-Satu-

55.6K 2.1K 56
                                    

Umurnya baru menginjak dua puluh lima tahun, tapi ia harus menyandang status sebagai seorang janda.

Namanya Khanza Shalsabila, wanita cantik berhijab itu adalah pemilik butik kecil dengan dua orang pegawai di dalamnya. Selain memiliki sebuah butik sebagai penghidupannya sehari-hari, Khanza memiliki seseorang yang jauh lebih berharga dari yang lainnya. Bilal, anak kandung Khanza yang berusia empat tahun adalah alasan nomor satu bagi Khanza untuk bisa bertahan hidup.

"Assalamualaikum, Bunda."

Bilal muncul dengan wajah cerianya, di tuntun oleh Astrid, seorang pekerja di butik Khanza yang sengaja membawa Bilal berbelanja ke supermarket yang memang berseberangan dengan butik Khanza.

"Waalaikumsalam, eh anak Bunda udah pulang? Belanja apa aja sama kak Astrid?"

Bilal tersenyum ragu, "Bilal beli es krim, Bunda."

"Maaf Bun, sebenarnya saya udah larang Bilal supaya nggak beli es krim, tapi Bilal malah nangis."

Astrid berucap sedikit ragu, takut-takut Khanza marah meski sebenarnya Khanza sulit sekali untuk marah, untuk menegur saja Khanza terkesan jarang.

"Tidak apa-apa," Khanza tersenyum pada Astrid. "Bilal nggak boleh sering beli es krim ya?" ucapnya sembari mencium pipi Bilal. "Astrid boleh kerja lagi, tadi saya sudah buat desain baju pengantin, tinggal kamu jahit dan tolong beli manik-manik juga pita sesuai warna yang di pesan," pesannya panjang lebar.

"Iya Bun, nanti saya beli bahan-bahan yang kurang. Kalau gitu saya masuk dulu Bun, dadah Bilal."

"Dadah Tante," pekik Bilal sembari membalas lambaian tangan Astrid.

"Kalau begitu sekarang kita naik ke atas karena Bilal harus makan siang."

Butik milik Khanza memang merangkap rumah juga. Lantai bawah di gunakan sebagai butik dan lantai atas di gunakan sebagai tempat tinggal Khanza dan Bilal. Tak jarang juga Astrid dan Mulan menginap di kamar yang di sediakan di lantai bawah, sekedar untuk menyelesaikan rancangan hingga larut malam.

"Bunda," suara lembut Bilal terdengar ketika Khanza sedang menuangkan nasi ke dalam piring. "Bilal sayang Bunda."

Khanza menghentikan aktivitasnya sejenak, kepalanya menoleh ke arah Bilal yang sedang memegang sendok sambil menatapnya. Air mata Khanza meluncur begitu saja, kalimat 'Bilal sayang Bunda' memang sering terdengar di telinga Khanza, bahkan Bilal mengucapkan kalimat itu beberapa kali dalam sehari. Tanpa Bilal berkata seperti itu pun, Khanza tahu kalau anaknya memang menyayangi dirinya.

"Bunda juga sayang Bilal," Khanza mencium kedua pipi Bilal dengan gemas. "Sekarang makan ya, Bunda masak sup dan Bilal harus habiskan wortelnya."

Bilal mengangguk antusias, "Oke Bunda!"

¤¤¤

Harris menepikan mobilnya di pinggir jalan, matanya berkilat marah ke arah ponsel yang sedari tadi di genggamnya. Lagi-lagi Ibunya mengirimi pesan dan mengatakan kalau ia harus segera pulang dan menemui tamu istimewanya malam ini. Tamu? Istimewa? Untuk Harris? Harris menggeleng cepat, Ibunya memang selalu mengatakan itu jika 'tamu istimewa' yang di maksud Ibunya itu adalah calon istri untuk Harris.

Calon istri?

Demi Tuhan! Bahkan ia berpikir kalau usianya masih tergolong muda, ya meskipun tidak terlalu muda juga. Dua puluh delapan tahun, umur yang menurut dirinya masih tergolong muda untuk menikah. Karena Harris pernah bernadzar sendiri kalau dirinya akan menikah saat umurnya pas menginjak kepala tiga.

"Tapi, jodoh kan siapa yang tahu, bisa saja kamu menikah minggu depan atau bulan depan."

Tapi tiba-tiba saja ucapan Ibunya kembali terngiang. Minggu depan atau bulan depan? Bahkan ia saja belum memiliki kekasih, lalu siapa yang akan di bawanya ke pelaminan kalau kekasih saja ia tidak punya.

Istri Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang