Part 9

44.6K 5.5K 155
                                    

Well, saya ragu mau mempublikasi part ini. Mohon beritahu saya apabila ada kesalahan. Juga, sebagai newbie, sulit banget buat nulis banyak dalam satu waktu. Mohon maaf. Semoga berkenan, Selamat menikmati.

Kian membuka matanya perlahan. Tangannya terasa sedikit nyeri akibat tertusuk jarum infus. Dilihatnya ada bekas darah yang keluar di dalam selang infusnya. Mungkin karena terlalu banyak bergerak. Kian tak tahu alasan pastinya.

Ia memperhatikan sekitarnya. Sinar matahari menembus gorden jendela samar, pertanda pagi telah datang. Ruangannya sepi. Tak ada orang lagi di kamarnya.
Tapi pintu kamar tiba-tiba saja terbuka, membuat Kian berjengit kaget. Adis berdiri dengan tampang kusut di baliknya. Mukanya tertekuk, terlihat sekali sedang kesal.

"Kenapa?" tanya Kian kepada adiknya.

"Nggak papa sih, mbak. Biasa temen kampus," jawab Adis. Ia duduk kembali di kursi sebelah ranjang.

"Ada masalah?" tanya Kian lagi. Kian tahu sekali adiknya adalah mahasiswa aktif di kampus.

"Nggak ada."

"Kamu tumben banget sih, bohong segala sama mbak. Biasanya juga langsung nyablak."

Adis mendelik. Kemudian berdecak semakin kesal. "Mereka tuh mbak, Adis udah bilang lagi jaga mbak di rumah sakit, tapi maksa Adis untuk tetap datang."

"Libur-libur begini?"

Adis mengangguk.

"Mereka maksa kamu pasti ada alasannya, dong," bujuk Kian lagi. Ia tahu adiknya ini tidak pintar menyimpan rahasia darinya.

"Mereka mau nyalonin Adis jadi ketua BEM Fakultas," jawab Adis pasrah. Ia langsung disambut pukulan keras di lengan kanannya. "Ah! Sakit, mbak!"

"Kamu, tuh! Di kasih kesempatan emas malah diem di sini. Pergi, kamu!" usir Kian.

"Tapi terus siapa yang nungguin mbak?" tanya Adis merasa bersalah.

"Kamu pikir mbak ini balita?"

"Ini lebih ngrepotin dari balita, malah. Kalo mbak balita mah, Adis bisa bawa ke kampus."

Kian udah siap mengangkat tangannya, hendak memukul lengan Adis. Tapi dengan cepat Adis menghindar cengengesan.

"Dasar, bocah tidak tau diuntung," geram Kian.

"Ah, tapi kan mbak sayang." Adis mengambil jaket dan kunci motornya. Kemudian mendekat, mencium tangan dan pipi Kian. "Adis pergi mbak."

"Hati-hati."

Sepeninggal Adis, Kian terdiam kembali. Ia bingung harus melakukan apa. Padahal kalau minggu pagi, biasanya ia akan tidur hingga pukul sembilan. Tapi, entah kenapa rumah sakit membuatnya tak nyaman. Ini masih pukul delapan, tapi matanya tidak mau terpejam.
Ia menempelkan telapak tangan ke dahinya, kemudian pipi, dan punggung tangan. Sepertinya suhu tubuhnya sudah turun. Kepalanya juga sudah tidak terlalu pusing walaupun masih ada rasa mual.

Kian memencet tombol emergency di sampingnya. Malas keluar kamar untuk mencari perawat. Biar saja perawat-perawat itu datang ke kamarnya.

"Ada yang bisa dibantu, mbak Kian?" Seorang perawat datang tak lama kemudian.

"Kapan saya boleh pulang?"

Perawat itu mendekat sambil tertawa hangat. Ia kemudian mengecek infus di tangan Kian.

"Tunggu dokternya dulu ya, mbak. Senin dokternya baru visite," jawab perawat tersebut ramah.

"Saya mau pulang paksa saja kalau begitu," jawab Kian. "Saya sudah sembuh ini."

Inevitable DestinyWhere stories live. Discover now