Chapter 26

70K 2.3K 42
                                    

Firman POV

"Gimana, udah dapat restu dari orang tua gadis itu?" tanya Fariz yang baru datang ke bar.

Aku meneguk jusku lalu menggeleng. "Belum."

"Apa aku bilang, kalau kamu memang mau menikahinya, bawa lari saja atau hamili sekalian."

Aku diam saja. Jujur saja, hal itu akhir-akhir ini terlintas di pikiranku. Ya, buruk memang. Tapi, saat benar-benar frustasi, saran Fariz itu sering menyelinap ke benakku.

Namun, untuk saat ini, aku mencoba dengan cara lain. Aku mencari tahu tentang Ramli dan pekerjaannya.

Ternyata ia bekerja sebagai marketing di sebuah jasa ekspedisi. Aku pun mendapat ide untuk mempromosikan beberapa rekan kerjaku untuk menggunakan jasa ekspedisi mereka, termasuk kantorku sendiri. Mungkin aku bisa meluluhkan hatinya dengan cara itu.

"Firman," panggil Fariz membuyarkan lamunanku. "Kamu memang yakin dengan gadis itu? Kamu bilang, kalau kalian menikah, kamu akan membiarkannya kuliah dan mengejar kariernya? Itu terdengar tidak biasa."

"Itu adalah janjiku padanya, Riz. Ia mau menikah denganku saja sudah merupakan kebahagian sendiri."

"Wah, kamu memang pria hebat." Fariz menepuk-nepuk pundakku.

"Makanya, kamu belajar untuk mencintai dong."

"Dasar, jangan sok nasehati," ia berujar malas. "Oh ya, di kantormu ada lowongan nggak?"

"Kenapa? Kamu mau kerja di kantorku?"

"Kamu mau gaji aku berapa memangnya? Bukan untukku. Untuk seorang kenalanku."

"Wanita?" tanyanya.

"Iya."

"Dia teman kencanmu?"

"Iya."

"Kalau begitu tidak kuterima."

"Jangan begitu dong, bro. Dia sedang cari kerja. Aku mau-mau aja menyuruhnya kerja di Manila. Tapi, dia mau cari kerja di kota ini karena dia tidak bisa meninggalkan ibunya seorang diri."

"Kirim lamarannya saja ke e-mailku. Kalau cocok baru aku terima. Meski dia kenalanmu, aku tidak bisa langsung menerimanya begitu saja."

"Ok, ok, baiklah. Memangnya dulu, kamu menerima si Lana itu di kantormu dengan cara formal begini juga?" Fariz tertawa. Aku memang sudah menceritakan bagaimana aku bisa bertemu Lana sampai Lana akhirnya bekerja di kantorku.

"Lana kan beda. Dia sudah langsung lulus seleksi hati." Aku tersenyum mengejek.

"Anjir," makinya.

*

"Ibu kamu suka apa?" tanyaku pada Lana yang berjalan di sampingku. Aku menjemputnya dari rumah budenya tadi untuk mengajaknya berbelanja.

"Apa ya? Ibu suka segala yang vintage dan klasik."

Aku berpikir sejenak. "Mari kita lihat-lihat toko tas itu."

Kami memasuki sebuah toko tas di mall yang kami kunjungi.

"Bagaimana dengan tas ini? Ini terlihat klasik." Aku menyentuh sebuah tas di rak.

"Tas ini sangat bagus, Mas. Selera Mas luar biasa."

"Ibu Mas dulu juga menyukai tas-tas seperti ini. Ia juga wanita yang menyukai segala hal berbau vintage, etnik, dan klasik." Aku terbayang pada mendiang ibuku seketika.

He is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang