4.3

21.7K 1.6K 50
                                    

"Sudah sering aku bilang pada Jasen, aku tidak suka makanan Perancis, aku suka makanan Jepang -yang sushi itu lho- tapi dia tetap membawaku ke restoran Perancis. Dia tidak tahu apa kalau aku selalu ingat film animasi Ratatouile yang kokinya tikus?"

Milla menarik nafas.

"Aku bisa bayangkan kalau seekor tidur dengan ekor berbulunya memasak untukku. Ya ampun aku benar-benar benci tikus, ini seperti Rats Syndrome atau sebangsanya? Sialan---" bla bla bla bla.

Milla mengoceh bagaimana tikus itu bau dan berisik, dia duduk di sebelahku menghimpit tubuhku di kursi oleh pantat seksinya sambil mengecat kukunya. Aku hanya melongo di depan komputerku dengan wajah tolol.

Hei, komputer! Mandirilah dan kerjakan apa yang harus kau kerjakan.

Aku merasa gila, Ethan mengabaikanku, dia sudah dua kali melewati lantai empat dan mengecek semua karyawan KECUALI AKU!! AKU DIABAIKAN!! Aku menyapanya dengan manis seperti, 'Pagi, Mr. Jackson' tapi dia? Hell! Dia bahkan tidak melirikku.

Aku benci kalau dia marah. Aku merasa aku tidak punya siapa-siapa, terasingkan, dan tidak punya pegangan. Aku merasa tersesat dan bingung sementara di rumah aneh yang kita sebut dunia, aku tidak tahu jalan keluar. Aku tidak tahu bagaimana bertahan.

Apa yang harus kulakukan? Apa dia akan meninggalkanku? Tidak. Itu adalah hal terakhir yang kuinginkan.

Lebih baik dia menggangguku dan menyuruhku mengepel setiap lantai dengan sikat gigi daripada dia tidak menghiraukanku. Aku merasa tidak hidup.

Berlebihan ya ampun. Tapi apalagi yang bisa kuucapkan? Aku sebelumnya tidak memikirkan bagaimana sekarat, dan sekarang aku hampir tahu rasanya.

"--dan dia mulai menghitung balon di pesta ulang tahun adikku. Heck! Dia pikir dia badut ulang tahun? Aku sungguh malu. Aku ingin memutuskannya, tapi dia sialan seksinya, dan penisnya, ya ampun." Milla mendesis dengan bergairah.

Tunggu, apa dia baru saja bilang p€n¡$?

"Aku pernah mengajaknya shooping, dia membayar semua tagihan. Manis sekali, tapi dia meminta umpan balik. Kau mau tahu apa? Dia ingin---" bla bla bla bla.

Aku tidak mau jelaskan, pokonya itu melibatkan borgol, bola-bola perak, dan Red Room of Pain. Oh, tunggu! Bukannya itu dari kutipan Fifty Shades of Grey? Hell, aku pasti salah dengar.

Lalu tiba-tiba aku punya ide bagaimana membujuk Ethan.

Mungkin aku harus menjadi submisive yang baik? Merobek kemejaku di depan wajahnya lalu memintanya fuck me so hard? Tapi bagaimana kalau dia tidak peduli? Aku pasti menjadi perempuan paling memalukan di dunia.

"Hei Milla," ujarku.

"--dia datang dengan kondom stroberry. Aku bilang 'hei Jasen, aku benci warna pink, aku 'kan sudah bilang pakai warna biru' tapi dia menjawab 'sayang, hubungan seks kita harus ada perubahan' kau percaya itu?" Dia melambai-lambai tangan di udara dengan bosan.

"Dia mulai membosankan. Aku benci Jasen."

"Ya, ya, dia membosankan." Tukasku. "Aku mau bertanya sesuatu."

Dia mengangkat alisnya dan melihatku, "Apa? Kau mau bertanya bagaimana rasanya kondom warna pink? Aku tidak tahu, aku menolaknya saat dia tunjukkan itu."

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Bukan!" Erangku.

"Lalu apa? Rasa makanan Italia?"

Tanganku meraih bahunya lalu mengguncangnya. "Bukan itu! Biarkan aku bertanya, oke?" Aku memelototinya.

Dia menatapku tanpa berkedip. Dia seperti syok. "Ehhh, yeah boleh. Tapi apa kau sehat? Kau tahu siapa namamu kan?"

"Bagaimana caramu menangani Josen yang marah?" Tukasku sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya dengan mata lebar.

"Jasen." Ralatnya. "Apa kau sedang minta nasehatku?"

"Ya!" Bentakku di depan wajahnya.

Dia mendorongku dengan semangat lalu berdiri di depanku, berkacak pinggang. "Jadi, pernah suatu hari dia marah karena aku melakukan selfie sebelum bercinta, lalu dia kehilangan mood dan memakai bajunya kembali. Aku juga jadi lupa kalau tadi aku mau bercinta." Dia terkeleh sok imut.

"Kau bisa bayangkan tidak? Aku cuma mau selfie, lima menit saja, lalu aku akan memvideo sebentar dan memasang di Snapchat dengan caption 'so here we starts a passionate of love, the fuck' apa itu sulit? Ya ampun, aku jadi ingat bertemu Justin Bieber di belakang panggung---"

"MILLA!" Bentakku. "Just fokus!"

Dia menepuk kepalanya lalu terkekeh, "Oke maaf, aku selalu terbawa emosi. Sampai mana tadi? Oh ya, sampai aku selfi lima menit."

"Nah, jadi aku selfie dengan duckface style--"

"The fuck! Katakan saja bagaimana cara menangani cowok marah!!"

Dia mengernyit, "Oh, jadi kau mau tahu itu?"

Brrrrruhhhh! Bunuh aku Tuhan.

"Itu mudah, kau tinggal dorong dia ke ranjang, lalu duduk di atasnya, tarik rok-mu!" Dia menarik roknya.

"Jangan lakukan itu!" Aku menunjuk roknya. Dia terkekeh.

"Oke, kau ucapkan sesuatu yang menggoda."

"Seperti?"

Dia meraih bahuku lalu mendekat ke wajahku. "Kau seksi sekali, izinkan aku mati di pangkuanmu. Potato, tomat, keju, hidup tidak berarti tanpamu. P€n!$ mu bagaikan wortel yang baru di cabut, biarkan aku merebusnya----" Milla mengernyit. "Apa?" Dia bertanya ada dirinya.

Baiklah, itu ide buruk membahas potato dan wortel.

"Oke, itu saran yang bagus." Aku memutar kursiku menghadap meja dan membereskan map menjadi tumpukan lalu berdiri.

"Mau ke mana?" Dia bertanya.

"Mempraktekan saranmu." Ucapku sambil mengedip padanya.

Dia melongo, "Ya Tuhan, kau pasti bercanda."

Aku memberinya senyuman iblis supaya dia tahu aku tidak bercanda.

*****

Living With an Idiot Where stories live. Discover now