Naga 18

3.9K 62 4
                                    

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Bukan aku yang membunuhnya."

"Habis siapa? Mengapa dia mati?"

Kembali kakek itu menarik napas panjang. "Kami berdua tadi sedang mengadu sin-kang, maksudku... dia memaksaku untuk melindungi diriku karena dia menyerangku dengan sin-kang. Lalu kau tiba-tiba masuk di antara kami dan kau terseret. Engkau terancam bahaya maut maka aku mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadamu. Dan tanpa kausadari, juga tanpa kusadari, ternyata semua hawa sin-kang di tubuhnya telah berpindah ke dalam tubuhmu, membuat dia tewas..."

Sin Liong menggigil dan kembali dia menoleh, memandang kepada tubuh yang tak bernyawa itu dan tiba-tiba kedua matanya mengalirkan beberapa butir air mata. Kakek gila yang patut dikasihani. Dia yang membunuhnya?

"Lociaripwe mengajarkan saya ilmu iblis untuk membunuhnya!"

Cia Keng Hong menggeleng kepala.

"Dia sendiri yang salah... ah, dalam usia, setua itu kambuh kembali penyakit gilanya... sungguh patut dikasihani..."

"Tapi locitnpwe mengajarkan Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa! Dan dia mati karena saya! Ah, locianpwe mengajarkan saya menjadi pembunuh orang yang tidak berdosa!"

"Tidak, Sin Liong. Aku mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadamu hanya untuk menyelamatkan nyawamu yang tadi terancam bahaya. Kok Beng Lama meninggal dunia karena kesalahannya sendiri dan memang dia sedang kumat gilanya, dan dia sudah tua. Engkau tidak membunuh, apalagi karena hal itu terjadi di luar kesadaranmu, di luar pengetahuanmu."

"Tapi... tapi dia mati karena saya..." Sin Liong merasa menyesal bukan main, apalagi sekarang tubuhnya masih merasa tidak karuan, masih sakit-sakit dan penuh dengan hawa yang bergerak-gerak mengerikan. Lebih-lebih sekarang setelah dia tahu bahwa yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya itu adalah hawa sin-kang dari kakek gundul itu yang telah berpindah ke dalam tubuhnya, dia merasa ngeri dan serem, seolah-olah nyawa kakek gundul itu telah memasuki jasmaninya!

"Sudahlah, Sin Liong. Daripada meributkan hal-hal yang sudah terjadi di luar kesadaranmu, lebih baik kau membantu aku menguburkan jenazah Kok Beng Lama. Kau tidak tahu siapa dia. Dia itu adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan. Ilmu kepandaiannya luar biasa sekali sehingga akupun tadi hampir celaka dan kalah olehnya kalau saja engkau tidak masuk di antara kami. Dan dia itu adalah guru dari putera saya sendiri, bahkan guru dari cucu saya sendiri, jadi dia bukanlah musuhku. Hal ini perlu kuberitahukan agar kau tidak salah duga, Sin Liong. Aku sama sekali tidak bermusuh dengannya, apalagi ingin membunuhnya!"

Sin Liong memandang dengan jantung berdebar. Kakek ini adalah ketua Cin-ling-pai, kakek ini adalah kong-kongnya sendiri! Dan kakek gundul tadi adalah guru dari putera kong-kongnya, berarti guru dari ayahnya, ayah kandungnya! Akan tetapi karena masih meragukan kebenaran hal luar biasa ini dia bertanya, "Dia... dia itu guru putera locianpwe, siapakah putera locianpwe itu?"

Pertanyaan itu terdengar sepintas lalu saja, maka tidak menimbulkan kecurigaan dalam hati Cia Keng Hong yang menarik napas panjang lagi. "Ah, puteraku itu bernama Cia Bun Houw..." Lalu kakek itu termenung karena sampai sekarang hatinya masih terluka oleh kepergian Bun Houw yang tiada kabar ceritanya itu.

Mendengar ini, yakinlah hati Sin Liong dan ingin dia memeluk kakeknya ini saking girangnya, akan tetapi dia menahan perasaannya dan berkata, "Akan tetapi, bukankah locianpwe tadi bertanding secara aneh dengan dia?"

"Bukan bertanding, melainkan aku terpaksa membela diri karena dia menyerangku..."

"Kalau dia itu bukan musuh locianpwe, kenapa dia menyerang locianpwe?"

Kakek itu termenung. Memang ada sebabnya dan dia merasa tidak perlu menceritakan kepada anak ini tentang sebab musababnya yang terlampau panjang. Di dalam kisah Dewi Maut diceritakan betapa puteri Kok Beng Lama tewas dan puteri ketua Cin-ling-pai ini yang tertuduh menjadi pembunuhnya sehingga pernah terjadi bentrok antara Kok Beng Lama dan Cin-ling-pai. Kemudian, biarpun ternyata bukan puteri Cin-ling-pai itu yang membunuh, namun kematian itu terjadi sebagai akibat dari percekcokan antara puteri Kok Beng Lama dan puteri ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, hal itu telah diselesaikan oleh kedua fihak, dan hanya kalau Kok Beng Lama kambuh penyakit gilanya maka urusan itu timbul lagi di dalam hatinya. Cia Keng Hong tentu saja merasa tidak perlu menceritakan urusan itu kepada anak kecil yang ditolongnya itu.

"Dia bukan musuhku, akan tetapi dia itu mempunyai penyakit gila yang kadang-kadang kambuh. Dan sekarang, dia sedang kambuh, maka dia menyerangku. Sudahlah, Sin Liong, mari kita menggali kuburan untuk dia."

Melihat betapa Cia Keng Hong hanya menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu itu, Sin Liong ikut-ikut dan... betapa heran hatinya ketika dia mampu pula menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu! Walaupun tidak secepat kakek itu dan dia amat canggung dan beberapa kali kayu itu patah dan harus diganti, namun dia dapat mengerahkan tenaga melalui kayu itu dan menggali tanah yang keras!

Kagum sekali hati Sin Liong melihat betapa kakeknya itu meletakkan sebuah batu besar di depan kuburan sebagai nisan, dan menggunakan jari telunjuknya untuk menggores-gores permukaan batu yang halus dengan huruf-huruf indah yang berbunyi MAKAM KOK BENG LAMA. Diam-diam dia kagum dan juga girang. Kakeknya ternyata adalah seorang yang luar biasa saktinya, juga seorang kakek yang berhati mulia!

Mereka melanjutkan perjalanan dan Cia Keng Hong melihat betapa anak itu diam saja, padahal tubuhnya masih penuh dengan hawa mujijat itu. Anak ini benar-benar hebat, pikirnya. Anak lain tentu akan mengeluh, dan mungkin sekali mengamuk atau melakukan hal-hal aneh, apalagi setelah diketahuinya bahwa ada tenaga hebat di dalam tubuhnya. Dia mengajak Sin Liong mengaso duduk bersila di depannya.

"Sin Liong, engkau tentu merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dalam dirimu, bukan?"

Anak itu mengangguk. "Di dalam seluruh tubuh saya ada hawa bergerak-gerak, locianpwe."

"Dan engkau sudah tahu bukan, apa artinya itu?"

"Locianpwe sudah memberi tahu bahwa tenaga sakti dari mendiang Kok Beng Lama telah pindah ke dalam tubuh saya."

"Benar, dan engkau telah pula mengetahui rahasia Thi-khi-i-beng. Biarpun kuberikan ilmu itu dalam keadaan darurat, akan tetapi berarti engkau telah mewarisi ilmu itu dariku. Ketahuilah bahwa puteraku sendiri, Cia Bun Houw, tidak mewarisi ilmu ini. Satu-satunya orang yang pernah mempelajarinya adalah Yap Kun Liong. Oleh karena itu, engkau boleh dibilang adalah seorang muridku, Sin Liong."

Sin Liong menundukkan mukanya. "Terima kasih atas kebaikan locianpwe."

"Aku tidak memberi kebaikan apa-apa. Hanya engkau harus berjanji. Tidak sembarang orang boleh memiliki Thi-khi-i-beng, dan setelah engkau terlanjur memilikinya, maka engkau harus mengucapkan janji. Kalau tidak, terpaksa aku akan mencabut ilmu itu dengan merusak jalan darahmu, hal ini terpaksa agar kelak engkau tidak mendatangkan malapetaka bagi manusia di dunia."

"Saya akan berjanji, locianpwe," jawab Sin Liong dengan alis berkerut. Untung bahwa yang bicara itu adalah Cia Keng Hong, atau lebih tepat lagi untung bahwa Sin Liong tahu bahwa kakek ini adalah kong-kongnya, karena andaikata tidak demikian, dia lebih memilih mati daripada ditekan!

"Kau harus bersumpah dan berjanji bahwa Thi-khi-i-beng tidak akan kaupergunakan untuk membunuh orang, kecuali dalam pembelaan diri, dan juga kau berjanji bahwa engkau tidak akan mengajarkan Thi-khi-i-beng kepada siapapun juga sebelum aku mati, dan kalau terpaksa kauajarkan kepada orang kelak, engkau harus menyuruh dia bersumpah pula untuk mempergunakan demi kebaikan dan kebenaran."

Sin Liong mengucap janji dan sumpahnya sehingga agak terhibur jugalah hati kakek itu. Setelah Sin Liong mengucapkan janjinya, keadaan menjadi hening dan akhirnya terdengar kakek itu berkata, "Dengan demikian, mulai sekarang engkau adalah muridku. Nah, sekarang perhatikan baik-baik dan dengarkan dengan penuh perhatian. Aku akan mengajarkan pertama-tama agar kau dapat menyimpan dan menyalurkan hawa yang amat dahsyat di dalam tubuhmu itu, karena kalau tidak, tubuhmu yang masih muda dan lemah tidak akan kuat bertahan dan engkau takkan dapat hidup lama."

Kakek itu lalu mengajarkan cara-cara menghimpun tenaga sakti itu, cara bersamadhi dan mengatur pernapasan. Selama semalam suntuk kakek itu menggembleng sehingga Sin Liong mengerti benar dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong masih duduk bersamadhi dan dia sudah mulai merasakan betapa tubuhnya tidak begitu hebat lagi menderita kelebihan tenaga sakti itu, sungguhpun gerakannya masih kaku karena dia merasa kadang-kadang hawa itu hendak membawanya terbang ke angkasa, kadang-kadang pula mendatangkan berat yang hampir tak dapat terbawa oleh tubuhnya.

Melihat keadaan anak itu, Cia Keng Hong maklum bahwa betapapun juga, anak ini memerlukan tempat istirahat untuk terus berlatih mengendalikan hawa sakti yang terlalu kuat untuk tubuhnya itu. Maka dia mengambil keputusan untuk cepat pulang saja ke Cin-ling-san, biarpun hatinya masih penasaran dan menyesal bahwa dia belum juga berhasil menemukan Lie Ciauw Si, cucunya yang pergi mencari Bun Houw itu. Dia sendiripun perlu istirahat untuk memulihkan tenaga.

***

Ketika mereka mulai mendaki puncak Cin-ling-san, hati Sin Liong dilanda kegembiraan dan juga keharuan. Kakeknya tidak banyak bercerita tentang Cin-ling-san, maka diapun tidak tahu apakah ayah kandungnya berada di tempat itu, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, dan ketika dia tiba di daerah pegunungan ini, merasa betapa tempat ini adalah tempat ayah kandungnya, dia merasa gembira dan terharu. Maka dalam kegembiraannya itu, dia berjalan sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan setiap keadaan di pegunungan itu.

Dari lereng sudah nampak bangunan di puncak Cin-ling-san, bangunan yang menjadi tempat atau pusat dari Cin-ling-pai. Akan tetapi pagi hari itu sunyi saja di daerah puncak. Memang kini Cin-ling-pai tidaklah seramai dahulu. Apalagi semenjak isterinya meninggal, Cia Keng Hong lalu menyuruh semua anggauta Cin-ling-pai untuk meninggalkan puncak dan para murid atau anggauta Cin-ling-pai lalu tersebar di mana-mana, banyak yang masih tinggal di kaki Pegunungan Cin-ling-pai dan hidup sebagai petani-petani. Cia Keng Hong tadinya hanya tinggal berdua saja bersama cucunya, yaitu Lie Ciauw Si, dilayani oleh dua orang pelayan wanita. Kakek ini dan cucunya sendiri turun tangan di kebun menanam sayur-mayur. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja para murid kadang-kadang naik ke puncak mengunjungi ketua mereka. Ketika Cia Keng Hong dan Sin Liong mendaki puncak, di puncak telah menanti empat orang. Dari jauh Sin Liong melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pria dan dua orang wanita yang menanti kedatangannya kakek itu dengan wajah gembira, dan dia melihat betapa kakek itu mengeluarkan seruan tertahan kemudian tubuh kakek itu melesat dengan cepatnya ke atas puncak. Sin Liong juga berlari mengikutinya dan dia melihat betapa kakek itu kini berhadapan dengan mereka berempat, memandang dengan mata terbelalak kepada seorang di antara mereka, seorang laki-laki tampan yang berdiri dengan kepala agak tunduk.

"Kau...? Kau...!" Dan tiba-tiba Cia Keng Hong terhuyung dan jatuh terguling!

Pria tampan gagah berusia tiga puluh tahun lebih itu bukan lain adalah Cia Bun Houw dan wanita cantik jelita di sampingnya yang usianya satu dua tahun lebih muda itu adalah isterinya, Yap In Hong! Adapun pria dan wanita lain yang berada di situ adalah Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Bun Houw, putera bungsu dari ketua Cin-ling-pai itu, pergi meninggalkan orang tuanya ketika Cia Keng Hong menentang puteranya yang hendak menikah dengan Yap In Hong, karena puteranya itu telah ditunangkan dengan orang lain. Ayah dan anak bersikeras mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga akhirnya Bun Houw pergi bersama In Hong dan menjadi suami isteri tanpa perkenan orang tua! Kepergian Bun Houw inilah yang menghancurkan hati Cia Keng Hong dan isterinya, sampai isterinya meninggal dunia karena semenjak kepergian pemuda itu, tidak pernah ada berita lagi.

Ketika Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai itu, mendengar bahwa puterinya Lie Ciauw Si yang ikut dengan kakeknya di Cin-ling-san untuk belajar silat dan menemani kakeknya, pergi meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi mencari pamannya, hatinya menjadi gelisah! Maka dia lalu pergi kepada pendekar Yap Kun Liong, pria yang sesungguhnya dicintanya itu, dan minta pertolongan Yap Kun Liong untuk pergi mencari adiknya, Cia Bun Houw yang telah membuat orang tuanya berduka itu. Pergilah pendekar Yap Kun Liong dan akhirnya dia berhasil menemukan Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang ternyata mengasingkan diri dan tinggal jauh di sebelah selatan. Yap Kun Liong membujuk Cia Bun Houw untuk pulang ke utara menengok ayahnya, dan Bun Houw yang mendengar akan kematian ibunya dan kedukaan hati ayahnya, lalu bersama isterinya ikut dengan Kun Liong pergi ke utara. Mereka berhenti dulu di Sin-yang, kemudian diantar pula oleh Cia Giok Keng, mereka semua pergi ke Cin-ling-san. Setelah tiba di puncak itu, mereka menemukan tempat kosong dan mereka menanti di situ selama dua hari.

Demikianlah, pada pagi hari itu, mereka berempat menyambut kedatangan Cia Keng Hong yang pulang bersama seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Akan tetapi, Cia Keng Hong yang baru saja kehilangan tenaga dan masih terluka biarpun sudah mulai sembuh, luka di sebelah dalam sebagai akibat pertandingannya dengan Kok Beng Lama, begitu melihat Bun Houw, jantungnya tergetar hebat. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Rasa gembira, rasa terharu, juga rasa marah dan mendongkol bercampur duka teringat akan isterinya, membuat dia tidak dapat menahan lagi dan dia jatuh tergulingg dan pingsan dalam rangkulan Cia Giok Keng yang tadi cepat menubruk dan menyambut tubuh ayahnya yang terguling.

Melihat ini, Sin Liong terbelalak dan marah bukan main. Dia tadi melihat betapa kakek itu memandang kepada laki-laki gagah yang berbaju kuning dan menggerak-gerakkan tangan ke arah laki-laki itu, maka sudah tentu laki-laki itulah yang telah membuat kakeknya roboh dan mungkin mati itu. Kemarahan memenuhi hatinya dan Sin Liong sudah menerjang ke depan sambil berteriak, "Kau manusia jahat...!"

Semua orang terkejut, terutama sekali Cia Bun Houw sendiri yang melihat dirinya diserang oleh anak yang datang bersama ayahnya tadi. Lebih terkejut lagi hati empat pendekar yang berilmu tinggi itu ketika melihat betapa tubuh anak laki-laki tanggung itu bergerak luar biasa cepatnyag dengan gaya seperti seekor harimau menubruk, atau seperti seekor binatang buas lainnya, dan ketika tangan kirinya mencengkeram ke arah leher Bun Houw dan tangan kanannya memukul ke arah dada, ternyata gerakan anak itu mendatangkan hawa pukulan yang luar biasa kuatnya sehingga terdengar angin menyambar dahsyat!

"Ehhh...!" Cia Bun Houw mengelak cepat dan kaget sekali. Tentu saja bagi pendekar ini yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, serangan Sin Liong itu tidak merupakan bahaya, akan tetapi pendekar ini kaget melihat betapa seorang anak kecil yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun ini bisa memiliki tenaga sin-kang sedahsyat itu, juga kecepatan yang luar biasa sungguhpun gerakannya ketika menyerang lebih patut gerakan seekor binatang buas daripada gerakan silat.

Akan tetapi, begitu serangannya luput, Sin Liong sudah membalik lagi dan menyerang lebih dahsyat, menggunakan pukulan dengan pengerahan tenaga seperti yang diajarkan oleh kakeknya sehingga kini dia dapat mengerahkan tenaga yang terkumpul di pusarnya itu. Tenaga dahsyat yang hangat dan hidup mengalir ke dalam lengan sampai ke ujung-ujung jarinya ketika dia memukul dan mengerahkan tenaga. Terdengar suara bercuitan dan kembali Bun Houw terkejut karena angin pukulan dari anak itu benar-benar dahsyat, seperti pukulan seorang ahli sin-kang yang amat kuat! Dengan hati penuh keheranan dan keinginan tahu, pendekar ini lalu menggerakkan lengannya menangkis, dengan maksud untuk mengukur sampai di mana kekuatan anak yang luar biasa ini.

"Dukkk! Aihhh...!" Kini Cia Bun Houw dia mengeluarkan teriakan. Siapa yang tidak akan kaget ketika dua lengan itu bertemu, selain dia merasakan kekuatan yang amat dahsyat, yang tidak patut dimiliki oleh seorang bocah berusia dua belas atau tiga belas tahun, juga dia merasa betapa tenaga sin-kangnya tersedot ke luar! Itulah Thi-khi-i-beng! Ataukah lain ilmu iblis yang dapar menyedot sin-kang lawan? Sebagai murid terkasih dari Kok Beng Lama, tentu saja dengan sekali mengerahkan tenaga membetot, lengannya dapat terlepas dari lekatan lengan lawan yang mempunyai daya sedot, dan dia memandang dengan mata terbelalak kepada anak itu.

Akan tetapi, Sin Liong tidak perduli orang terheran-heran. Dia tidak tahu sama sekali bahwa orang itu kagum dan terkejut melihat kehebatan tenaganya, dan dia merasa penasaran mengapa dia belum dapat menghantam orang yang telah membuat kakeknya sampai roboh pingsan itu.

"Orang jahat kau...!" Dia berteriak lagi dan kini kembali dia menubruk, dengan gerakan yang ganas. Bun Houw kembali mengelak dan pada saat itu nampak bayangan berkelebat, jari-jari tangan yang runcing mungil meluncur dan menotok pundak Sin Liong yang luput menyerang lawannya tadi.

"Dukk! Ahh...!" Wanita cantik itu, Yap In Hong, terkejut bukan main. Karena tadinya dia memandang rendah kepada seorang bocah yang disangkanya hanya liar dan ganas, dia tentu saja menotok tanpa mempergunakan tenaga sakti, khawatir kalau sampai membunuh anak itu. Akan tetapi ketika jari tangannya bertemu pundak Sin Liong yang pada saat itu sedang mengerahkan tenaga, In Hong merasa betapa tenaga kasarnya membalik dan jari-jari tangannya terasa nyeri bukan main! Barulah dia tahu mengapa suaminya kelihatan terkejut dan terheran-heran, ragu-ragu, kini dia mengerti bahwa memang bocah ini luar biasa sekali, memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya. Maka diapun menjadi marah dan kini tangannya kembali melayang, sekali ini mengandung tenaga sin-kang yang kuat, bahkan dia mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh.

"Dess...!" Anak itu terpelanting dan roboh dengan tubuh lemas karena jalan darahnya tertotok.

Akan tetapi, Sin Liong yang marah itu merasa betapa tenaga dan hawa aneh di dalam pusarnya bergolak, mendorong-dorong akan tetapi tidak mampu menembus jalan darah yang sudah tertotok. Dia sama sekali tidak menjadi jerih, bahkan matanya melotot memandang kepada Bun Houw dan In Hong yang menghampirinya, memandang penuh kebencian.

"Kalian tunggu saja..." desisnya, "kalau locianpwe Cia Keng Hong sampai mati, aku bersumpah kelak aku akan membunuh kalian berdua manusia-manusia jahat!" Sepasang matanya mencorong seperti naga sakti. "Aku benci kalian! Aku benci kalian...!"

Melihat sinar mata yang penuh nafsu membunuh, seperti mata seekor harimau kelaparan yang marah, diam-diam In Hong bergidik. "Bocah setan ini perlu dihajar!" katanya dan dia sudah mengangkat tangannya untuk menampar.

"Tahan, jangan pukul dia!" Bun Houw berseru menahan isterinya yang menurunkan kembali tangannya sambil menoleh kepada suaminya. Mengapa suaminya melarang dia memukul anak yang mengeluarkan ancaman mengerikan itu?

Melihat pandangan mata isterinya, Bun Houw berkata, "Aku melihat dia tadi menggunakan Thi-khi-i-beng."

Mendengar ini, In Hong terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka berdua lalu menghampiri kakek Cia Keng Hong yang sudah mulai siuman.

"Ah, kau datang, kalian datang semua... ah, aku agak lelah..." Akhirnya kakek itu bangkit duduk.

"Ayah, engkau harus beristirahat dulu. Nanti saja kita bicara..." Cia Giok Keng lalu merangkul dan memapah ayahnya, dibantu oleh Bun Houw. Kakek itu tidak mau dipondong dan dengan dipapah oleh kedua orang anaknya, dia melangkah tertatih-tatih memasuki pondoknya.

Cia Keng Hong jatuh sakit! Beberapa kali dia jatuh pingsan dan terserang demam. Bun Houw dan encinya yang memeriksa, mendapat kenyataan bahwa tenaga ayah mereka itu berkurang banyak sekali, menjadi lemah, dan di sebelah dalam tubuh ayah mereka itu mengalami guncangan hebat dan seperti orang baru sembuh dari luka parah di dalam tubuh. Akan tetapi mereka belum dapat bicara dengan ayah mereka dan dengan penuh ketelitian kedua orang anak itu merawat ayah mereka, dibantu oleh Yap In Hong dan kakaknya, Yap Kun Liong.

Seperti telah diketahui jelas oleh para pembaca cerita Dewi Maut, isteri dari Cia Bun Houw, Yap In Hong, adalah adik kandung pendekar Yap Kun Liong. Dan semenjak Bun Houw dan isterinya ini meninggalkan orang tuanya, belasan tahun yang lalu, kakak dan adik inipun tidak pernah saling jumpa, apalagi karena Kun Liong juga selama ini hanya menyembunyikan diri saja di rumahnya, yaitu di Leng-kok. Biarpun antara Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng terdapat perasaan cinta kasih yang mendalam, duda dan janda ini tidak melanjutkan hubungan itu dengan hubungan jasmani, melainkan hanya saling mencinta saja di dalam hati masing-masing. Maka kini, pertemuan antara mereka semua tentu saja mendatangkan percakapan yang asyik, saling menceritakan keadaan mereka masing-masing. Hanya keadaan kakek ketua Cin-ling-pai itu yang menimbulkan prihatin di hati mereka, dan juga, anak aneh yang datang bersama ketua Cin-ling-pai itu tidak mau banyak membuka mulut, hanya berwajah muram dan ikut pula menjaga kakek yang sedang sakit itu. Yap Kun Liong juga menasihatkan yang lain agar jangan sembarangan terhadap bocah ini, karena diapun menduga bahwa tentu ada rahasia di balik kedatangan bocah ini, dan tentu ada hubungan erat antara bocah itu dan pendekar sakti Cia Keng Hong, apalagi ketika dia mendengar bahwa anak itu agaknya pandai Thi-khi-i-beng.

"Kita tunggu saja sampai Cia-locianpwe sudah sembuh kembali dan menceritakan siapa adanya anak itu," kata pendekar ini dan yang lain-lain merasa setuju. Anak itu benar-benar amat luar biasa. Kalau ditanya, hanya memandang dengan mata mendelik marah dan memang Sin Liong merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama kepada Cia Bun Houw dan isterinya yang dianggapnya jahat karena telah membuat kakeknya roboh pingsan dan sakit. Dia tidak tahu siapa mereka dan juga tidak ingin tahu, dan diapun tidak suka memperkenalkan diri ketika ditanya. Diapun ingin menanti sampai kakek itu sembuh, baru dia akan mengambil keputusan apakah akan terus tinggal di situ ataukah akan pergi. Hanya terhadap Yap Kun Liong dia tidak begitu dingin dan ketus, karena pendekar yang usianya sudah empat puluh delapan tahun ini bersikap manis budi kepadanya. Bahkan hanya dari Yap Kun Liong saja dia mau menerima makanan. Biarpun dia diberi sebuah kamar, akan tetapi dia tidak mau tidur di kamarnya, sebaliknya dia terus berada di kamar Cia Keng Hong dan di situ dia duduk bersila, bersamadhi seperti yang telah diajarkan oleh kakek itu kepadanya. Dan diapun tidur dalam keadaan bersila. Melihat cara anak itu bersamadhi, makin yakinlah hati empat orang pendekar itu bahwa anak ini pasti memiliki hubungan yang erat dengan ketua Cin-ling-pai.

Ternyata guncangan batin ketika dia melihat wajah puteranya itulah yang membuat Cia Keng Hong jatuh sakit. Ketika dia mengadu ilmu melawan Kok Beng Lama, dia sudah merasa bahwa dia terluka di sebelah dalam tubuhnya, apalagi ketika sebagian dari tenaga sin-kangnya tersedot oleh kekuatan dahsyat yang mengeram di dalam tubuh Sin Liong. Biarpun kemudian dia dapat menyedot kembali tenaga dari tubuh Sin Liong dengan menggunakan Ilmu Thi-khi-i-beng dan dengan demikian selain menyelamatkan Sin Liong juga memulihkan kembali tenaganya, namun luka yang dideritanya belumlah sembuh sama sekali. Maka ketika menerima guncangan hebat dan mendadak dalam perjumpaan yang tak disangka-sangkanya dengan puteranya itu, dia jatuh pingsan dan jantungnya yang sudah tua itu mengalami tekanan berat yang membuat dia jatuh sakit. Baru setelah sepekan dirawat dengan penuh perhatian oleh putera dan puterinya, Cia Keng Hong sembuh dari demam dan ingatannya kembali. Biarpun tubuhnya masih lemah namun dia sudah dapat bangun duduk dan bicara.

Ketika melihat Sin Liong duduk bersila di sudut kamar, Cia Keng Hong tersenyum dan wajahnya berseri. Dia mengangguk-angguk dan berkata kepada Bun Houw dan Giok Keng, "Bantu aku keluar, aku ingin duduk di luar pondok, di tempat terbuka yang sejuk."

Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw lalu memapah ayah mereka itu, membawanya keluar dan di bawah sebatang pohon pek di depan pondok itu memang terdapat sebuah batu halus yang menjadi tempat duduk dan tempat samadhi kakek ini. Di situlah dia duduk bersila dan empat orang pendekar itupun duduk di atas tanah di depannya.

"Sin Liong, kau ke sinilah..." kata kakek itu kepada Sin Liong yang ikut pula keluar dengan sikap sungkan, karena dia merasa bahwa dia adalah seorang pendatang baru yang asing. Namun hatinya lega melihat bahwa ternyata empat orang itu bukanlah musuh kakeknya.

Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong cepat menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, lalu duduk bersila pula di depan batu besar yang diduduki kakek itu.

Sejenak keadaan di situ sunyi. Udara pagi itu cerah dan hangat oleh sinar matahari pagi. Angin gunung mendatangkan kesejukan di bawah pohon itu dan mereka semua seperti tenggelam dalam keheningan yang maha luas. Cia Keng Hong memandang ke kanan dan alisnya berkerut, hatinya diliputi penuh keharuan dan penyesalan. Melihat puteranya kini telah menjadi seorang pria yang matang, berusia tiga puluh tahun lebih, duduk bersila di dekat Yap In Hong yang memang cantik jelita dan gagah, dia melihat kesalahan yang telah dilakukannya belasan tahun yang lalu. Jelas bahwa puteranya itu saling mencinta dengan wanita itu, mengapa dia dahulu berkeras tidak menyetujui perjodohan mereka? Padahal, mereka itulah yang akan saling berjodoh, yang akan hidup berdua selamanya, mereka berdualah yang akan hidup bersama membagi suka duka bersama-sama. Perjodohan adalah urusan mereka berdualah, dengan hak dan kewajiban mereka berdua sepenuhnya pula. Mengapa dia bercampur tangan, mengapa dia hendak mengatur kehidupan kedua orang itu, ingin menyesuaikan mereka berdua untuk menyenangkan hatinya? Betapa bodohnya dia, dan betapa bodohnya orang-orang tua yang ingin mencampuri urusan perjodohan anak-anak mereka! Memang dahulu dia mempunyai alasan kuat untuk menentang, mengingat betapa Yap In Hong sendiri pernah memutuskan pertunangannya dengan Bun Houw (baca kisah Dewi Maut), dan ke dua betapa Bun Houw telah ditunangkan dengan gadis lain. Namun, segala macam alasan itu sesungguhnya hanyalah untuk mempertahankan pendiriannya atau kesenangan dirinya pribadi. Kini nampak jelas olehnya dan dia merasa menyesal sekali.

Dan ketika dia menoleh ke kiri, dia melihat si duda, Yap Kun Liong duduk bersanding dengan puterinya, Cia Giok Keng yang sudah menjadi janda, dan hatinyapun tertusuk keharuan bercampur kekaguman. Dua orang itu benar-benar memiliki cinta kasih yang murni, cinta kasih yang sama sekali tidak dikotori oleh nafsu berahi. Betapa mereka saling mencinta, dia dapat merasakannya, namun keduanya tetap bertahan dan hanya berhubungan sebagai sahabat-sahabat yang saling mencinta. Benar-benar mengagumkan dan patut dipuji kedua orang itu! Lalu dia memandang ke depan, kepada Sin Liong. Bocah ini juga mengagumkan! Senanglah hati Cia Keng Hong karena biarpun sejak tadi tidak pernah ada yang bicara sepatah katapun, namun dalam keadaan sehening dan seindah itu, memang kata-kata tidak banyak gunanya lagi.

"Sin Liong, setelah beberapa hari kau berada di sini, apakah engkau sudah mengenal siapakah adanya mereka ini?" Dia menoleh ke kanan dan kiri. Empat orang pendekar itu memandang kepada Sin Liong dan anak itupun menoleh dan memandang kepada mereka dengan wajah yang masih muram. Dia menggeleng kepala.

"Saya belum mengenal mereka, locianpwe," jawabnya kemudian.

"Ah! Engkau belum mengenal mereka? Lihatlah baik-baik, Sin Liong, yang duduk di sebelah kirimu itu adalah puteraku yang bernama Cia Bun Houw dan isterinya!" Kakek itu berhenti karena tiba-tiba Sin Liong menoleh ke kiri dan sepasang matanya mencorong aneh ketika dia memandang kepada Bun Houw.

Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu betapa kagetnya hati Sin Liong mendengar perkenalan itu. Jadi laki-laki gagah itu adalah ayah kandungnya! Dan beberapa hari yang lalu dia telah menyerang orang itu sebagai orang yang dibencinya! Kiranya ayah kandungnya, yang oleh mendiang ibu kandungnya dipuji-puji sebagai pendekar sakti itu. Akan tetapi mengapa ayah kandungnya itu duduk di situ bersama wanita cantik yang diperkenalkan sebagai isteri ayahnya itu? Dan wanita itu telah turun tangan menotoknya! Dia kini memandang kepada Yap In Hong dengan pandang mata penuh kebencian. Ketika Bun Houw dan In Hong memandang Sin Liong, mereka melihat sinar mata anak itu dan keduanya terkejut sekali.

"Ihhh...!" In Hong mengeluarkan seruan lirih dan Bun HoUw mengerutkan alisnya.

Cia Keng Hong juga merasa heran melihat sikap Sin Liong itu, maka dia bertanya. "Ada apakah Sin Liong?"

Sin Liong tidak menjawab, hanya memandang kepada Bun Houw dan In Hong dengan sinar mata aneh, dan kini tanpa disadarinya, sepasang mata yang menyinarkan kebencian itu menjadi basah dan dua titik air mata mengalir keluar. Melihat ini, Bun Houw cepat berkata, "Ayah, dia salah sangka terhadap kami berdua. Ketika ayah terkejut dan tak sadarkan diri, dia langsung menyerangku, dan aku heran sekali melihat dia memiliki sin-kang yang luar biasa, bahkan memiliki Thi-khi-i-beng!"

Cia Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk mengerti. "Ah, kiranya begitukah? Sin Liong, engkau salah duga. Dia bukanlah musuh, dia adalah puteraku. Hayo kau cepat minta maaf, biarpun kau melakukan hal itu tanpa kausadari."

Sin Liong menunduk, kemudian menghadap kakek itu sambil berkata "Maafkan saya, locianpwe." Dia tidak minta maaf kepada Bun Houw, melainkan kepada kakeknya! Memang hati anak ini luar biasa kerasnya. Dia telah bertemu dengan ayah kandungnya, akan tetapi melihat kenyataan pahit betapa ayah kandungnya yang telah meninggalkan ibu kandungnya ini menjadi suami wanita lain, mana mungkin hatinya tidak diliputi kekecewaan dan kebencian?

"Dan yang duduk di sebelah kiri itu adalah puteriku, Sin Liong. Namanya Cia Giok Keng. Sedangkan pria itu adalah Yap Kun Liong, kakak ipar dari puteraku Bun Houw, juga dia dapat dibilang muridku karena hanya dia seorang yang telah mewarisi Thi-khi-i-beng dariku, di samping engkau sendiri, sekarang engkau telah menjadi muridku, maka engkau adalah sute mereka, sute paling kecil." Kakek itu mengangguk-angguk senang. Hatinya gembira sekali, terutama karena dia dapat melihat puteranya kembali.

"Ayah, siapakah anak ini dan bagaimana asal mulanya sampai dia dapat memiliki sin-kang sedemikian hebatnya, dan telah mewarisi Thi-khi-i-beng pula?" tanya Bun Houw. Betapapun juga, dia merasakan sinar mata benci dari anak itu, oleh karena itu, diapun mempunyai perasaan tidak senang kepada Sin Liong!

"Memang aneh dia, dan banyak pula terjadi hal-hal aneh menimpanya. Pertama-tama, ketahuilah, Bun Houw, bahwa gurumu telah meninggal dunia."

"Ahhh...!" Bun Houw berseru kaget.

"Ihhh...!" In Hong juga berseru tertahan yang merasa sayang kepada kakek pendeta Lama itu.

"Hemmm...!" Yap Kun Liong juga menahan seruannya karena diapun merasa amat kagum kepada ayah mertuanya itu. Kok Beng Lama adalah ayah mertua pendekar ini, karena mendiang isterinya, Pek Hong In, adalah puteri tunggal dari pendeta Lama itu (baca cerita Petualang Asmara).

"Ayah, apakah yang telah terjadi? Bagaimana suhu sampai meninggal dunia? Apakah dia dibunuh musuh?"

Ayahnya menggeleng kepala. "Dia memang sudah tua dan pikun, Bun Houw, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi Kok Beng Lama untuk meninggalkan dunia ini. Betapapun juga, kematian itu terjadi karena kesalahannya sendiri." Dengan singkat ketua Cin-ling-pai itu menceritakan tentang pertemuannya dengan Kok Beng Lama, betapa Kok Beng Lama memaksanya untuk mengadu tenaga sin-kang dan betapa Sin Liong yang mencoba untuk melerai itu tanpa disengaja malah mewarisi seluruh tenaga dari Kok Beng Lama, biarpun hal itu juga hampir saja menewaskannya, dan betapa dia terpaksa membuka rahasia Thi-khi-i-beng kepada anak itu untuk menolongnya. Empat orang pendekar itu mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman dan mereka kini memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata lain. Memang anak luar biasa, pikir mereka.

"Bagus, kalau begitu engkau adalah suteku, Sin Liong!" Bun Houw berseru dengan girang. "Engkau she apakah?"

Sin Liong sejenak menatap wajah ayah kandungnya itu. Hampir saja dia menitikkan air mata, dan ingin hatinya berteriak bahwa dia adalah putera pendekar itu. Akan tetapi, hatinya memang keras sekali. Melihat ayah kandungnya mempunyai seorang isteri dan meninggalkan ibu kandungnya, dia tidak mau memperkenalkan diri. Hatinya terasa nyeri, lupa dia bahwa ibu kandungnya juga mempunyai suami baru!

"Aku tidak mempunyai she," jawabnya sambil menunduk.

"Eh, kenapa begitu aneh?" Giok Keng yang biarpun usianya sudah empat puluh tujuh tahun masih cantik dan masih juga keras hatinya itu berseru. "Lalu siapakah nama ayahmu?"

Sin Liong memandang sejenak kepada puteri kakeknya yang sesungguhnya adalah bibinya itu, lalu dia menunduk dan menjawab singkat, "Aku tidak mengenal siapa ayah bundaku."

Cia Keng Hong tersenyum. "Memang dia aneh. Dia tidak tahu siapa ayah bundanya, dan dia hanya ingat bahwa dia bekerja sebagai kacung pada keluarga Na-piauwsu. Akan tetapi, untuk bertanya tentang asal-usul anak ini kepada keluarga Na-piauwsu juga tidak mungkin karena keluarga Na itu dibunuh oleh musuh-musuhnya. Anak ini dibawa oleh seorang wanita kejam yang bernama Kim Hong Liu-nio, seorang wanita yang benar-benar memiliki kepandaian yang mengejutkan dan entah mengapa wanita iblis itu demikian bencinya kepada Sin Liong sehingga menyiksanya dan aku telah membebaskannya dari tangan wanita itu."

"Sin Liong, siapakab wanita itu?" tanya Yap Kun Liong yang merasa tertarik karena diapun tidak mengenal tokoh kang-ouw bernama Kim Hong Liu-nio itu. Kalau ada seseorang tokoh sampai dipuji kepandaiannya oleh Cia Keng Hong, sudah pasti bahwa tokoh itu bukan orang sembarangan dan kepandaiannya tidak boleh dibuat main-main.

Sin Liong memang tidak ingin menceritakan banyak-banyak tentang dirinya, akan tetapi karena semua orang memandang kepadanya dan sinar mata mereka menunjukkan bahwa mereka itu ingin sekali mendengar tentang Kim Hong Liu-nio, dia teringat akan tantangannya terhadap Kim Hong Liu-nio dan dengan lantang dia lalu berkata, "Saya tidak mengenalnya. Ketika keluarga Na-piauwsu diserbu musuh dan dibunuh, dia muncul dan dia membunuh semua musuh keluarga Na itu lalu menangkap saya dan membawa saya pergi ke hutan di mana Cia locianpwe menolong saya. Akan tetapi, saya mendengar dia berkata-kata seorang diri bahwa dia akan membunuh semua orang yang she Cia, Yap dan Tio."

"Ehhh?"

"Ahhh?"

"Heiii...?"

Seruan-seruan itu keluar dari mulut Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Mereka saling pandang, lalu memandang kembali kepada anak itu. Sin Liong merasa senang melihat mereka terkejut. Kalau benar mereka ini adalah pendekar-pendekar besar, ingin dia melihat wanita iblis yang lihai itu berhadapan dengan mereka.

"Sungguh aneh sekali! Mengapa justeru she-she dari kita yang dimusuhinya?" tanya Cia Bun Houw sambil memandang Yap In Hong.

"DAN she Tio itu bukanlah ada hubungannya dengan Tio Sun twako?" tanya pula Yap In Hong.

"Ahhh, sekarang aku ingat...!" Tiba-tiba kakek ketua Cin-ling-pai itu berkata. "Ya, benar. Tadinya aku merasa heran mengapa aku sampai tidak mengenal dasar ilmu silatnya. Kini, setelah mendengar bahwa dia memusuhi kita dan juga Tio Sun, teringatlah aku. Sudah tentu wanita itu ada hubungannya dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Benar, ilmu silatnya memang mempunyai dasar ilmu silat dua orang iblis tua itu!"

"Akan tetapi mereka itu sudah mati!" kata Yap In Hong. "Pek-hiat Mo-ko telah tewas olehmu dan Hek-hiat Mo-li terluka parah olehku." Dia bicara kepada Bun Houw.

Bun Houw mengangguk-angguk. "Kalau memang ada hubungannya dengan mereka, tentu ada hubungannya dengan Hek-hiat Mo-li. Pek-hiat Mo-ko jelas telah mati, akan tetapi Hek-hiat Mo-li belum tewas biarpun terluka parah akan tetapi dia disalamatkan dengan datangnya Raja Sabutai. Mungkin dia itu murid dari Hek-hiat Mo-li yang masih selalu menaruh dendam kepada kita." Bun Houw mengerutkan alisnya dan teringatlah akan peristiwa belasan tahun yang lalu ketika dia dan In Hong mengalahkan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dalam pertandingan mati-matian.

Cia Keng Hong juga mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Kiranya begitu... ilmunya lihai sekali dan setelah menggunakan Thi-khi-i-beng baru aku berhasil menundukkannya. Akan tetapi dia segera mengenal ilmu itu dan mengenalku, lalu pergi. Agaknya tentu Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakangnya. Hemmm, musuh sudah mulai keluar dari sarang dan mencari gara-gara, harap kalian suka berhati-hati," katanya sambil memandang kepada dua pasang pendekar itu.

Empat orang pendekar itu tinggal di Cin-ling-san sampai kakek itu sembuh dari luka-lukanya. Dalam kesempatan itu, Cia Keng Hong secara bergiliran bicara berdua saja dengan dua orang anaknya. Dengan hati terharu dia mendengar dari Bun Houw ketika dia bertanya mengapa puteranya itu belum mempunyai keturunan, dan pengakuan puteranya itu yang bicara dengan nada suara duka mengejutkannya.

"Ayah, sebelum ayah memberi restu kepada kami untuk menikah, mana mungkin kami berdua dapat menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"

Cia Keng Hong memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak. "Apa katamu? Engkau dan In Hong... kalian... belum menjadi suami isteri?"

Bun Houw mengangkat mukanya memandang kepada ayahnya, sepasang matanya jernih akan tetapi wajahnya agak pucat. "Ayah, kami berdua saling mencinta, saling menghormat, maka bagaimana mungkin kami saling merendahkan dengan jalan melakukan hubungan jina? Biarpun kami telah hidup bersama selama belasan tahun ini, akan tetapi selama ayah masih ada, tanpa perkenan dari ayah atas perjodohan kami, mana berani kami melakukan hubungan yang akan menjadi perjinaan?"

Sepasang mata yang terbelalak memandang itu kini menjadi sayu, bibir tua itu gemetar dan hati pendekar itu seperti ditusuk pedang rasanya. Terbukalah kini matanya dan tahulah dia betapa dahulu dia terlalu menuruti hati, terlalu mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga dia mengorbankan puteranya yang menderita karena keangkuhannya. Dia memeluk puteranya, merangkul dan berbisik.

"Houw-ji... kaumaafkan aku... ah, mendiang ibumu benar, aku terlalu keras kepala... aku telah membuatmu hidup menderita, kaumaafkanlah aku, anakku..."

Dua titik air mata membasahi mata pendekar sakti itu, hal yang luar biasa sekali, dan menandakan bahwa hati pendekar itu luar biasa sakitnya, tertindih oleh rasa sesal dan haru.

"Tidak, ayah, sebaliknya akulah yang selama ini merasa berdosa dan membikin susah hati ayah," jawab Bun Houw lirih.

"Aku yang bodoh, anakku, lupa akan keadaanku sendiri ketika masih muda. Ah, aku seperti buta dan lupa bahwa tak mungkin mengatur hati orang lain, dan aku bangga sekali mendengar betapa murni cinta antara kalian. Bun Houw, lekas kaupanggil In Hong ke sini!"

Bun Houw cepat pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan In Hong. Melihat gadis itu, Cia Keng Hong makin terharu. Dia memegang tangan In Hong, memandang tajam dan berkata, "In Hong, kau maafkanlah aku, orang tua tak tahu diri yang kukuh sehingga aku telah membuat kalian berdua menderita. Kalau... kalau kalian masih mau menganggap dan mau menerima, biarlah detik ini aku menyatakan bahwa aku girang sekali kalian saling berjodoh! Kuharap kalian suka menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Aku... aku... ingin sekali dapat melihat cucuku, putera dari kalian sebelum aku mati..."

"Gak-hu...!" In Hong yang biasa menyebut locianpwe itu kini menyebut "ayah mertua" dan menjatuhkan diri berlutut sambil meneteskan beberapa titik air mata.

Keadaan tiga orang ini sungguh mengharukan, akan tetapi di dalam keharuan ini muncul sinar yang amat membahagiakan mereka bertiga, terutama di dalam hati Bun Houw dan In Hong sehingga dalam pertemuan pandang mata mereka, selain kasih sayang seperti biasanya, terdapat pula sinar yang membayangkan kegirangan dan juga perasaan malu-malu.

Bun Houw juga berlutut di samping isterinya dan berkata, "Kami menghaturkan terima kasih kepada ayah atas kebijaksanaan ayah."

Ucapan itu malah makin menusuk perasaan Cia Keng Hong, sungguhpun Bun Houw tidak bermaksud demikian. Dengan mata basah pendekar sakti yang sudah tua ini menggunakan kedua tangan meraba kepala putera dan mantunya, seperti hendak memberi berkah. "Ayahmu bersalah, ayahmu terlalu mementingkan perasaan dan keinginan hati sendiri sehingga kalian menderita dan menjadi korban selama belasan tahun. Ah, anak-anakku, hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kalian sehingga kelak kalian tidak melakukan kebodohan seperti yang telah kulakukan ini, dan tidak membikin anak-anak kalian menderita..."

Selain mendatangkan kebahagiaan dalam hati dua orang yang saling mencinta itu, menjodohkan mereka sehingga mereka dapat menjadi suami isteri secara sah oleh persetujuan orang tua, dapat menjadi suami isteri dalam arti kata yang sesungguhnya, juga pendekar sakti tua Cia Keng Hong mengadakan pertemuan bertiga saja dengan puterinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Juga kepada dua orang yang sesungguhnya saling mencinta ini, Cia Keng Hong memberi "lampu hijau". Antara lain dia berkata dengan nada suara sungguh-sungguh dan yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan muka menunduk.

"Aku tahu bahwa kalian berdua saling mencinta, Kun Liong dan Giok Keng. Dan kalian adalah orang-orang bebas, seorang duda dan seorang janda. Oleh karena itu, yakinlah hati kalian bahwa aku akan merasa ikut berbahagia, apabila kalian berdua dapat mengisi kekosongan hidup masing-masing dan menjadi suami isteri. Kalian masih cukup muda untuk menikmati hidup, dan sudah selayaknyalah kalau saling mengisi dan saling menghibur. Nah, legalah kini hatiku, karena aku telah menyatakan isi hatiku. Tentu saja pelaksanaannya terserah kepada kalian berdua."

Di depan kakek tua renta itu, tentu saja Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng merasa malu untuk menjawab, akan tetapi terdapat sinar lain dalam pandang mata mereka ketika mereka saling bertemu pandang. Dan sinar-sinar mata inipun dapat ditangkap oleh kakek Cia Keng Hong yang membuatnya tersenyum penuh kelegaan hati, seperti kelegaan hati seorang ayah yang melihat anak-anaknya hidup bahagia.

Dua pasang pendekar itu tinggal di puncak Cin-ling-san, merawat Cia Keng Hong sampai kakek pendekar ini sembuh dari sakitnya. Selama beberapa hari itu, ada beberapa orang anggauta Cin-ling-pai yang datang pula untuk menjenguk sehingga terjadilah pertemuan-pertemuan yang menggembirakan. Dalam kesempatan itu, Cia Giok Keng mengusulkan kepada ayahnya apakah tidak sebaiknya kalau Cin-ling-pai dibangun kembali dan memanggil para anggauta yang kini tinggal terpisah-pisah.

Kakek itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Keng-ji. Tidak ada gunanya sama sekali. Kini nampak benar olehku betapa pendirian sebuah perkumpulan hanya berarti memisahkan diri dari orang-orang lain saja. Sebaiknya kalau kita menganggap dunia manusia adalah anggautanya! Dengan demikian, setiap orang manusia sebagai anggauta perkumpulan besar itu akan selalu menjaga dunia, dan saling setia, saling mencinta antara manusia sebagai rekan hidup. Sebaliknya, mendirikan perkumpulan-perkumpulan terpisah-pisah hanya akan mendatangkan lebih banyak permusuhan dan persaingan belaka. Tidak, biarlah Cin-ling-pai bubar saja, lebih baik begini...!"

Diam-diam Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw melihat betapa ayah mereka telah berubah sama sekali. Dahulu, ayah mereka amat mementingkan nama dan kehormatan sehingga ayah mereka itu menentang perjodohan Bun Houw dengan In Hong karena hendak menjaga nama dan kehormatan pula. Sekarang, ayah mereka telah menjadi lunak dan memiliki pandangan yang amat luas dan sama sekali tidak kukuh lagi.

Dua pasang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu hampir setiap hari menjenguk makam ibu mereka, nyonya Cia Keng Hong. Pada suatu pagi Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berdua saja bersembahyang di depan kuburan itu. Setelah selesai bersembahyang, mereka berdua lalu berjalan dan tanpa disadari mereka saling bergandengan tangan menuju ke tepi jurang yang ditumbuhi rumput hijau yang gemuk. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling berpegang itu sudah bicara banyak. Mereka lalu duduk, saling berhadapan di atas rumput hijau di tepi jurang, saling memandang, kemudian Cia Giok Keng menundukkan mukanya ketika dia mulai bicara, seolah-olah dia tidak dapat menatap wajah pria yang dicintanya itu. "Kun Liong, apa yang kaupikirkan?"

Kun Liong memandang wajah yang menunduk itu. Baginya, wanita yang usianya sudah empat puluh tujuh tahun itu masih nampak seperti dulu, seperti ketika masih gadis remaja, masih tetap cantik menarik.

"Giok Keng, agaknya apa yang berada dalam pikiranku tidak jauh bedanya dengan apa yang sedang kaupikirkan. Aku teringat akan pesanan ayahmu."

Wajah yang memang masih jelas memperlihatkan raut yang cantik itu menjadi agak kemerahan, akan tetapi dengan berani Giok Keng mengangkat mukanya memandang. Kembali dua pasang mata bertemu dan melekat. Memang, di saat seperti itu, kata-kata dari mulut tidak lagi banyak artinya, bahkan terasa janggal dan kaku karena sinar mata lebih lancar menyatakan perasaan hati.

"Lalu, bagaimana pendapatmu?" Giok Keng bertanya, pertanyaan yang hanya untuk memecahkan kesunyian yang mendatangkan rasa kikuk baginya itu karena sesungguhnya, tanpa bertanyapun dia sudah tahu apa yang menjadi isi hati Kun Liong. Mereka berdua memang saling mencinta, dan tidak ada kesenangan yang lebih besar daripada perkenan ayahnya tadi yang bahkan menganjurkan, agar mereka berdua menjadi suami isteri. Membayangkan bahwa mereka berdua akan tinggal serumah, akan selalu hidup berdampingan, akan membagi segala sesuatu yang mereka hadapi, akan bersama-sama menikmati kesenangan, bersama-sama menanggung penderitaan, benar-benar merupakan suatu hal yang amat menghibur dan membahagiakan hati.

"Kau tahu betapa akan bahagia rasa hatiku kalau kita selalu dapat saling berdekatan. Giok Keng, maukah engkau pergi bersamaku ke Leng-kok?"

Giok Keng mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu berkata, "Sebetulnya, apakah bedanya bagi kita tinggal di Leng-kok atau di rumahku di Sin-yang? Di manapun, asal kita berdua, apa bedanya?"

Yap Kun Liong memegang tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Engkau benar, aku meributkan soal-soal yang kecil saja. Kalau engkau lebih suka tinggal di Sin-yang, akupun tidak akan menolak tinggal di sana."

Melihat betapa pria itu sudah memperlihatkan sikap mengalah. Giok Keng merasa tidak enak hati juga. Seolah-olah dia masih Cia Giok Keng yang dahulu, yang keras hati sehingga kekerasan hatinya itulah yang menggagalkan perjodohannya dengan Kun Liong, dan kekerasan hatinya pula yang mendatangkan atau mengakibatkan segala macam peristiwa hebat (baca Kisah Dewi Maut). Teringat akan ini, dia cepat berkata lagi.

"Tentang di mana kita tinggal, kita lihat saja nanti. Bagiku, ke manapun kau pergi dan tinggal, di situ aku merasa betah dan senang, Kun Liong. Akan tetapi, hatiku merasa tidak enak mendengar akan kepergian Ciauw Si yang mencari Bun Houw dan sampai kini belum pulang. Aku mempunyai keinginan untuk lebih dulu pergi merantau mencari anakku itu sampai dapat. Engkau tentu tahu, Seng-ji dan Ciauw Si sekarang telah menjadi anak-anak yang telah dewasa. Dalam urusan antara kita ini, adalah bijaksana kalau aku lebih dulu memberitahukan kepada mereka. Mengertikah engkau?"

Kun Liong menggenggam tangan itu dia mengangguk. "Tepat sekali. Memang semestinya demikian, Giok Keng. Akupun akan merasa tidak enak kalau mereka tidak diberi tahu lebih dulu. Kalau begitu, aku akan membantumu mencari puterimu itu. Dan bagaimana dengan puteramu?"

"Dia akan pulang kalau sudah tamat belajar dari Kok Beng Lama. Dan kurasa kini memang sudah tiba saatnya dia akan pulang. Kalau begitu, mari kita pergi mencari Ciauw Si besok. Ayah juga sudah sembuh."

Demikianlah, pada keesokan harinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong berpamit kepada kakek Cia Keng Hong untuk pergi mencari Ciauw Si. Kakek itu segera menyatakan persetujuannya. Dan dalam kesempatan ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong juga berpamit untuk kembali ke selatan.

Karena merasa bahwa dia sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja, Cia Keng Hong sama sekali tidak menahan, bahkan diam-diam dia merasa girang karena kepergian kedua pasang anak-anaknya itu disertai dengan pancaran kebahagiaan di wajah mereka! Dia merasa bahagia sekali dan ketika kedua pasang pendekar itu berpamit lalu pergi, dia mengikuti bayangan mereka dengan pancaran sinar mata penuh kebahagiaan. Sin Liong yang duduk bersila di dekatnya juga memandang dengan sinar mata sayu. Tidak seorangpun di antara mereka tahu betapa anak ini menderita tekanan batin yang cukup hebat, melihat ayah kandungnya pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadanya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah anak kandungnya! Ingin dia berteriak, ingin dia mengaku sebelum ayahnya pergi akan keadaan dirinya, akan tetapi anak ini duduk bersila dan menggigit bibir untuk menahan dorongan hati yang ingin berteriak itu sampai akhirnya bayangan empat orang itu lenyap di sebuah tikungan.

"Eh, kenapa kau menangis?"

Pertanyaan ini mengejutkan hati Sin Liong. Tanpa disadarinya, ketika tadi dia melawan dorongan hatinya, menggigit bibirnya, ada dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya.

"Menangis? Apakah saya menangis, locianpwe?" tanyanya sambil menggerakkan tangan mengusap dua titik air mata itu.

Kakek itu tersenyum maklum. Tentu anak ini diam-diam merasa suka kepada kedua putera dan puterinya, dan kini merasa berduka melihat mereka pergi. Kasihan sekali anak ini. Hidup sebatangkara di dunia yang luas dan penuh dengan kekerasan dan kekejaman ini.

"Sin Liong, jangan khawatir. Setelah engkau memiliki sin-kang yang diwariskan oleh Kok Beng Lama kepadamu, setelah engkau memiliki Thi-khi-i-beng, dan dalam waktu dekat aku akan mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu, kelak engkau dapat menjaga diri sendiri dan dapat mengembara ke manapun sebagai seorang pendekar, seperti anak-anakku itu."

Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera berlutut di depan kakeknya itu. Dia kagum kepada kakeknya ini, amat menghormatnya, dan amat sayang kepada kakeknya yang dianggap merupakan seorang manusia budiman yang sangat baik kepadanya. "Terima kasih, locianpwe, terima kasih..."

Diam-diam Cia Keng Hong merasa heran mengapa anak ini tidak pernah menyebut suhu kepadanya, akan tetapi karena dia sekarang tidak lagi mau memperdulikan tentang segala macam upacara dan sebutan, dan karena diapun tahu bahwa Sin Liong adalah seorang anak yang aneh sekali, maka diapun tidak pernah menegurnya. Baginya tidak ada bedanya apakah dia akan disebut locianpwe ataukah suhu, karena pendekar sakti yang tua ini mulai terbuka matanya bahwa segala macam upacara dan sopan santun, segala macam sebutan itu hanyalah kosong belaka, seperti kosongnya semua kata-kata yang keluar dari mulut, yang hanya merupakan permainan dari hawa dan angin kosong belaka! Yang penting baginya adalah tindakan, kenyataan, bukan segala macam sebutan dan omongan.

Pendekar sakti Cia Keng Hong memenuhi kata-katanya kepada Sin Liong. Mulai hari itu semenjak kedua orang putera dan puterinya pergi, dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada Sin Liong. Ketika dia melatih cucunya, Lie Ciauw Si, dia juga melatih dengan tekun, akan tetapi sekarang, melihat keadaan diri Sin Liong, pendekar ini menjadi kagum dan gembira bukan main. Cucunya perempuan itu hanya memiliki bakat biasa saja dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang amat sukar itu tidak mudah dikuasai oleh Ciauw Si. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Sin Liong. Anak ini benar-benar amat luar biasa sekali. Segala macam pelajaran dasar ditelannya dengan mudah, bahkan ketika kakek itu mulai mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang rumit, mudah saja bagi Sin Liong untuk menguasainya. Seolah-olah sekali diberi pelajaran setiap teori ilmu silat, semua itu telah melekat di dalam benaknya dan tidak lupa lagi. Dan ketika dia mulai melatih diri, juga di dalam gerakan-gerakannya terkandung bakat yang amat besar, gerakannya tidak kaku dan seolah-olah gaya ilmu silat memang sudah mendarah daging di dalam tubuhnya. Maka semua pelajaran dapat diterimanya dengan lancar.

Cia Keng Hong merasa betapa amat sukar baginya untuk memulihkan tenaganya. Tubuhnya sudah sehat kembali, akan tetapi tenaganya tidak dapat pulih seperti sebelum dia bertanding melawan Kok Beng Lama. Hal ini dianggapnya bahwa usianya sudah sangat tua dan ini pula yang membuat dia tergesa-gesa menurunkan semua ilmu silat tinggi kepada Sin Liong.

"Pelajari dulu kauwkoat (teori silat) sampai kau hafal betul. Melatihnya boleh belakangan, Sin Liong." Demikianlah kakek itu berkata dan dia lalu mengajarkan teori-teori dari ilmu-ilmu silat yang pernah menggemparkan dunia persilatan, seperti San-in-kun-hoat, Thai-kek-sin-kun, Siang-bhok-kiam-sut dan banyak lagi ilmu-ilmu silat yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Dan semua teori ilmu silat yang aneh-aneh itu telah dicatat oleh ingatan dalam otak Sin Liong yang luar biasa cerdasnya.

Dalam waktu kurang lebih setahun lamanya, Sin Liong telah berhasil menghafal semua teori ilmu silat yang banyak macamnya itu, dan selain hafal, juga dia telah diberi petunjuk oleh kakek itu bagaimana untuk melatih ilmu-ilmu itu seorang diri kelak.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Cin-ling-pai sekarang sama sekali tidak sama dengan Cin-ling-pai belasan tahun yang lalu, ketika Cin-ling-pai masih merupakan sebuah perkumpulan besar dengan tokoh-tokohnya yang terkenal sebagai Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-pai. Akan tetapi semenjak Cap-it Ho-han tewas di tangan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa), maka Cin-ling-pai seperti kehilangan pamornya (baca cerita Dewi Maut). Apalagi setelah Cia Keng Hong kehilangan puteranya dan kematian isterinya kakek ini lalu membubarkan Cin-ling-pai sehingga semua anak murid atau anggauta Cin-ling-pai menjadi tersebar ke mana-mana. Betapapun juga, masih ada saja anak murid yang kadang-kadang naik ke Cin-ling-san untuk mengunjungi guru besar mereka itu.

Para anggauta atau lebih tepat lagi bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung, mengerti bahwa kini guru besar mereka mempunyai murid lagi, seorang pemuda aneh yang pendiam dan serius, yang jarang sekali bicara bahkan tidak menjawab sepenuhnya kalau ditanya. Juga Cia Keng Hong yang mengerti akan keanehan anak itu, tidak mau banyak bicara tentang Sin Liong, hanya samar-samar kakek ini mengatakan bahwa Sin Liong merupakan pewarisnya yang terakhir dan yang paling berbakat!

Pada suatu senja yang cerah dan indah, seperti biasa semenjak dia pulang ke Cin-ling-san bersama Sin Liong, kakek Cia Keng Hong bersamadhi seorang diri di dalam kebun di belakang pondoknya. Bersamadhi setiap matahari timbul dan matahari tenggelam merupakan pekerjaan sehari-hari kakek itu, dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak mau diganggu. Oleh karena itu, Sin Liong dan para anggauta Cin-ling-pai tidak ada yang berani mendekati kakek itu kalau kakek Cia Keng Hong sedang berada di kebun. Dan pada senja hari itu, ada belasan orang bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung. Mereka ini berkumpul di ruangan besar bercakap-cakap, karena Cin-ling-san kini merupakan suatu tempat bertemu dan berkumpul antara mereka dan dalam pertemuan ini tentu saja banyak yang mereka bicarakan. Di antara mereka terdapat beberapa orang bekas anggauta golongan tua yang memiliki kepandaian tinggi karena mereka dahulu adalah tokoh-tokoh tingkat dua, yaitu murid-murid langsung dari mendiang Cap-it Ho-han, yaitu sebelas orang pendekar dari Cin-ling-pai itu.

Sin Liong sendiri yang juga maklum akan kebiasan kakeknya, tidak berani mengganggu dan dia berada di dalam kamarnya untuk melatih pernapasan seperti yang diajarkan oleh kakeknya. Kini, anak berusia empat belas tahun ini sudah dapat menguasai hawa sin-kang yang amat kuat di tubuhnya itu, bahkan tahu cara memeliharanya dengan pengumpulan hawa murni dan mengatur pernapasan. Dia dapat pula menggerakkan hawa sin-kang itu di seluruh tubuhnya sehingga biarpun semua ilmu silat tinggi itu belum dikuasainya, namun dengan tenaganya yang dahsyat dia sudah merupakan seorang pemuda tanggung yang amat tangguh.  

Pendekar Lembah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang