Mendengar keterangan kakek ini, Bi Cu lalu menceritakan keadaan dirinya. "Aku hendak mencari pembunuh ayah kandungku, akan tetapi mereka melarang, karena itu aku berduka dan menangis, kek." Dia menutup penuturannya.
Kakek itu tersenyum. "Ha-ha, engkau sungguh keras hati dan berbakti. Akan tetapi engkau hanya seorang anak perempuan yang lemah, mana mungkin sendirian saja pergi ke tempat begitu jauh, di luar tembok besar mencari seorang musuh pembunuh ayahmu? Bagaimana kalau engkau belajar ilmu silat dulu dariku, kemudian setelah pandai baru engkau pergi mencari musuhmu?"
Bi Cu tadi telah menyaksikan kelihaian kakek ini, maka dia menjadi girang dan segera menjatuhkan diri berlutut. "Terima kasih atas perhatian suhu terhadap diri teecu!" katanya.
Kakek itu tertawa girang dan segera mengangkatnya bangun.
"Ketahuilah, bahwa gurumu ini dinamakan orang Hwa-i Sin-kai dan aku pemimpin seluruh pengemis Hwa-i Kai-pang di daerah kota raja dan sekelilingnya. Engkau boleh menjadi muridku, akan tetapi Hwa-i Kai-pang mempunyai suatu peraturan yang melarang menerima anggauta wanita. Oleh karena itu, biarpun engkau ini muridku, namun engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan Hwa-i Kai-pang. Mengertikah engkau, Bi Cu?"
"Teecu mengerti, dan pula, teecu memang tidak ingin menjadi pengemis!"
Hwa-i Sin-kai tertawa lagi. "Dan mulai saat ini engkau tidak boleh memperkenalkan namamu, karena para piauwsu dari Ui-eng-piawkiok itu tentu akan mencarimu. Maka kalau sampai ada yang mengenal namamu, tentu akan mudah bagi mereka untuk menemukanmu dan aku merasa tidak enak kalau harus bentrok dengan mereka. Mereka terkenal sebagai piauwsu-piauwsu yang baik. Tadipun untuk menolongmu, aku mempergunakan kecepatan agar tidak sampai dikenal oleh mereka."
"Kalau tidak memakai nama teecu, habis lalu memakai nama apa, suhu?"
"Sudah kuperhatikan dirimu. Matamu amat tajam dan indah, merupakan ciri khas bagimu, maka sepatutnya kalau engkau memakai julukan Kim-gan (Si Mata Emas) dan mengingat engkau seorang anak perempuan kecil hidup sendirian di dunia ini dan setelah menjadi muridku engkau kelak tentu akan memiliki kegesitan, maka biarlah engkau tambahkan julukan Yan-cu (Burung Walet), jadi mulai sekarang engkau terpaksa memperkenalkan nama, pakailah nama Kim-gan Yan-cu."
Mulai saat itu, Bi Cu menjadi murid Hwa-i Sin-kai, diajak pergi ke dalam hutan di sebelah utara kota raja, tinggal di dalam kuil tua dan di situ dia digembleng ilmu oleh kakek yang lihai itu. Dan mulai saat itu dia dikenal di antara para anggauta Hwa-i Kai-pang sebagai Kim-gan Yan-cu, murid dari ketua mereka. Biarpun Bi Cu tidak menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, namun dia dikenal oleh semua anggauta dan disuka oleh para anggauta muda, apalagi karena dia dikagumi sebagai murid sang ketua dan memang Bi Cu berbakat sehingga ilmu silatnya maju dengan pesatnya. Dan karena pergaulan inilah maka sedikit demi sedikit sifat pendiam dari Bi Cu mulai berubah, menjadi lincah, gembira dan juga cekatan dan cerdas sekali.
Demikianlah riwayat Bi Cu seperti yang diceritakannya kepada Sin Liong dan didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda remaja itu.
***
"Menurut ceritamu tadi, engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan pengemis itu, akan tetapi mengapa engkau kini malah menjadi pemimpin para pengemis muda di pasar itu, Bi Cu?" Sin Liong menegur setelah dara itu selesai bercerita.
"Karena terpaksa. Hal ini terjadi setelah Hwa-i Kai-pang bubar!"
"Eh? Bubar? Mengapa?"
"Karena dituduh pemberontak oleh pemerintah dan semenjak suhu tewas."
"Suhumu, kakek pangcu yang lihai itu tewas? Siapa yang membunuhnya?"
"Dikeroyok pasukan pemerintah. Ketika itu suhu sedang menghadiri pesta pernikahan keluarga pendekar sakti Yap Kun Liong, dan entah mengapa aku sendiri tidak tahu, pesta itu diserbu oleh pasukan tentara, dan suhu tewas dalam serbuan itu oleh pengeroyokan pasukan, sedang para pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri mereka kabarnya ditangkap pasukan."
"Ahhh...?" Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main mendengar berita penangkapan atas diri ayah kandungnya itu.
"Akan tetapi menurut kabar, mereka berempat itu berhasil meloloskan diri lagi dan kini menjadi buronan pemerintah. Pemerintah memang sewenang-wenang, masa suhu dan para pendekar sakti itu dianggap pemberontak! Terpaksa Hwa-i Kai-pang bubar dan karena tidak puas dengan kelaliman pemerintah, maka aku lalu memimpin para pengemis muda itu yang sebagian besar merupakan keturunan para anggauta Hwa-i Kai-pang, untuk sekedar mengacau pemerintah! Dan itu pula sebabnya maka ketika pasukan mengejarmu dan menuduhmu sebagai pemberontak buronan, kami menolongmu mati-matian."
Sin Liong menarik napas panjang. Ternyata dara remaja inipun mengalami hal-hal yang amat pahit. Akan tetapi dia mengusir semua itu dari kenangannya dan dia tersenyum memandang wajah yang manis itu. "Aih, kiranya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!"
"Tidak berani aku menganggap diri begitu, Sin Liong. Memang benar aku telah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari mendiang suhu sehingga kalau dibandingkan dengan dahulu ketika kita masih sama-sama belajar kepada Na-piauwsu, tentu saja aku telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Akan tetapi setelah berkecimpung di dunia kang-ouw, aku tahu benar bahwa kepandaianku masih belum masuk hitungan! Aku harus mematangkan kepandaianku lebih dulu, barulah aku akan berangkat ke utara mencari pembunuh ayah."
"Aku akan membantumu, Bi Cu. Kita akan mencari keterangan dari ayah tiriku, kemudian aku akan menemanimu mencari ke utara. Ingat aku datang dari Lembah Naga dan aku mengenal daerah di utara."
Bi Cu tersenyum. "Dan akupun tadi telah berjanji untuk membantumu menghadapi musuh besarmu."
Sin Liong mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya kita saling bantu. Kita bersama-sama mencari pembunuh ayahmu dan pembunuh ibuku, kita berdua orang-orang yatim piatu memang sudah selayaknya saling bantu."
"Engkau baik sekali, Sin Liong. Aku girang dapat bertemu denganmu."
"Dan akupun girang sekali. Mari kita percepat jalan kita, itu dusun di mana tinggal keluarga Kui sudah nampak. Hari sudah hampir gelap."
Mereka lalu mempercepat jalan mereka, setengah berlari-larian menuju ke dusun di depan dan waktu itu sudah hampir senja. Akhirnya mereka berjalan memasuki dusun itu dan mereka berdiri di luar pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Sampai di sini Bi Cu termangu-mangu.
"Sin Liong, kau masuklah saja dulu," bisiknya. "Aku merasa malu, karena kalau kuingat betapa aku telah mencopet barang-barang mereka..."
"Ah, mereka tidak akan tahu..."
"Kau masuklah dulu, kalau engkau lihat tidak ada halangan bagiku untuk masuk, baru engkau panggil aku. Kau boleh beritahukan dulu kepada mereka tentang kehadiranku..."
Akhirnya Sin Liong menyetujui juga karena memang dia sendiri baru saja akan bertemu dengan keluarga Kui, maka tidak enaklah kalau datang-datang dia membawa teman. Lebih baik dia melihat gelagat lebih dulu, kalau sekiranya keluarga itu tidak keberatan menerima Bi Cu, baru dia akan memanggil dara itu. Andaikata mereka berkeberatan menerima Bi Cu, dia sendiripun tidak akan mau tinggal di situ!
"Baik, kautunggu di sini sebentar," katanya dan dia lalu melangkah masuk. Pekarangan rumah itu sunyi saja, bahkan serambi depan juga kelihatan sunyi tidak nampak adanya seorangpun. Karena merasa bahwa dia adalah seorang anggauta keluarga ini, maka Sin Liong ingin mengejutkan mereka dengan kemunculan yang tiba-tiba melalui pintu belakang. Dia lalu mengambil jalan memutar, melewati samping rumah di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.
Selagi dia jalan berindap-indap dengan jantung berdebar tegang penuh kegembiraan dan membayangkan betapa keluarga itu akan kaget sekali melihat kemunculan yang tiba-tiba dan betapa akan gembiranya pertemuan antara dia dan keluarga itu, terutama dengan adik-adiknya, Lan Lan dan Lin Lin, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan halus dan nyaring dan dari ujung tikungan dinding rumah itu berloncatan keluar dua orang gadis remaja yang cantik-cantik dan lincah, yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara remaja kembar ini masing-masing memegang sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Sin Liong dengan ganasnya!
Diserang secara tiba-tiba itu Sin Liong tidak menjadi gugup dan dengan beberapa kali melangkah ke belakang saja dia sudah dapat menghindarkan serangan-serangan pedang itu.
"Eh... oh... nanti dulu...!" serunya.
"Maling hina, engkau sudah bosan hidup!" bentak seorang di antara sepasang dara kembar itu dan dengan loncatan cepat dia sudah menyerbu dan menusukkan pedangnya ke arah dada Sin Liong!
"Dia tentu kawan-kawan para pencopet itu, enci Lan. Hajar saja!" bentak dara ke dua dan diapun menerjang ke depan dan mengayun pedangnya menyerang ke arah kedua kaki Sin Liong!
"Eittt... tahan dulu...!" Sin Liong membuat gerakan kaku menarik tubuh atas ke belakang menekuk lututnya sehingga tusukan pedang Lan Lan tadi luput dan ujung pedang itu berhenti di depan hidunngnya, sedangkan ketika pedang Lin Lin menyambar lutut, dia cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri. Biarpun gerakannya kaku karena memang Sin Liong tidak ingin memamerkan kepandaian, namun tentu saja gerakan ini dengan mudah dapai membebaskan dia dari serangan yang tiba-tiba itu.
"Lan Lan dan Lin Lin, tahan dulu...!" teriaknya ketika melihat mereka menyerang lagi sehingga terpaksa dia meloncat ke sana-sini seperti monyet menari-nari, namun semua serangan bertubi-tubi itu luput semua.
Mendengar disebutnya nama panggilan sehari-hari mereka, dua orang dara kembar itu makin marah.
"Kurang ajar kau!" bentak mereka hampir berbareng dan kini pedang mereka digerakkan makin gencar, bertubi-tubi mendesak ke arah Sin Liong. Diam-diam Sin Liong gembira menyaksikan gerakan dua orang adik tirinya itu karena dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka cukup gesit dan mengandung tenaga sin-kang yang lumayan. Diapun tidak mau memperkenalkan diri lebih dulu karena dia ingin menguji lebih jauh sampai di mana tingkat kepandaian dua orang adik kembarnya. Tentu saja dia selalu membuat gerakan kaku dan terdesak, namun tak pernah ujung kedua batang pedang itu dapat menyentuh ujung bajunya sekalipun.
Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan ternyata Bi Cu sudah meloncat cepat ke tempat itu dan tangan kanannya memegang sebatang ranting kayu sebesar lengan. Dengan gerakan indah dia menangkis dengan ranting kayu itu.
"Trakk! Trakkk!" Dua batang pedang itu terpukul mundur dan ternyata tangkisan ranting kayu yang digetarkan hebat itu membuat dua orang dara kembar ini terkejut karena mereka merasa betapa pedang mereka tergetar dan tangan mereka nyeri!
"Jangan takut, Sin Liong, biar aku menghadapi mereka!" bentak Bi Cu.
Dua orang dara kembar itu terkejut dan heran. Mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong dan dengan berbareng bibir mereka bergerak, "Sin Liong...?"
"Lan-moi dan Lin-moi, apakah kalian tidak mengenal kakakmu sendiri? Aku adalah Sin Liong..." kata Sin Liong dengan suara gemetar karena terharu.
Dua orang gadis itu terbelalak, lalu melemparkan pedang dan mereka berlari menghampiri pemuda itu. "Liong koko...!" Lan Lan dan Lin Lin merangkul dengan wajah berseri gembira. Sin Liong teringat ibunya. Dia merangkul dua orang dara kembar itu dengan penuh kasih sayang.
"Lan-moi dan Lin-moi, kalian telah menjadi dua orang dara yang amat manis dan cantik jelita, juga kepandaianmu hebat, hampir saja aku kalian jadikan bakso!"
Akan tetapi dua orang dara remaja kembar itu tiba-tiba menoleh dan memandang kepada Bi Cu yang masih berdiri bengong sambil tetap memegang ranting kayu di tangannya yang tadi dipergunakannya untuk melindungi Sin Liong. Dia memang mempunyai kepandaian istimewa dalam memainkan senjata tongkat, yaitu ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai.
"Liong-ko, siapakah dia?" tanya Lan Lan.
Sin Liong baru teringat kepada Bi Cu maka cepat-cepat dia memperkenalkan. "Bi Cu, inilah adik-adikku itu, Kui Lan dan Kui Lin. Lan-moi dan Lin-moi, ini adalah Bhe Bi Cu, yang pernah menjadi sumoiku."
"Ahhh...!" Dua orang dara kembar itu berseru girang dan mereka segera tersenyum ramah kepada Bi Cu. Lenyaplah kemarahan Bi Cu tadi ketika melihat dua orang dara kembar itu tersenyum demikian manisnya.
"Liong-ko, engkau mengagetkan orang saja!" Lan Lan menegur, "Kenapa tidak langsung masuk dari pintu depan?"
Sin Liong tersenyum. "Aku memang ingin membikin kaget kalian. Bagaimana keadaan kalian sekeluarga?"
"Ayah pasti akan girang mendengar kedatanganmu. Mari, Liong-ko, ayah berada di dalam. Mari kita temui dia! Enci Bi Cu, mari ikut!" kata Lin Lin yang mendahului mereka lari melalui pintu samping ke dalam rumah sambil berteriak-teriak.
"Ayah. Liong-koko telah pulang...!"
Sin Liong hanya tersenyum penuh keharuan ketika dia menggandeng tangan Lan Lan mengikuti Lin Lin dan Bi Cu mengikuti pula dari belakang. Dia ikut gembira melihat penyambutan dua orang dara kembar itu terhadap kedatangan kakaknya dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap Sin Liong. Biarpun seperti juga dia, Sin Liong sudah yatim piatu, akan tetapi setidaknya Sin Liong mempunyai adik-adik tiri semanis dua orang dara kembar itu! Sedangkan dia, dia tidak mempunyai siapa-siapa.
Kui Hok Boan tercengang ketika mendengar bahwa Sin Liong muncul secara tiba-tiba di rumahnya. Diam-diam dia merasa tidak senang dan menganggap kedatangan ini sebagai gangguan. Selama beberapa tahun ini, semenjak pindah dari Lembah Naga, dia hidup tenteram sebagai seorang hartawan dan tuan tanah yang disegani di dusun itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kui Hok Boan yang tampan dan selalu berpakaian seperti sasterawan ini, semenjak kematian isterinya, yaitu Liong Si Kwi ibu kandung Sin Liong, segera meninggalkan Lembah Naga karena memang hal ini diharuskan oleh Raja Sabutai. Ketika meninggalkan Lembah Naga, Kui Hok Boan membawa harta bendanya, yaitu harta pusaka yang didapatkannya di Istana Lembah Naga, maka dia dapat hidup sebagai seorang hartawan besar di dusun dekat kota raja itu dan mempunyai sawah yang luas sekali. Dia hidup dengan tenteram, mendidik dua orang puterinya dan dua orang keponakannya, yaitu Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin. Selama ini dia mengambil beberapa orang selir, akan tetapi tidak pernah menikah kembali dan di antara selir-selirnya tidak ada yang mempunyai anak. Dia tidak pernah lagi ingat kepada Sin Liong yang dianggapnya dan diharapkannya telah meninggal dunia. Maka, tentu saja dia tercengang ketika mendengar suara Lin Lin yang meneriakkan kedatangan Sin Liong. Betapapun juga, Kui Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia dapat menekan perasaan tidak senangnya dan dengan muka berseri dan senyum lebar dia keluar menyambut kedatangan anak tirinya itu. Alisnya terangkat ketika dia melihat Bi Cu ikut masuk bersama dua orang puterinya dan Sin Liong, akan tetapi sepasang matanya membuat Bi Cu diam-diam mencatat bahwa tuan rumah ini tergolong seorang laki-laki yang matanya berkilat dan berminyak apabila memandang wanita! Sebagai seorang dara remaja yang sudah biasa bergaul dan setiap hari berada di pasar, tentu saja Bi Cu dapat mengenal pandang mata para laki-laki yang memandangnya.
Sejenak Kui Hok Boan dan Sin Liong saling pandang dan dalam waktu singkat itu masing-masing telah menilai. Bagi Sin Liong, ayah tirinya itu nampak lebih kurus dari biasanya, dan kini telah berkumis dan berjenggot pendek. Di lain fihak, Kui Hok Boan memandang wajah Sin Liong penuh perhatian dan dia harus mengakui bahwa anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda remaja yang tampan dan membawa sifat-sifat gagah yang tersembunyi. Maka dia bersikap hati-hati sekali dan sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri.
"Ahhh, anak Sin Liong, ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini?" tegurnya ramah.
"Saya merantau sampai jauh, paman, dan akhirnya saya tinggal di kota raja, bekerja sebagai pelayan rumah makan," jawab Sin Liong yang sampai sekarang tetap tidak mau menyebut ayah kepada ayah tirinya itu, melainkan menyebut paman, Hok Boan agaknya juga tidak perduli akan hal ini dan dia mendengarkan penuturan Sin Liong dengan penuh perhatian.
"Ah, bagus kalau begitu! Dan sekarang engkau datang ke sini, apakah hanya ingin berkunjung ataukah ada keperluan lain? Dan siapakah nona ini?" Dia memandang kepada Bi Cu dan kembali dara ini melihat sinar mata laki-laki ini berkilat, membuat dia makin tidak senang dan segera menundukkan mukanya.
"Saya datang untuk minta pertolongan dan perlindungan dari paman Kui," Sin Liong berkata, "Saya dituduh pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah."
Berubah wajah Kui Hok Boan mendengar ini, dan jelas bahwa dia nampak terkejut sekali dan juga terheran. "Duduklah kalian berdua, dan ceritakan semuanya kepadaku, Sin Liong."
Sin Liong dan Bi Cu duduk berhadapan dengan orang she Kui itu, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin duduk di samping ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.
Karena memang mengharapkan perlindungan dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu dengan singkat namun jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut tentang hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tidak menyinggung tentang kepandaiannya. Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan telah mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya karena Kim Hong Liu-nio adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, dia tidak menyembunyikan tentang wanita iblis itu.
"Ketika saya sedang bekerja di rumah makan itu, tiba-tiba muncul iblis betina musuh besar kita itu, paman, dan dia berteriak menuduh saya sebagai pemberontak. Saya melarikan diri dan dikejar-kejar oleh pasukan. Untung ada nona Bhe Bi Cu ini yang menolong saya dan menyembunyikan saya sehingga pasukan itu tidak menemukan saya, kemudian saya mengajaknya untuk melarikan diri ke sini dengan harapan paman akan suka menolong kami dan memberi perlindungan di sini sampai keadaan menjadi aman."
Diam-diam Kui Hok Boan terkejut dan gentar bukan main mendengar penuturan Sin Liong itu. Mendengar bahwa wanita iblis itu muncul di kota raja dan melakukan pengejaran terhadap Sin Liong saja sudah mendatangkan rasa ngeri di dalam hatinya, apalagi mendengar bahwa Sin Liong kini dianggap pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dia merasa gentar, takut kalau-kalau wanita itu akan terus mengejar dan sampai ke situ, apalagi kalau sampai pasukan pemerintah tahu bahwa Sin Liong tinggal di rumahnya, tentu dia akan dituduh sebagai orang yang melindungi pemberontak dan akan menerima hukuman berat! Akan tetapi, pada wajahnya tidak kelihatan tanda sesuatu.
"Ayah, kita harus melindungi Liong-koko!" tiba-tiba Lan Lan berkata.
"Benar, ayah. Liong-ko dan enci Bi Cu biar tinggal dan bersembunyi dulu di sini!" sambung Lin Lin.
Kui Hok Boan memandang kedua orang puterinya itu dan dia makin merasa tidak enak untuk menolak permintaan Sin Liong tadi. Dia sendiri memang tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Sin Liong karena memang anak ini bukan apa-apanya, hanya anak tiri, akan tetapi bagi Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong merupakan saudara seibu dan sekandung, biarpun berlainan ayah.
"Hemm, tentu saja aku tidak keberatan dan suka melindungimu, Sin Liong, hanya kita harus pikirkan baik-baik akan bahayanya kalau sampai wanita iblis itu mengejar ke sini."
"Kita akan lawan bersama!" teriak Lan Lan. "Apalagi di sini ada enci Bi Cu. Ayah, enci Bi Cu ini lihai sekali, tadi kami salah sangka menyerang Liong-koko, akan tetapi hanya dengan sebatang ranting saja enci Bi Cu dapat menangkis pedang kami!"
Bi Cu tersenyum dan dia tidak pernah bosan memandang dua orang dara kembar itu yang dianggapnya amat manis dan juga demikian serupa bentuk wajah dan gerak-geriknya sehingga biarpun dia tadi sudah diperkenalkan, dia tetap saja tidak mampu membedakan dan tidak dapat mengenal lagi yang mana Lan Lan dan yang mana Lin Lin. Akan tetapi, tentu saja bagi Sin Liong tidak sukar untuk membedakan kedua adiknya itu karena dia tahu bahwa Lan Lan mempunyai titik kecil merah di leher kirinya, dan yang sikapnya terbuka, lincah dan gembira adalah Lan Lan, sedangkan Lin Lin lebih pendiam.
Mendengar ucapan Lan Lan itu, Kui Hok Boan makin tertarik kepada Bi Cu dan dia memandang penuh perhatian. Kini sinar kekaguman terpancar dari sepasang matanya tanpa disembunyikan lagi sehingga Bi Cu merasa makin kikuk.
"Ah, kiranya nona memiliki kepandaian silat yang tinggi? Kalau boleh saya bertanya, siapakah guru nona?" Laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun itu tersenyum seramahnya kepada dara remaja yang cantik manis itu.
Bi Cu hanya memandang sejenak lalu menunduk kembali, mengerutkan alisnya karena dia meragu untuk mengaku. Akan tetapi Sin Liong maklum akan kekerasan hati ayah tirinya, dan ketidak terusterangan Bi Cu akan menimbulkan curiga. Maka dia lalu cepat menerangkan, "Paman Kui, Bi Cu adalah murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai."
"Ahhh...!" Kui Hok Boan benar-benar terkejut bukan main mendengar disebutnya nama ini. Siapa orangnya yang tidak mengenal nama ketua Hwa-i Kai-pang yang tersohor di kota raja dan sekelilingnya itu? Apalagi setelah perkumpulan itu dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah!
"Hwa-i Kai-pangcu...? Bukankah... bukankah perkumpulan itu..." Dia tidak melanjutkan dan menatap wajah dara itu dengan tajam.
Bi Cu yang merasa bahwa dia tidak perlu merahasiakannya lagi setelah Sin Liong menceritakan siapa gurunya, dan pula terhadap keluarga ayah tiri Sin Liong memang tidak perlu merahasiakan hal itu karena bukankah dia dan Sin Liong hendak berlindung di sini? Maka dia mengangguk. "Benar, paman. Guruku adalah mendiang ketua perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang dituduh pemberontak pula. Akan tetapi semua itu adalah fitnah, Hwa-i Kai-pang yang telah dimusuhi dan kini terpaksa dibubarkan itu tidak pernah memberontak, dan akupun sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hwa-i Kai-pang, bahkan bukan menjadi anggautanya biarpun aku menjadi murid mendiang suhu yang menjadi ketua perkumpulan itu."
SELAMA Bi Cu bicara yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hok Boan, orang ini telah dapat menekan hatinya yang terkejut tadi dan kini dia tersenyum dan memandang kagum. "Ah, kiranya nona adalah murid seorang sakti! Tentu ilmu kepandaian nona amat tinggi. Mengingat akan bahaya yang mengancam kalian berdua, biarlah untuk sementara waktu kalian boleh bersembunyi di sini, akan tetapi kuharap kalian tidak memperlihatkan diri keluar karena kalian sendiri tahu bahwa kalau pasukan pemerintah menemukan kalian di sini, berarti keluarga kami akan binasa."
"Baiklah, paman dan banyak terima kasih kami haturkan atas kebaikan paman menolong kami. Kamipun hanya akan bersembunyi sampai keadaan mereda sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan kami menuju ke utara."
"Apa? Engkau hendak ke sana...? Ke Lembah Naga...?" Hok Boan bertanya kaget.
Sin Liong menggeleng kepala. "Bukan ke Lembah Naga, paman, melainkan ke dusun Pek-hwa-cung di kaki Pegunungan Khing-an-san..." Sin Liong berhenti dan memandang wajah ayah tirinya karena dia melihat perubahan pada wajah itu, yang menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa ayah tirinya itu terkejut dan heran mendengar disebutnya nama dusun itu.
"Pek-hwa-cung...?" Khi Hok Boan mengulang nama dusun itu dan matanya memandang jauh.
"Benar, paman, dan Bi Cu ingin bertanya sesuatu kepada paman, mengingat bahwa paman sudah banyak menjelajah di sekitar daerah utara."
Ucapan ini memberi kesempatan kepada Kui Hok Boan untuk menenangkan jantungnya yang berdebar karena kaget mendengar nama dusun yang mendatangkan kembali kenang-kenangan hebat yang pernah dialaminya di dusun itu. Dia tersenyum kembali dengan sikap tenang, menoleh ke arah Bi Cu dan memandang gadis itu dengan sikap ramah, lalu bertanya, suaranya biasa lagi.
"Nona, apakah yang hendak kautanyakan kepadaku? Memang banyak juga aku mengenal tempat-tempat di sana, dan dusun Pek-hwa-cun tidak asing bagiku."
Berdebar jantung dalam dada Bi Cu, penuh ketegangan dan harapan. Siapa tahu dia akan berhasil memperoleh keterangan tentang ayahnya dari orang ini.
"Paman Kui, sebelumnya terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin mengetahui apakah paman mengenal seorang laki-laki yang bernama Bhe Coan dan pernah tinggal di dusun Pek-hwa-cung sana?"
Kembali Kui Hok Boan mengalami guncangan batin hebat, namun kini dia sudah siap menghadapi segala sesuatu, maka wajahnya tidak memperlihatkan perubahan sungguhpun dia hampir terlonjak saking kagetnya. Diam-diam Sin Liong yang sejak tadi mengawasi ayah tirinya itu, merasakan kekagetan ayah tirinya yang ditekan-tekan itu, namun dia diam saja.
"Bhe Coan...?" Kui Hok Boan pura-pura mengingat-ingat dan mengerutkan alisnya sambil menekan perasaannya yang terlontar melalui pengulangan nama yang amat dikenalnya itu sehingga suaranya tadi terdengar agak sumbang dan gemetar.
"Ya, Bhe Coan, seorang pandai besi, seorang ahli pembuat pedang!" Bi Cu yang sedang dilanda ketegangan dan harapan itu tidak mendengar getaran suara itu dan melengkapi keterangannya cepat-cepat sambil memandang wajah Hok Boan penuh perhatian dan pengharapan.
"Ah, Bhe Coan...? Bhe Coan si pandai besi, ahli pembuat pedang? Tentu saja aku mengenal mendiang Bhe Coan! Dia telah meninggal dunia..."
Wajah Bi Cu girang sekali. "Memang dia telah meninggal dunia, paman Kui. Aku tahu bahwa ayahku telah meninggal dunia dan karena itulah maka aku bertanya kepada paman..."
"Ayahmu...? Ah, sungguh tak terduga! Jadi engkau ini anaknya...?" Hampir saja Kui Hok Boan kelepasan bicara karena memang dia dahulu pernah mendengar dari Bhe Coan bahwa ahli pembuat pedang itu mempunyai seorang anak perempuan yang dititipkan kepada seorang sahabat baiknya ketika dia menikah dengan janda yang bernama Leng Ci. Menurut penuturan mendiang Bhe Coan, sahabatnya itu adalah seorang piauwsu she Na yang tinggal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Na-piauwsu semenjak menerima Bi Cu sebagai anak angkat atau muridnya, telah pindah ke kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia tidak tahu pula malapetaka yang menimpa keluarga Na itu.
"Benar, paman Kui. Aku adalah anak tunggal dari mendiang ayahku itu, dan yang hendak kutanyakan kepada paman adalah tentang kematian ayahku. Paman mengenalnya, tentu paman mendengar pula bagaimana ayah meninggal dunia." Sepasang mata yang jernih itu memandang dengan penuh perhatian dan juga penuh harapan kepada Kui Hok Boan yang tentu saja amat terguncang batinnya. Segera terbayang semua peristiwa yang dialaminya di dalam rumah Bhe Coan, belasan tahun yang lalu itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Kui Hok Boan yang ketika itu masih merupakan seorang pria berusia tiga puluh tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sasterawan dan gerak-geriknya halus, datang bertamu ke rumah pandai besi atau ahli pembuat pedang yang terkenal itu untuk memesan sebatang pedang. Karena pandainya bersikap manis, Bhe Coan yang jujur tertarik dan mempersilakan Kui Hok Boan untuk bermalam dan tinggal di rumahnya selagi dia membuatkan pedang yang dipesannya. Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan yang terkenal mata keranjang itu tak dapat melewatkan seorang wanita cantik seperti isteri Bhe Coan begitu saja. Dirayunya isteri Bhe Coan, bekas janda Leng Ci yang cantik genit itu dan mereka lalu mengadakan hubungan perjinaan di dalam rumah Bhe Coan sendiri! Akhirnya, setelah pedang selesai, Bhe Coan menangkap basah dua orang yang sedang berjina di dalam kamarnya itu. Kemarahan yang meluap-luap membuat Bhe Coan menusukkan pedang yang baru selesai dibuatnya itu ke arah Hok Boan. Hok Boan mengelak dan pedang itu menembus dada Leng Ci! Kemudian, terpaksa Hok Boan menggunakan kepandaiannya untuk membunuh Bhe Coan, dan tanpa diketahui siapapun dia meninggalkan dua jenazah itu dalam kamar dan melarikan diri!
"Bagaimana, paman Kui? Maukah paman menceritakan kepadaku tentang kematian ayahku itu?" Bi Cu mengulangi pertanyaannya ketika dia melihat tuan rumah duduk termenung seperti tidak pernah mendengar pertanyaannya yang pertama tadi.
"Ohh? Tidak... aku tidak tahu, aku hanya mendengar bahwa dia meninggal dunia. Sudah lama aku tidak bertemu lagi dengan dia semenjak aku memesan pedang kepadanya, kau tunggu... pedang itu masih kusimpan sampai sekarang..." Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu melalui pintu sebelah dalam. Melihat sikap tuan rumah yang seperti tergesa-gesa itu, diam-diam Sin Liong merasa heran sekali. Dia melihat seolah-olah ayah tirinya menjadi gugup dan bingung ketika ditanya tentang kematian ayah kandung Bi Cu! Sementara itu, begitu menutupkan daun pintu yang menembus ke ruangan itu, Kui Hok Boan cepat berlari memasuki kamarnya dengan napas agak memburu. Celaka, pikirnya, siapa sangka bahwa dia akan bertemu muka dengan puteri Bhe Coan yang dibunuhnya itu! Dan lebih celaka lagi, dara itu justeru bertanya kepadanya tentang kematian ayahnya! Ini berbahaya! Kalau dia tidak cepat bertindak, dan rahasia itu sampai terbuka, berarti dara itu merupakan musuh besar yang tentu akan selalu berusaha untuk membalas kematian ayahnya. Dia menduga-duga sampai berapa jauh dara itu tahu tentang kematian ayahnya. Sementara itu, otaknya bekerja cepat dalam usahanya merencanakan suatu siasat untuk menyelamatkan dirinya dan menghancurkan orang-orang yang tidak disenanginya.
Di lain saat Kui Hok Boan telah menulis sehelai surat dalam kamarnya. Jari-jari tangannya yang memang cekatan dan pandai menulls itu bergerak cepat menyelesaikan sebuah surat yang dimasukkannya dalam sampul dan ditutupnya rapat-rapat. Setelah itu, dengan tergesa-gesa dia mengantongi surat itu dan mengeluarkan seguci arak dari dalam almari, berikut sebungkus obat putih dari saku bajunya. Dituangkannya sedikit bubuk putih ke dalam guci arak, kemudian setelah menyimpan kembali bungkusan obat bubuk itu, dia memanggil pelayan.
"Sediakan makanan untuk dua orang dan juga arak ini, lalu hidangkan di kamar tamu!" perintahnya kepada pelayan wanita yang cepat datang memenuhi panggilannya. "Dan coba panggil dulu kedua orang nona ke sini!"
Pelayan itu cepat berlalu menuju ke depan, ke ruangan di mana Lan Lan dan Lin Lin sedang bercakap-cakap dengan gembira bersama Sin Liong dan Bi Cu.
"Eh, Lan-moi, di mana adanya Siong Bu dan Beng Sin? Kenapa aku tidak melihat mereka?" tanya Sin Liong.
"Mereka disuruh oleh ayah untuk menagih uang sewa tanah, dan sore nanti baru akan pulang," jawab yang ditanya.
Pada saat itu muncullah pelayan yang menyampaikan panggilan Kui Hok Boan kepada dua orang puterinya. Dua orang dara kembar itu merasa heran, akan tetapi mereka segera minta maaf dan meninggalkan dua orang tamunya, langsung pergi ke kamar ayah mereka bersama pelayan yang juga kembali ke situ untuk mengambil guci arak dan mempersiapkan hidangan untuk dua orang tamu seperti dipesan oleh majikannya.
"Ayah memanggil kami?" tanya Lan Lan.
"Ya, ayah mempunyai urusan yang amat penting. Kalian cepat pergilah kepada komandan Kwan di kota raja dan serahkan suratku ini kepadanya. Pergilah cepat-cepat dan kembali cepat."
"Tapi, ayah, di sini ada Liong-koko. Kenapa ayah tidak menyuruh pelayan saja, atau menanti sampai Bu-ko atau Sin-ko pulang?" Lan Lan membantah.
"Urusan ini penting sekali, kalian harus cepat serahkan surat ini dan jangan membantah!" bentak Kui Hok Boan sambil menyerahkan surat itu. "Kalian naik kuda saja agar cepat!"
"Biar aku yang mengantar surat itu, biar enci Lan menemani Liong-ko dan enci Bi Cu," kata Lin Lin.
"Tidak! Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saja. Kalian pergi berdua, jangan khawatir tentang Sin Liong dan Bi Cu, aku yang akan menemani mereka. Aku masih ingin bicara banyak dengan mereka."
Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Lin Lin adalah seorang gadis pendiam, lebih pendiam dibandingkan dengan watak Lan Lan yang lincah jenaka akan tetapi karena pendiam ini dia lebih cerdas.
"Ayah, Liong-ko dan enci Bi Cu sedang dicari-cari pasukan pemerintah. Sekarang ayah mengirim surat kepada komandan Kwan, seorang komandan pengawal istana. Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Liong-ko?"
Kui Hok Boan memandang wajah puterinya ini dan mengangguk-angguk. "Engkau cerdas sekali, Lin Lin. Memang benar dugaanmu. Kalian tahu, mereka berdua itu harus bersembunyi di sini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan mereda. Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti biasanya? Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa aku hari ini akan berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga dengan demikian, sebelum lewat sebulan dia tentu tidak akan datang ke sini. Nah, cepat kalian sampaikan surat ini kepadanya!"
Mendengar ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti pakaian dan berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kembali ke ruangan tamu di mana Sin Liong dan Bi Cu menanti dengan tuan rumah pergi begitu lama, dan juga Lan Lan dan Lin Lin tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi jelas mendengar derap kaki dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.
"Sin Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di sini," bisik Bi Cu.
"Sstt, kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda. Jangan kahwatir, andaikata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, namun jelas kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku." Mendengar jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena diapun dapat melihat sendiri betapa sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah. Mereka segera diam ketika mendengar langkah kaki, dan muncullah Kui Hok Boan dengan wajah berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah. "Maaf, karena ada keperluan lain, maka agak lama aku meninggalkan kalian di sini," katanya.
"Paman, di manakah adik Lan dan Lin?" Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi derap kaki dua ekor kuda tadi.
"Ah, mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin," jawab Hok Boan yang memang sudah siap menghadapi pertanyaan itu, Sin Liong menjadi girang dan hilanglah kecurigaannya.
"Nona Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu kali itulah aku bertemu dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang ini," Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu. Dara remaja ini segera menerima pedang, menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang amat baik. Tiba-tiba keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara ini tersedu sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya, merasa seolah-olah dia sedang mencium tangan ayahnya. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa pedang yang diciumnya itu pernah dipergunakan oleh ayah kandungnya untuk menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu tirinya. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat menguasai guncangan batinnya, lalu mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya.
Pada saat itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang mereka balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda mereka yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara sawah ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada encinya agar berhenti.
"Ada apakah?" Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.
"Enci Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak," kata si adik yang biasanya pendiam itu.
"Aihh, jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Lin-moi. Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tidak pernah terjadi sesuatu. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita? Andaikata ada yang berani mengganggu kita, kitapun tidak usah takut! Pedang kita akan menghadapi dan menghajar siapa yang berani mengganggu kita!" Lan Lan menepuk pedang yang tergantung di pinggangnya.
Lin Lin menggeleng kepala. "Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatirkan diri kita, enci, melainkan diri Liong-koko."
Lan Lan membelalakkan mata dengan heran. "Eh, apa maksudmu, Lin Lin?"
"Surat yang kaubawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan berada di dalam rumah kita. Sekarang ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Benar-benar aneh dan mengkhawatirkan."
"Kau mencurigai ayah?"
"Aku tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah tidak baik, akan tetapi akupun tahu betapa ayah tidak suka kepada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah. Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu? Aku khawatir, enci."
Lan Lan juga menjadi bimbang. Diambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari dalam saku bajunya dan ditimang-timangnya. "Habis, bagaimana?" tanyanya bingung.
"Kita buka dan baca dulu isinya!"
"Ahh...!" Lan Lan meragu. "Surat ini bersampul dan tertutup rapat..."
"Aku sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi dengan perekat ini." Lin Lin mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak dari rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan sudah merencanakan untuk membuka surat ayahnya itu dan membaca isinya.
"Engkau benar, adikku. Biarpun perbuatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat."
Mereka berdua lalu turun dari punggung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka sampul surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersama-sama pula mereka membaca isi surat dalam sampul.
Kwan-ciangkun yang terhormat
Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!
Hormat saya.
yang setia kepada negara,
Kui Hok Boan
Wajah kedua orang dara kembar itu menjadi pucat seketika. "Celaka, kiranya dugaanmu benar, Lin-moi!" seru Lan Lan dengan gemas. "Ayah telah mengkhianati mereka! Ah, sungguh celaka!"
Lin Lin juga menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu berkata, "Kita harus menggunakan akal, enci."
"Bagalmana akalnya? Ah, betapa jahatnya ayah...!"
"Ssst, jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu terdorong oleh rasa setia kepada negara, atau juga karena tidak sukanya kepada Liong-koko. Betapapun juga, kita harus menolong Liong-ko."
"Engkau benar, akan tetapi bagaimana caranya? Kalau kita tidak menyampaikan surat ini, tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itupun bukan berarti menolong Liong-ko terbebas dari ancaman bahaya."
"Kita harus cerdik, enci Lan. Surat itu harus kita sampaikan kepada alamatnya, akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau saja melanjutkan perjalanan ke kota raja untuk menyampaikan surat ini kepada Kwan-ciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu kepada Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan itu datang."
"Bagus! Akan tetapi bagaimana kalau ayah curiga dan marah melihat engkau pulang sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?"
"Jangan khawatir, hal itu dapat kuatur. Pula, setelah tiba di rumah, tentu malam telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri harap melakukan perjalanan lambat saja, makin lambat makin baik, enci Lan. Atau, engkau dapat menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan alasan bahwa tidak enak malam-malam datang berkunjung ke rumah Kwan-ciangkun. Sementara itu, malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat menyelamatkan diri."
Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya. "Engkau hebat! Nah, kita berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing."
"Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci," kata Lin Lin. Mereka berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lalu meloncat ke atas punggung kuda masing-masing, akan tetapi mereka berpisah jalan. Lan Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya lambat-lambat akan tetapi Lin Lin membalap.
Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biarpun ada kemungkinan ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, namun perbuatan itu kejam dan jahat. Betapapun juga, Sin Liong adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah. Mengapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasat penangkapan terhadap Sin Liong itu? Pula, siapa mau percaya bahwa Sin Liong adalah seorang pemberontak? Itu hanya tuduhan keji, fitnah keji. Tak terasa lagi kedua mata Lan Lan menjadi basah karena hatinya amat sedih melihat kenyataan betapa ayahnya adalah seorang yang kejam dan jahat. Kenyataan ini membuat dia makin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya betapa ibu kandungnya adalah seorang yang gagah perkasa. Dan hal ini membuat dia teringat pula akan kematian ibunya itu, dan membuat hatinya makin sakit dan mendendam kepada wanita iblis yang telah membunuh ibunya.
"Kim Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku akan memenggal batang lehermu!" teriaknya dan dia mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga kudanya menjadi terkejut dan berlari kencang. Peluapan rasa marah dan dendam di hati Lan Lan ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya melihat sikap ayahnya yang kejam terhadap Sin Liong. Malam itu Lan Lan menginap dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan Kwan yang telah dikenalnya karena komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Sudah beberapa kali dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, dan sering pula komandan Kwan datang berkunjung ke rumah mereka. Kwan-ciangkun sendiri yang menyambut kedatangannya dan kebetulan Kwan-ciangkun bertemu dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke tempat kerjanya.
"Eh, nona Kui Lin..."
"Aku Kui Lan, ciangkun."
"Ah, ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum mampu membedakan antara kalian berdua." Komandan yang bertubuh tinggi besar itu tertawa. "Dengan siapa nona datang? Dan bagaimana kabar ayahmu?"
"Aku datang sendirian saja, ciangkun. Dan aku disuruh oleh ayah untuk mengantarkan sebuah surat untuk Kwan-ciangkun."
"Ah, agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam nona."
"Terima kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali, karena banyak pekerjaan menanti di rumah."
"Kalau begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barangkali membutuhkan balasan."
Komandan itu lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, membaca surat itu. Wajahnya berubah, matanya terbelalak dan dia memandang kepada Kui Lan dengan mata bersinar-sinar. "Ah, kiranya urusan yang amat penting sekali! Aku harus segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan sekali dia berada di kota raja..."
"Kwan-ciangkun, kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja."
"Baik, baik... tidak perlu balasan, hanya katakan kepada ayahmu bahwa aku telah menerima suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!" Perwira itu kelihatan gugup dan tergesa-gesa. Lan Lan juga tidak mau ambil pusing lagi siapa yang dimaksudkan "dia" oleh perwira itu, dia memberi hormat lalu keluar dari pekarangan rumah itu, kembali ke hotelnya dan tak lama kemudian dia sudah membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju ke dusun tempat tinggalnya. Kwan-ciangkun itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pengawal istana. Dia bersahabat dengan she Kui ini adalah orang yang terkaya di dusunnya, dan selain itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang hartawan yang memiliki ilmu silat tinggi. Persahabatan antara mereka itu mendatangkan keuntungan timbal balik. Bagi Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat untung berupa pemberian hadiah-hadiah di samping dia mendapatkan seorang kawan yang pandai dalam ilmu silat maupun ilmu surat, sehingga enak untuk diajak berbincang-bincang, bahkan dalam ilmu silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari hartawan she Kui itu. Di fihak Kui Hok Boan, tentu saja dia merasa bangga mempunyai seorang sahabat yang menjadi komandan pasukan pengawal istana karena selain hal ini mendatangkan kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh bantuan seorang "dalam" apabila terjadi sesuatu atau apabila dia membutuhkan sesuatu dari fihak yang berkuasa. Maka, begitu menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun mempercaya sepenuhnya dan dia merasa girang sekali karena menangkap pemberontak buronan itu, atau lebih tepat lagi, putera dari pemberontak terkenal Cia Bun How, berarti dia akan membuat jasa yang besar. Cepat dia berlari-lari melapor ke atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja dan gegerlah keadaan di dalam benteng itu. Panglima itu segera menghubungi Kim Hong Liu-nio karena wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong. Pemilik rumah makan telah ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin Liong, akan tetapi majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah mati tetap mengatakan bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin.
Pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun, ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, segera berangkat melakukan pengejaran ke dusun kecil itu, dengan menunggang kuda. Orang-orang di sepanjang perjalanan memandang dengan takut-takut dan heran melihat pasukan yang bersenjata lengkap, berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini. Tentu ada sesuatu yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan dusun yang dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, setiap kali ada pasukan melakukan pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan.
Apakah yang terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui? Seperti kita ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka untuk menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin Liong dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang buatan mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu.
Selagi mereka bercakap-cakap, muncullah pelayan wanita yang membawa hidangan. Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk. "Ah, harap paman tidak usah repot-repot," kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok Boan sendiri yang menemani mereka untuk makan minum.
"Sama sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari silakan, aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe."
Melihat dua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan berkata, "Harap kalian berdua makan yang enak, aku akan pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya, yang kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang tidak keras." Dengan ramah Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, kemudian dia mengangguk dan meninggalkan dua orang muda remaja itu. Setelah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi dan karena perut mereka memang sudah lapar, mereka berdua lalu mulai makan.
"Kau suka minum arak?" tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggeleng kepalanya.
"Kami kaum pengemis, mana biasa minum arak?" kata Bi Cu tersenyum. "Pula, mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat untuk orang-orang tua yang memerlukan bantuan hawa panas memperlancar jalan darah mereka. Tidak, aku tidak biasa minum."
Sin Liong meletakkan kembali guci arak itu di atas meja. "Aku sendiripun tidak begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar."
Mereka makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di dalam guci. Selagi makan minum, diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah pintu yang menembus ke dalam. Biarpun matanya tidak dapat menembus daun pintu, namun pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan sin-kangnya yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu. Mula-mula dia mengira bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani mereka, akan tetapi makin lama dia makin merasa curiga. Kalau pelayan, mengapa bersembunyi di balik pintu? Dan orang itu memiliki kepandaian tinggi, ketika mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan ketika kini bersembunyi di balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali pernapasannya. Dan pernapasan ini cukup bagi pendengaran Sin Liong untuk mengetahui bahwa di balik pintu itu ada orang bersembunyi, agaknya mengintai dan mendengarkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang. Bi Cu yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di atas meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka dan sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Kiranya orang yang bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri! Orang ini masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya nampak kecewa. "Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan?" Dia berkata mempersilakan sambil menghampiri meja.
"Terima kasih, aku sudah makan cukup," kata Bi Cu sedangkan Sin Liong masih melanjutkan makannya.
Kui Hok Boan duduk. "Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit? Dan ini... ah, kenapa arak dalam guci masih penuh? Apakah kalian tidak mau minum arak yang kusuguhkan?"
"Terima kasih paman, kami berdua tidak biasa minum arak," jawab Sin Liong sambil meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.
"Aahh, kalau terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tidak baik untuk kesehatan. Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan amat baik bagi kesehatan. Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat, terlampau banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan pertemuan antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan? Nona, engkau adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu kukagumi. Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat datang dan hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!" Kui Hok Boan menuangkan secawan arak di dalam cawan depan dara remaja itu. Bi Cu merasa bingung, akan tetapi tentu saja sukar baginya untuk menolak. Menolak berarti tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati.
"Aku tidak biasa minum arak, paman, kalau hanya secawan saja bolehlah," jawabnya dan dia lalu mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan sedikit demi sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itupun habis dan Kui Hok Boan tertawa gembira.
"Secawan tadi adalah selamat datang, kini secawan arak penghormatanku kepada mendiang suhumu belum kauminum." Dia menuangkan lagi secawan.
Bi Cu tersenyum. "Ah, paman terlalu mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum secawan lagi kalau paman berjanji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini tadi saja sudah membuat perut terasa panas."
"Baik, cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe."
Bi Cu menerima secawan arak itu dan minum lagi. Sin Liong memandang penuh perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega ketika dara remaja itu menghabiskan dua cawan tanpa ada terjadi sesuatu yang mencurigakan. Wajah yang manis dan berkulit halus putih itu kini mulai menjadi kemerahan, menambah cantiknya Bi Cu.
"Dan untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang amat menggembirakan ini, aku ingin menyampaikan selamat kepadamu dengan tiga cawan arak, harap kau suka menerimanya!" Kui Hok Boan lalu menuangkan arak ke dalam cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia merasa ada hawa aneh bersama arak itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sin-kang Thi-khi-i-beng, dengan hawa yang amat kuat dari Thi-khi-i-beng dia dapat menekan dan menguasai hawa asing itu di dalam perutnya schingga hawa itu tidak menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu yang luar biasa ini tentu saja tidak diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan sendiri.
Tak lama kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia menutupi mulut dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.
"Ah, nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah dipersiapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong, engkaupun agaknya perlu mengaso."
Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu diapun pura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu. Sungguh tidak wajar kalau Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih segar-bugar. Kini dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga terpaksa dia memegangi tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Lembah Naga
General FictionLanjutan "Dewi Maut". Tokoh utama : Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar Walet Merah). Sin Liong yang secara tak sengaja be...