Cinta Masa Lalu

7.9K 37 0
                                    


"Assalamualaikum...,"terdengar Rasyid mengucapkan salam.

Ibu yang dari tadi menunggu Rasyid langsung menjawab salam sambil tergopoh–gopoh membuka pintu.

"Alhamdulilah, kamu baik-baik saja Nak? Kami sangat khawatir, begitu juga ibumu, tadi sempat menelpon kemari. Kenapa teleponmu tidak bisa dihubungi?" Tanya Ibu.

"Maaf Bu, Hp saya hilang nggak tahu tadi jatuh di mana? Saya cari-cari nggak ketemu," jawab Rasyid sambil merebahkan diri di kursi.

Harusnya aku yang menyambut kedatangan Rasyid bukan Ibu, tapi aku malah tidak punya keberanian untuk menghampirinya. Aku hanya bisa memperhatikan Rasyid dari balik pintu kamar. Ingin rasanya hati ini menghampirinya memelukknya tapi rasa gengsi pada diri ini jauh lebih besar.

"Astaghfirullah tanganmu kenapa?" Tanya Ibu kaget melihat ada darah di tangan Rasyid.

"Terluka ketika membantu orang yang tertimpa papan reklame Bu. Nggak apa apa kok, tadi sudah diobati," jawab Rasyid mencoba menenangkan Ibu.

"Ya sudah sana kamu mandi dulu, trus minta tolong Arumi untuk membersihkan lukamu."

"Oh iya, tadi waktu Arumi nyusul kamu, kenapa kamu nggak ikut pulang sekalian?" Tanya Ibu membuat Rasyid heran.

"Arumi nyusul aku, Bu? Kapan?"

"Tadi beberapa menit setelah gempa? memangnya kamu nggak ketemu Arumi?" Tanya Ibu.

Rasyid hanya menjawab dengan senyuman.

Aduh Ibu, kenapa harus cerita masalah aku menyusul Rasyid? Pasti Rasyid jadi besar hati nanti, ketahuanlah aku telah mengkhawatirkannya.

Aku pura-pura tidak peduli dengan menyibukkan diri melipat baju, ketika Rasyid memasuki kamar untuk ganti baju. Walaupun Rasyid sebenarnya terus menatapku menunggu aku mengucapkan sesuatu. Aku tetap acuh, kemudian Rasyid mengambil perban dan obat-obat untuk mengobati lukanya. Dengan susah payah ia mencoba mengobati tangannya. Aku yang dari tadi memperhatikannya merasa kasian juga. Akhirnya aku pegang tangannya yang terluka ku ambil sejumput kapas. Ku tuang sedikit alkohol, kemudian ku oleskan perlahan ke luka di tangan Rasyid. Rasyid terus menatapku sambil mengeluarkan senyum khasnya.

"Makasih ya tadi sudah menyusulku"

"Bukan inisiatifku, Ibumu yang menyuruh," jawabku dingin.

"Tahu tidak, aku senang sekali hari ini kamu mengkhawatirkanku."

"Seandainya tadi aku mati, kamu nangis tidak?"

"Auww, sakit tahu," jerit Rasyid setelah aku cubit lukanya.

"Makanya jangan sembarangan bicara, aku nggak suka kamu bicara seperti itu," jawabku dengan nada marah.

"Tenang aja, aku nggak bakal mati kok sebelum mendengar ucapan I love you dari kamu," jawab Rasyid sambil berbisik di telingaku, yang membuat aku merinding.

"Besok kita menginap di rumahmu ya?" pintaku kepada Rasyid.

"Mau ngapain?" Jawab Rasyid sambil senyum meledek.

"Jangan punya pikiran macam–macam," jawabku sambil menginjak kakinya.

"Aduuuh, memangnya aku mikir apaan?"

"Kasian Ibu tadi sangat mengkhawatirkanmu, jika besok kita menginap beliau pasti senang."

"Ternyata orang yang tidak tahu arti cinta seperti kamu masih punya rasa peduli ya, walaupun bukan untukku"

Perkataan Rasyid begitu dalam. Kamu tidak tahu Rasyid siapa yang ada di hatiku?

*****

Ibu Suroso menyambut gembira kedatangan kami. Matanya berbinar, raut kesedihan karena kepergian Pak Suroso sepertinya sudah mulai pudar.

"Alhamdullilah kamu nggak apa-apa kan, Nak? Ibu cemas sekali untung Rumi mau nolong Ibu?" Sambil menengok ke arahku yang masih berdiri di belakang Rasyid.

"Ibu niatnya mau kesana mumpung ada Yahya di rumah, malah kebetulan kalian sudah kesini."

Agak cangung memang, biasanya aku ke rumah Rasyid bersama Ibu, tapi kali ini hanya bersama Rasyid. Walaupun begitu aku berusaha bersikap seperti sudah terbiasa, Rasyid saja bisa ketika berada di rumahku kenapa aku tidak bisa.

Aku mohon izin untuk menaruh bawaan kami di kamar Rasyid. Kamar yang dulu menjadi saksi malam pertamaku, walaupun tidak terjadi sesuatu di dalamnya. Kamar ini masih tertata rapi. Ku ambil tas yang berisi pakaian, kumasukkan kedalam lemari, supaya nanti jika menginap tidak perlu repot membawa pakaian lagi.

Mataku tertuju pada tumpukan kertas warna-warni, setelah aku teliti dengan seksama, baru tahu itu adalah tumpukan surat. Kuambil satu setelah kubaca ternyata untuk Rasyid dari Vira. Penasaran, kuambil surat-surat itu, semuanya dari Vira. Siapa Vira?setelah mengintip ke ruang tamu Rasyid masih asik mengobrol dengan Ibu.

Kubaca salah satu surat dari Vira. Degup jatungku terasa terpacu lebih kencang, terpana aku membaca surat ini, mesra sekali seperti ditujukan seseorang kepada kekasihnya. Kubaca tanggal surat itu dibuat, setahun yang lalu. Kubaca surat yang lain. Rasa apa ini? Ada sesuatu yang timbul di hatiku rasa tidak suka dengan Vira, kenapa aku tidak suka dengannya? Aku kan belum mengenalnya? Apa mungkin aku...? Cemburu.

Deg. Aku terkejut ketika tiba-tiba Rasyid memegang tanganku yang masih menggegam surat-surat itu.

"Ternyata Ibu belum membuang surat-surat itu?" Rasyid berkata dengan wajah sangat tenang.

"Maaf aku nggak bermaksud lancang ini kan masalah pribadimu," jawabku agak gugup.

"Kenapa wajah kamu merah begitu? Kamu nggak punya pikiran macam-macam kan? Apa kamu cemburu?"

Perkataan Rasyid membuatku geram, kusodorkan surat itu kedadanya.

"Wanita mana yang tidak cemburu jika menemukan surat cinta suaminya dengan wanita lain?" Kujawab dengan setenang mungkin, walaupun sebenarnya ingin rasanya merobek semua surat itu.

Mendengar perkataanku Rasyid malah tertawa. Membuatku semakin kesal.

"Vira adalah teman SMA ku dulu, dia masih kerabat jauhku. Dari surat yang telah kau baca memang terlihat Vira sangat menyukaiku tapi aku menganggapnya tidak lebih sebagai adik. Jujur saja Ibu sangat menyukai Vira, bahkan Ibu sangat ingin Vira menjadi istriku. Tapi rencana Ibu gagal ketika aku katakan telah menyukaimu.

Aku terakhir bertemu Vira dua tahun lalu, ketika dia memutuskan kuliah di Semarang. Sehabis itu kami jarang ketemu. Vira sering mengirimiku surat tapi aku tidak pernah membalasnya. Aku dan Vira tidak ada hubungan serius, hanya sekedar teman. Sebenarnya surat-surat itu ingin aku buang sebelum pernikahan kita, tapi kepergian Ayah membuat aku lupa," jelas Rasyid

"Maaf ya telah buat kamu cemburu, tapi aku senang kalo kamu cemburu," ledek Rasyid.

"Sekarang terserah kamu surat-surat itu mau kamu apakan," sambil menyerahkan surat yang ada ditangannya.

Aku menerima surat-surat itu kemudian aku taruh lagi di tempat semula.

"Kok nggak dibuang."

"Untuk kenang-kenangan kamu," jawabku singkat sambil beranjak mau pergi tapi belum sempat pergi Rasyid sudah memelukku dari belakang.

"Mau apa lagi," tanyaku.

Rasyid hanya terdiam, aku berusaha melepas pelukannya tetapi tangannya terlalu kuat sulit untuk dilepas. Kemudian tanpa di duga aku di hempaskan ke atas ranjang.

"Aku cuma mau bilang kamu sangat berarti bagiku, seribu kata cinta tidak akan cukup untuk mengungkapkan betapa aku sangat sayang kepadamu. Kamu nggak usah cemas dan ragu hari ini dan selamanya hati ini milikmu."

Maaf Rasyid, aku belum bisa membalas rasa cintamu, entah kenapa aku masih sangat sulit untuk mengucapkan tiga kata itu untukmu. Rasyid ...ajari aku untuk mengucapkannya, ajari aku untuk menyayangimu, ajari aku untuk menerimamu di hatiku.

masih bersambung ya....

Cinta BugenvilOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz