9 - Rivalry

4.8K 268 17
                                    

"Hanny?"

Aku baru saja akan beranjak pergi ketika suara berat dan parau menggemakan namaku di udara. Kontan aku menoleh dan mendapati sosok pria tampan dengan sweater abu-abu yang bagian lengannya digulung dipadukan jeans hitam serta sneakers Nike Kanye West Edition. Rambut cokelatnya tampak berantakan diterpa angin malam. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya mengapit sebatang rokok yang sudah dihisap separuh sedangkan tangan kirinya menggenggam Ice Chocolate Macchiato yang permukaannya cup nya sudah berembun.

Aku masih melongo dan berpikir aku mungkin didatangi oleh salah satu aktor FTV hingga akhirnya aku mengenali pemilik beragam corak tato di lengan kiri yang sedang berdiri di hadapanku.

"Anda-"

"Justin," sergah pria itu seraya melempar rokoknya yang masih setengah ke tong sampah dengan satu gerakan mengagumkan. Sejurus kemudian ia tersenyum amat manis hingga menampakkan deretan giginya yang rapi.

"Oh iya. Pak Justin," ucapku kikuk seraya mengulurkan tangannya.

"Apa kabar, Pak?"

Justin menyambut uluran tanganku. Halus. Itulah yang kurasakan ketika telapakku menyentuh permukaan telapak tangan Justin.

"I'm fine. And you? Uhm.. Please don't call me Sir. I'm not your father," ujar Justin diikuti tawa kecil. "Becanda."

Aku menanggapi Justin dengan sebuah cengiran kuda. Hingga Justin menaikkan sebelah alisnya karena aku masih menggenggam tangannya. Sadar apa yang kulakukan, aku segera menarik tanganku.

"Saya juga baik-baik saja, Pak eh"

"Panggil saja Justin."

"Tapi kan-"

"Saya tahu saya udah tua. Tapi apa saya benar-benar keliatan seperti orang yang berusia 30 tahun?"

Ngga. Sama sekali ngga. Aku membatin.

Dengan outfit semacam ini, Justin lebih keliatan seperti anak muda berusia 20 tahun yang baru saja pulang kuliah. Wajahnya sehalus pualam, tak ada kerutan sedikitpun. Rahangnya yang tajam kontras dengan hidungnya yang lurus dan alis tebal yang menaungi mata cokelat madunya yang berpendar sayu. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan kalau dia itu tua?

"Hanny?"

Suara Justin menarikku ke alam sadar.

"Eh iya Pak, eh Justin. Sedang apa ba eh anda disini?" aku tergagap sambil tersenyum memaksa.

"Saya lagi muter-muter aja. Kebetulan apartemen saya ngga jauh dari sini. Kamu ngapain disini? Lagi nunggu seseorang? Pacar?" seloroh Justin dengan tatapan menyelidiki saat mengucap kata 'pacar'.

"Eng.. ngga. Saya lagi nungguin tante Erna."

"Ooh, kirain nungguin seseorang atau..... Nico."

"Ya ngga lah. Kenapa anda bisa ngomong kayak gitu?" aku berusaha tertawa dan menanggapinya sebagai candaan.

"Yaa, soalnya saya liat kayaknya kamu akrab banget Nico." Seloroh Justin dengan satu tarikan senyum yang penuh 'hujatan' yang tak ku mengerti.

Aku pun menceritakan semuanya, alasan kenapa aku terdampar di sini yang ditanggapi dengan ragu olehnya. Aku dan Justin berbincang sejenak dan tak lama tante Erna muncul dengan beberapa paper bag di tangannya. Tante Erna sumringah ketika melihat wajah Justin. Barulah Justin tahu kalau aku tidak berbohong.

I Love Your ManWhere stories live. Discover now