Chapter 19

83.7K 2.3K 49
                                    

Lana POV

Arrghh, aku gugup setengah mati setelah melontarkan ide itu pada Mas Firman. Bagaimana caraku mengatakan pada ayah dan ibu bahwa aku akan memperkenalkan Mas Firman pada mereka?

"Bu,." aku memberanikan diri untuk berbicara pada ibu yang sedang mencincang bawang putih di dapur.

"Apa?" katanya ibu tanpa menoleh.

"Ng, itu..."

"Eh, ibu lupa bilang, Bima diterima kerja di Jakarta. Jadi kalau kamu jadi kuliah di Jakarta nanti ada yang bisa jagain."

Aku terdiam sesaat. "Bang Bima diterima kerja di Jakarta?"

"Iya, di perusahaan asing yang bagus. Jadi kalau kamu sudah kuliah dan dapat gelar, bisa minta tolong Bima masukin kamu juga di sana."

Aku menelan ludah. Kalimat yang sudah kususun rapi di otakku mendadak menghilang satu persatu.

"Kamu mau ngomong apa tadi, Lana?"

"Apa ya?" aku menggaruk kepala. "Lana lupa, Bu."

Kuurungkan niatku untuk memberitahunya saat ini. Besok sajalah, mungkin besok aku akan lebih siap. Semoga saja.

*

"Mau nambah?" tanya Mas Firman melihatku yang baru saja menghabiskan sepiring gado-gado.

"Nggak ah, Mas." aku menggeleng cepat. "Nanti Lana gendut."

"Gendut itu lucu juga kok. Lihat aja, kucing kalau gendut kan lucu, bikin gemes."

Aku memukul lengan Mas Firman geram. "Masa Lana disamaain sama kucing sih, Mas."

"Eh, tapi Mas serius loh, mau kamu gemuk atau kurus, Mas nggak masalah, Sayang."

"Bener, Mas?" aku memastikannya masih tak percaya.

Ia mengangguk sambil mengulum senyum jahil. Di saat bersamaan, tanpa sengaja aku melihat sepasang kekasih masuk ke kafe ini.

Nindy yang datang bersama Johan menatapku dan Mas Firman yang sedang menghabiskan makanannya bergantian sejenak lalu memalingkan wajah, seolah-olah kami bukan teman sebelumnya.

Ia duduk bersama Johan dan mulai sibuk memilih menu. Tak sekali pun ia menatap ke arah kami lagi, meski aku terus memerhatikannya.

"Kenapa, Lana?" Mas Firman bertanya lantaran aku diam sejak tadi.

"Nggak apa-apa, Mas. Lana ke toilet sebentar ya?"

Aku bangkit dan segera beranjak ke toilet. Usai keluar dari kamar kecil dan hendak mencuci tangan, kulihat Nindy sudah menunggu di sana.

"Jadi, itu pacar kamu?" tanyanya sambil menghampiriku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.

"Dia kelihatan tampan, yah walau sudah om-om sih," katanya lagi.

Aku masih tak berkomentar, kubiarkan ia berkat lagi.

"Tapi, kamu harus hati-hati Lana. Jangan sampai dia mempermainkanmu. Terkadang pria sedewasa itu menganggap gadis seperti kita ini sebagai mainan mereka. Hanya untuk bersenang-senang. Diincar, dipakai, terus dicampakkan. Mereka tidak serius dengan gadis belia."

"Mas Firman tidak seburuk pemikiran kamu, Nindy," ujarku pelan. Sakit hati dengan kata-katanya. "Mas Firman tidak sekadar bermain-main denganku."

He is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang