Chapter 8

7.3K 271 3
                                    


Lembayung senja mulai menyapa, warna keemasannya seperti mengurai dan tumpahan tinta di kanvas langit biru, berapdu dengan awan putih yang nampak begitu anggun berarak. Bakda ashar jalanan Jakarta mulai padat karena jam kantor kerja, Revan beberapa kali harus menekan kalaksonya pada pengendara motor yang melaju sembarangan. Hampir tiga puluh menit Revan bergelut dengan kemacetan jalanan akhirnya Ia sampai dipekarangan rumah rumahnya. "Tiddd" Revan menekan klakson dari luar gerbang.

"Tidd...." Revan menekan klaksonya lebih lama, dengan wajah kesal Ia turun  membuka pintu gerbang.

"Pak didin kemana?" Gumamnya dalam hati, masuk lewat pintu besi samping, Ia lihat pak Didin tak ada di pos jaga.

"Benar-benar, kalau ada pencuri masuk bagaimana?" Lanjutnya sembari mengambil kunci yang tergangantung di pos jaga. Setelah gerbang terbuka Revan langsung melajukan mobilnya di Garasi.

"Mang ujang juga kemana? Kenapa rumah ini sepi sekali" gumamnya sembari.

Merasa tak menemukan siapa pun Revan memutuskan untuk mandi. Rumah megah namun sepi, seperti kamuflase kehidupan, tertawa dan tersenyum bukan jaminan hati seseorang bahagia, berusaha kuat dan tegar bukan jaminan seseorang tidak pernah rapuh, hidup ini memang ajaib. Ada yang punya segalanya tapi miskin semuanya ada yang miskin segalanya tapi punya segalanya, hanya kita saja yang tidak tahu dimana letak kita berada. Hanya rasa syukur yg tahu dimana letak posisi kita. Revan menapaki satu demi satu anak tangga yang menghubungkan dengan kamarnya. Teling Revan menangkap sesuatu yang ganjil dari arah dapur.

"Pak Didin... jangan pak... Nur sudah tidak kuat, sakit, ampun pak, mang!" suara itu jelas terdengar dari arah dapur yaitu suara Nuraini yang sepertinya merintih kesakitan.

"Apa yang Pak Didin dan mang ujang lakukan?" Gumam Revan.

"Ai! Jangan-jangan mereka, berengsek!" Lanjutnya dengan mata berkilat penuh amarah, bahkan tas kerja dan jagsnya pun Ia lempar ke shofa.

"Tenang Nur! Tidak apa-apa koq, lagian cuma ada kita bertiga saja koq dirumah, benar gak mang ujang" sahut pak Didin.

"Bener Neng, sok atuh jangan malu-malu buka saja kerudungnya" jawab Mang Ujang, Revan semakin mempercepat langkahnya, menggulung lengan kemeja dan melonggarkan ikatan dasinya yang mulai terasa mencekiknya.

"Apa yang kalian laku..." ucap Revan setelah dia sampai di dapur dimana posisi Nuraini, Pak Didin dan Mang Ujang yang duduk lantai memojokan Nuraini. Mata Revan membulat sebulat-bulatnya, mulutnya pun ikut mengangga lebar-selebarnya tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Pak Didin dan Mang Ujang pun menatap Revan tak kalah sama dengannya.

"A-pa yang se-dang kalian lakukan?" ucap Revan terbata dan bercampur tidak percaya. Bagaimana tidak pemandangan di hadapannya benar-benar tidak manusiawi, wajah pak Didin dan Mang ujang penuh coretan Lipstik dan adonan tepung, dari dahi, bibir merah, kumis merah, kumis kucing dan love di pipi dan coretan-coretan aneh lainya, tak hanya itu kedua telinga mang Didin dan mang Ujang menempel penjepit jemuran.

"Maaf Tuan, kami di paksa main gaple sama si Nur" terang. Pak Didin, sementara Mang Ujang hanya mengangguk mengiyakan jawaban Pak Didin. Mata Revan beralih pada Nuraini yang membenamkan wajahnya dibalik kedua tangannya yang di tutupi oleh Jilbabnya.

"Ai..." panggil Revan, tapi si pemilik suara masih diam tak menegakan kepalanya.

"Ai, angkat kepalamu?" Uap Revan pelan sembari jongkok mensejajari Nurain, Pak Didin dan Mang Ujang.

"Ai! Kalau kamu tidak mengangkat kepalamu saya akan memecat Pak Didin dan Mang Ujang" ancam Revan serius. Wajah Pak Didin dan Mang Ujang langsung pucat pasi mendengar ancaman Revan, Pak Didin dan Mang Ujang saling melirik dengan ekspresi ketakutan lalu keduanya menolek pada Nuraini yang masih menunduk.

MEMINANGMU (Tersedia Dalam Bentuk Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang