Chapter 21

72.4K 2.3K 35
                                    

Firman POV

Kursinya kosong. Matahari pagiku tak ada di tempatnya pagi ini, padahal ini sudah hampir pukul 10 pagi.

"Lana belum datang?" tanyaku pada Naya yang mengalihkan perhatiannya dari komputer demi melihat kursi di hadapannya yang kosong.

Ia pun menggeleng. "Sepertinya belum datang, Pak," jawabnya.

Aku mengangguk lalu meninggalkan lantai 2 dan naik ke ruanganku dengan menerka-nerka alasan kenapa Lana belum juga datang.

Dua jam kemudian, aku melakukan intercall ke meja Naya untuk kembali bertanya apakah Lana sudah datang dan ia menjawab hal serupa seperti sebelumnya.

Aku mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Apa mungkin terjadi sesuatu? Pikiranku mendadak menjadi tak tenang.

Segera kukeluarkan ponsel, mencoba menghubungi Lana beberapa kali, namun tak ada jawaban dari. Kucoba sekali lagi dan ia tak juga menjawab.

Apa mungkin dia sakit?

Perasaan khawatir memenuhi dadaku, apalagi beberapa hari ini ia terlihat pucat dan tak bersemangat. Mungkinkah Lana benar-benar sakit?

Kekhawatiranku terhadap Lana membuatku tak konsentrasi bekerja. Setiap 15 menit, aku menghubunginya. Tapi, tetap saja ia tak menjawab.

Apa jangan-jangan ia marah padaku dan tak mau menjawab teleponku?

Dahiku berkerut. Jariku menggerak-gerakkan kursor di laptop sambil berpikir, kalau iya, apa kira-kira yang membuatnya marah? Apa karena aku memintanya untuk pulang malam itu saat ia ingin menginap di tempatku?

Ah, jujur saja, aku juga ingin ia menginap. Aku ingin ia ada di sisiku semalaman dan memandang wajahnya saat terbangun di pagi hari. Aku sangat menginginkannya. Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak mencegahnya pulang malam itu. Tapi, itu hanya akan menambah masalah baru.

Jariku beranjak membuka folder foto di laptopku. Ya, kumpulan foto Lana yang aku punya. Mulai dari foto Lana saat pertama kali berlibur di taman bermain sampai foto terakhir yang diam-diam kuambil saat ia terlelap di sampingku.

Kalau ada yang bertanya, sejak kapan aku menyukai Lana, jawabannya adalah sejak pandangan pertama. Mungkin cinta pada pandangan pertama terdengar konyol, tapi itulah yang kualami.

Pertama kali melihatnya di toko baju itu, ia sudah menarik perhatianku dan membuat hatiku bergetar. Awalnya aku menganggap ketertarikan itu mungkin hanya ketertarikan fisik semata karena Lana memang sungguh indah.

Pertemuan kedua, saat kami mulai berkenalan, mengobrol dengannya panjang lebar, entah mengapa ada perasaan nyaman. Tapi, berusaha kuabaikan karena aku kira itu bukan cinta. Tak mungkin aku jatuh cinta pada seorang gadis remaja. Aku bukan om-om nakal yang hobi bersenang-senang dengan gadis belia.

Tapi, pertemuan-pertemuan berikutnya, aku tak bisa menghindari perasaan yang berkembang di hatiku. Lana positif membuatku jatuh cinta. Tak ada sehari pun kulewati tanpa memikirkannya. Ia juga mulai masuk ke mimpi-mimpiku.

Aku masih berusaha menahan perasaanku karena merasa tak pantas jatuh cinta padanya. Namun, sikapnya, perhatiannya, kehadirannya, seluruh yang ada di dirinya membuatku tak bisa lagi menahan perasaanku sampai akhirnya kuputuskan bahwa aku akan mengungkapkannya. Dan, kuungkapkan itu lewat ciuman malam itu, di dalam kamarku. Ciuman yang menjadi pelampiasan rasa yang kutahan selama ini.

Sial. Memikirkan Lana saat ini membuatku semakin merindukannya. Oh, Lana, kenapa kamu tidak datang atau pun menjawab teleponku.

Aku yang tak sabar menunggu lagi pun memberanikan diri ke rumah Lana, untuk menemuinya langsung. Aku harus bertemu dengan Lana dan memastikan bahwa ia baik-baik saja.

He is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang