunya kami, Barisan Kiri, lalu ada Barisan tengah, tempat anak-anak biasa saja dan cenderung tidak peduli dengan apapun selain diri mereka sendiri, dan terakhir, Barisan Kanan.

Bagiku, Barisan Kanan adalah sekumpulan pencundang yang mengikrarkan diri sebagai sahabat. Konyol, mereka pikir, mereka bisa melindungi sesama mereka kalau melindungi diri mereka sendiri saja tidak bisa? Contohnya saat ini.

"Sampe sekarang gue heran, darimana lo bisa masuk sekolah ini? Gue yakin, buat makan malam nanti aja, lo pasti nggak punya ide gimana dapet duitnya?" Aku mendorong pelan salah satu anak dari Barisan Kanan, Fasya.

Fasya diam saja saat aku mengernyit jijik melihat pakaiannya yang seolah tidak pernah dicuci. "Hell, apa lo segitu miskinnya sampe nggak bisa nyuci baju?"

Tiba-tiba, Fasya mendongak dan menatapku datar. "Lo bacot."

Plak!

"Berani-beraninya lo," Aku mendecih dan mendorongnya sampai terjatuh. Apa-apaan dia. Belum pernah ada yang menentangku seperti ini.

Dengan cepat, aku meraih botol yang disodorkan Klara, salah satu antek-antekku, dan menumpahkan seluruh isinya ke atas Fasya. Gadis itu tetap bergeming seolah tumpahan air dingin dari botolku sama sekali tidak mempengaruhinya.

"Awas lo, gue jamin, hidup lo nggak bakal tenang mulai dari detik ini."

Kemudian, aku meninggalkannya, tanpa mengetahui kalau tangan Fasya terkepal keras, sampai-sampai buku-buku jarinya memutih.

***

Ini buruk. Supirku tidak bisa kuhubungi dan hujan turun dengan derasnya membasahi sekolahku. Semua teman-temanku sudah pergi.

"Sial, gue akan minta Papa buat mecat dia!" Aku merutuk jengkel sambil memainkan ponsel. Bosan, sekolah sudah benar-benar sepi. Paling-paling, hanya beberapa orang yang juga sama sialnya denganku--meskipun aku belum melihat seorang manusia pun lewat sedari tadi.

Prang!

Aku menoleh cepat pada asal suara. Apa-apaan itu barusan?

Kurasa, ada kucing bodoh yang tergelincir dan memecahkan kaca atau apalah, jadi aku berjalan menuju asal suara.

Sepertinya, suara tadi berasal dari ... kelasku?

Kalau kucing membuat jejak-jejak kotor karena hujan di kelasku, aku pasti akan menendangnya tanpa ampun.

Aku memasuki kelasku yang gelap dan berusaha mencari saklar lampu.

"Kurasa ada di sekitar---"

Dugh!!

Aku tidak sempat berteriak karena sebuah pukulan dari benda keras telak menghantam leherku. Kesadaranku langsung hilang sepenuhnya.

Dan aku tidak ingat apa yang terjadi setelah itu.
*

"TOLONG! ADA MAYAT DI SINI!"

"APA-APAAN INI SEMUA?!"

"Astaga, ini gila!"

"Panggil Ambulans bodoh!"

"Sudah terlambat, PANGGIL POLISI JUGA!"

"Mayatnya sudah mulai membusuk! Kejadiannya pasti kemarin!"

"Astaga, Kayna ... mengapa?! MENGAPA HARUS SAHABATKU?!"

Davin berusaha menahan Dinda yang menerobos masuk ke dalam kelas mereka yang sudah dikerubungi orang-orang mulai dari murid sampai kepala sekolah.

"SIAPA YANG BERANI-BERANINYA MELAKUKAN HAL INI!" Dinda berteriak kalap. Guru-guru laki-laki tengah menutupi mayat Kayna dengan kain, sedangkan guru-guru perempuan berusaha untuk menahan mual dan beberapa tengah menghubungi bantuan.

"Percuma, CCTV-nya dirusak, tidak ada yang bisa diketahui sebelum polisi benar-benar tiba."

Di sudut kegemparan tersebut, seorang gadis tersenyum sinis. Fasya, dan beberapa temannya dari Barisan Kanan.

"Berikutnya, Dinda si anak konglomerat itu, mau?"

Karena pecundang tidak semuanya benar-benar pecundang, bukan?
*

Author's note : Hai! Yah, semoga nggak begitu aneh yah, ini cerpen yang sedikit misteri--meskipun aku nggak yakin ini bisa disebut misteri apa nggak--keempat setelah cerpen Dua Sisi, Maya & Nyata, dan Mobil.

Hope you like it!

Harga Kebahagiaan [10/10 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang