Naga 21

4.3K 66 1
                                    

Tidak banyak tokoh yang berani muncul di atas panggung. Pemilihan bengcu bukanlah hal yang remeh dan hanya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sajalah yang patut menjadi bengcu. Kepandaian dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah terkenal sekali, maka majunya wakil ketua itu sebagai calon sudah merupakan hal yang membuat jerih para calon lain karena mereka merasa tidak akan mampu menandingi kepandaian Tiat-thouw Tong Siok! Akan tetapi tentu saja ada pula beberapa golongan yang merasa penasaran dan ingin kalau tokoh dari golongan masing-masing yang menjadi bengcu, segera mengajukan tokoh yang mereka pilih sebagai calon. Pertama-tama yang melayang ke atas panggung dengan gaya yang kasar adalah seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan. 

Dari pakaiannya jelas dapat dikenal bahwa dia adalah seorang pengemis tua yang memegang sebatang tongkat butut dan mukanya tertawa-tawa penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Kakek ini adalah seorang tokoh yang amat terkenal di selatan dan semua orang, termasuk Sin-ciang Tiat-thouw-pang sendiri menjadi tercengang karena mereka tidak menyangka bahwa kakek tokoh pengemis ini akan muncul menjadi calon bengcu! Padahal biasanya, kaum pengemis itu seperti "tahu diri" dan tidak pernah ada yang mencalonkan diri sebagai bengcu, sungguhpun pada setiap pemilihan mereka hadir dan mereka juga ikut menentukan pilihan. Akan tetapi baru sekarang mereka mengajukan seorang calon yang keluar dari golongan mereka sendiri. Kakek ini adalah Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) yang biarpun tidak secara resmi menjadi "raja pengemis" namun telah diakui sebagai datuk yang ditaati oleh semua perkumpulan pengemis di daerah selatan.


Hadirnya Lam-thian Kai-ong sebagai calon bengcu benar-benar mencengangkan dan merupakan tanda bahwa kini fihak pengemis mulai menaruh perhatian akan kedudukan dan pengaruh dan hal ini ada hubungannya dengan kemelut yang terjadi di kota raja sebagai akibat dari penggantian kaisar.

Setelah Lam-thian Kai-ong diperkenalkan kepada hadirin sebagai calon ke dua, banyak tokoh yang tadinya berniat memasuki pemilihan ini diam-diam mengundurkan diri. Setelah orang-orang lihai seperti Tiat-thouw Tong Siok dan Lam-thian Kai-ong maju, siapakah yang akan berani menandingi mereka? Daripada kalah dan mendapat malu, lebih baik siang-siang mengundurkan diri! Maka, kini yang berani muncul menjadi wakil golongan masing-masing hanya tinggal lima orang saja!

Pertama adalah Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi tuan rumah. Calon ke dua adalah Lam-thian Kai-ong yang mewakili golongan pengemis dan gelandangan. Ke tiga adalah seorang tosu tua bermuka putih yang bermata tajam dan bersikap angkuh. Tosu ini bernama Kim Lok Cin-jin, wakil ketua Pek-lian-kauw bersama belasan orang tokoh perkumpulan itu. Calon ke empat adalah seorang guru silat yang terkenal sekali dari kota Amoi, berkepandaian tinggi dan menerima murid-murid dengan bayaran mahal. Guru silat ini dipilih oleh golongan tukang pukul, guru silat, dan para piauwsu. Dia bernama Ouw Bian, dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, berusia lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan matanya lebar. Adapun calon ke lima yang dicalonkan oleh para maling tunggal dan dunia pelacuran, adalah seorang maling tunggal yang amat terkenal di dunia selatan. Dia seorang pria berusia empat puluh lima tahun, berwajah tampan, tubuhnya sedang saja akan tetapi pakaiannya selalu indah seperti pakaian seorang hartawan. Namanya adalah Bouw Song Khi dan orang ini selain terkenal sebagai seorang maling tunggal yang lihai dan ditakuti, juga dia terkenal sebagai seorang hidung belang yang biasa keluyuran di tempat-tempat pelacuran dan selain itu juga dia dikenal sebagai seorang yang suka mengganggu wanita, seorang jai-hwat-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang cabul, sungguhpun dia tidak pernah mau melakukan kejahatan-kejahatan itu di daerahnya sendiri, melainkan memilih daerah di luar kekuasaannya sehingga namanya disegani dan dihormati. Itulah sebabnya mengapa dia sampai dapat terpilih menjadi seorang calon bengcu.

Lima calon ini saja sudah terhitung banyak, karena andaikata pada saat itu muncul orang-orang seperti Lam-hai Sam-lo, kiranya beberapa orang di antara mereka akan mundur lagi! Para gerombolan yang termasuk golongan bajak sudah merasa tidak puas dan heran mengapa datuk-datuk mereka itu tidak muncul.

Melihat tidak ada orang lagi yang maju sebagai calon, Sin-ciang Gu Kok Ban sebagai ketua penyelenggara pemilihan bengcu lalu berseru nyaring kepada semua yang hadir. "Apakah tidak ada lagi saudara-saudara yang mengajukan calon bengcu kecuali lima orang ini saja?"

Memang pemilihan kali ini agak sepi. Pilihan bengcu pada beberapa tahun yang lalu diikuti oleh belasan orang calon! Hal ini adalah karena yang maju adalah orang-orang yang amat terkenal sehingga para calon yang merasa tidak mungkin dapat menandingi calon-calon yang terkenal ini sudah lebih dulu mundur untuk menghindarkan diri mendapat malu, kalah dalam perebutan itu. Lima orang yang tinggal ini adalah tokoh-tokoh yang biarpun sudah saling mengenal namun belum pernah menguji kepandaian masing-masing, maka mereka berani untuk maju.

Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara yang nyaring. "Aku maju sebagai seorang calon!"

Yang membuat semua orang terkejut dan memandang heran adalah karena mereka melihat bahwa yang berseru nyaring itu adalah seorang pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai utusan atau wakil dari Cin-ling-pai! Kini semua mata memandang kepada Kwee Siang Lee dengan penuh perhatian. Pemuda itu memang gagah dan tampan, sepasang matanya yang lebar dan bukan seperti kebanyakan orang itu amat tajam, menentang semua orang dengan penuh keberanian. Memang pemuda ini memiliki mata seperti mata ibunya, wanita Tibet itu. Memang pemuda ini mengesankan sekali. Usianya baru delapan belas tahun, wajahnya bersih tampan dengan rambut hitam lebat disisir rapi dan digelung ke atas dibungkus dengan kain berwarna merah. Bajunya berwarna biru, diikat dengan sabuk sutera kuning, dan celananya berwarna putih bersih. Biarpun pakaiannya tidak dapat disebut mewah, bahkan terbuat dari bahan sederhana, namun karena bersih dan yang memakainya seorang pemuda remaja yang tampan, maka kelihatan pantas dan rapi. Tubuhnya sedang saja, namun padat dan membayangkan tenaga muda yang kuat.

Semua orang yang hadir merasa terkejut dan heran karena mereka semua mendengar bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah partai yang besar dan termasuk partai dari golongan pendekar, partai bersih yang biasanya menjadi lawan dari golongan sesat atau golongan hitam. Kalau Cin-ling-pai hanya mengirim utusan sebagai peninjau saja, seperti partai-partai lain yang juga mengirim utusan seperti partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain itu, maka hal ini tidak mengherankan. Akan tetapi bagaimana Cin-ling-pai mengirim seorang wakil yang mencalonkan diri menjadi bengcu? Akan tetapi karena pemuda yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai itu sudah mengajukan diri sebagai calon bengcu, maka ketua Sin-ciang Toat-thouw-pang menjadi bingung juga. Dia tentu saja tidak berani menolak, apalagi ketika para wakil golongan bersih yang lain bertepuk tangan dan mengangguk-angguk tanda setuju. Tentu saja mereka ini merasa suka kalau bengcu terjatuh ke tangan seorang Cin-ling-pai yang terkenal menjadi pusat para pendekar.

Sejak tadi, Sin Liong memang sudah memperhatikan Kwee Siang Lee yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai. Kini, melihat pemuda tampan itu bahkan mengajukan diri sebagai wakil yang mencalonkan diri sebagai bengcu, tentu saja Sin Liong makin terheran-heran. Kehadirannya di tempat itu hanyalah karena dorongan suhengnya Ouwyang Bu Sek menyuruh dia menghadiri pemilihan bengcu hanya untuk meninjau dan mencari pengalaman saja. Kini, mendengar pemuda tampan itu mewakili Cin-ling-pai mengajukan diri sebagai calon bengcu, tentu saja dia amat tertarik karena dia menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai sebagai partai dari kong-kongnya (kakeknya).

Selagi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu meragu dan tidak berani menolak, akan tetapi juga belum menerima Kwee Siang Lee sebagai calon bengcu yang ke enam, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Tidak pantas...!" Dan nampak bayangan orang meloncat ke atas panggung, langsung berdiri menghadapi Sin-ciang Gu Kok Ban ketua perkumpulan tuan rumah.

Semua orang memandang. Kiranya yang meloncat ke atas panggung itu adalah Kim Lok Cinjin, wakil ketua Pek-lian-kauw yang tadi sudah diangkat menjadi seorang di antara calon-calon bengcu. Kim Lok Cinjin ini adalah sute dari Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw di selatan. Dan sejak dahulu, Pek-lian-kauw memang membenci Cin-ling-pai yang dianggap menjadi musuh mereka. Oleh karena itu, Kim Lok Cinjin juga membenci Cin-ling-pai sehingga begitu melihat Cin-ling-pai diwakili seorang pemuda remaja yang mengajukan diri sebagai calon bengcu, hatinya sudah terasa panas dan dia cepat meloncat ke atas panggung sambil mencela.

Melihat tosu ini, Sin-ciang Gu Kok Ban menjura dan bertanya, "Apakah yang dimaksudkan oleh totiang?"

"Pangcu, kami menolak kalau bocah itu menjadi calon bengcu mewakili Cin-ling-pai!" bentaknya dengan nada keras dan menghina. "Semua calon bengcu yang berada di sini adalah orang-orang terhormat, yang menjadi calon karena diangkat oleh golongan masing-masing sebagai orang pilihan. Akan tetapi, siapakah yang mengangkat wakil Cin-ling-pai ini? Huh, siapakah yang tidak mendengar Cin-ling-pai itu perkumpulan macam apa? Mana mungkin ada kerja sama antara Cin-ling-pai dengan kita? Lihat saja buktinya. Cin-ling-pai mengirim wakilnya yang hanya seorang, itupun masih seorang bocah ingusan pula, dan kini bocah itu malah mengajukan diri sebagai calon bengcu! Bocah ingusan seperti itu menjadi bengcu? Ha-ha, bisa ditertawakan oleh cucu-cucu kita! Coba cu-wi (anda sekalian) pikir baik-baik, bukankah perbuatan Cin-ling-pai itu berarti memandang rendah dan menghina jagoan-jagoan selatan? Apa Cin-ling-pai mengira bahwa pemilihan bengcu di antara kita ini hanya permainan kanak-kanak belaka yang boleh dimasuki oleh bocah ingusan itu?"

"Tosu sombong...!" terdengar teriakan nyaring dan semua orang melihat pemuda Cin-ling-pai yang tampan itu tiba-tiba meloncat tinggi sekali dan tubuhnya lalu membuat poksai (salto) berjungkir balik tiga kali dengan gaya yang indah sekali, baru dia turun ke atas panggung tanpa menimbulkan suara tanda bahwa pemuda ini memiliki gin-kang yang sudah lumayan tingkatnya. Ketika Kwee Siang Lee meloncat, banyak orang bertepuk tangan memuji.

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia mengerti pula bahwa loncatan dengan gaya jungkir balik seperti itu membutuhkan latihan dan juga membutuhkan tenaga gin-kang yang lumayan, akan tetapi dengan memamerkan kepandaian seperti itu di hadapan demikian banyaknya orang pandai sungguh merupakan suatu kebodohan dan menandakan bahwa pemuda Cin-ling-pai itu sungguh-sungguh berwatak angkuh, sombong dan tolol! Akan tetapi dia hanya melihat saja dan mencurahkan penuh perhatian untuk melihat perkembangannya.

Kwee Siang Lee sudah berdiri di depan tosu Pek-lian-kauw yang memandangnya dengan mulut bercibir, sedangkan ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah turun dari atas panggung. Ketua perkumpulan ini memang cerdik juga. Dia tahu siapa adanya tosu itu dan tosu itu tentu saja akan merupakan saingan berat bagi sutenya yang dia calonkan menjadi bengcu. Kalau sekarang tokoh Pek-lian-kauw ini ribut dengan wakil Cin-ling-pai yang ternyata memiliki gin-kang yang boleh juga itu, hal ini merupakan suatu keuntungan baginya. Dua orang calon bengcu yang datang dari perkumpulan besar sudah hendak ribut dan bermusuhan sebelum pemilihan dilakukan, hal itu baik sekali bagi fihaknya, setidaknya akan mengurangi seorang saingan, fihak yang kalah. Maka diapun diam saja bahkan lalu menyingkir untuk memberi "kesempatan" kepada kedua fihak agar keributan itu makin berkobar. Dan semua orang yang hadir di situ adalah kaum sesat yang paling suka menyaksikan perkelahian dan pertumpahan darah, maka kini terdengar suara-suara yang memihak keduanya, seperti para penonton adu ayam yang hendak bertaruhan!

"Tosu bau, siapakah tidak mengenal nama Pek-lian-kauw di mana engkau tadi diperkenalkan sebagai wakil ketuanya? Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang biasa menipu rakyat, memeras, membohongi dengan agama palsu, dan memikat perempuan-perempuan untuk diperkosa! Dan kau masih berani menghina Cin-ling-pai? Jangan kira bahwa aku, biarpun hanya seorang anggauta muda Cin-ling-pai, takut menghadapimu!" Ucapan yang dilakukan dengan sikap gagah dan dengan suara lantang itu disambut tepuk tangan dari mereka yang memihak pemuda ini.

Kim Lok Cinjin tertawa mengejek. "Heh-heh, bocah ingusan! Baru memiliki kepandaian gin-kang macam itu saja sombongnya sudah demikian hebat sampai memuakkan perutku! Padahal gin-kang seperti itu hanya patut untuk dipamerkan dalam permainan komidi di pasar saja, untuk menarik perhatian orang agar menderma. Kami tadi bicara menurut aturan, bukan seperti engkau yang hanya pandai menyombongkan diri belaka. Kalau engkau ingin menjadi calon bengcu, siapakah yang mencalonkanmu? Kalau tidak ada, siapakah percaya bahwa engkau ini orang Cin-ling-pai? Jangan-jangan engkau ini bocah sinting hanya mengaku-aku saja wakil Cin-ling-pai! Hayo jawab, siapa yang mencalonkan engkau sebagai wakil Cin-ling-pai?"

Tiba-tiba terdengar suara melengking, "Aku yang mencalonkan dia!"

Tentu saja semua orang menengok ke bawah panggung, ke arah penonton dan melihat seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun mengacungkan jari telunjuknya. Bahkan wakil ketua Pek-lian-kauw dan Kwee Siang Lee yang berada di atas panggung juga menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Siang Lee memandang dengan terheran-heran karena dia sama sekali tidak mengenal pemuda remaja yang berpakaian sederhana itu.

"Aku mencalonkan dia sebagai wakil Cin-ling-pai menjadi calon bengcu! Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan yang maha besar, maka cukuplah dengan mengutus anggauta mudanya. Karena dia sudah ada yang mengangkatnya sebagai calon, maka sudah memenuhi syarat dan dia harus diterima menjadi seorang calon bengcu!" kata Sin Liong dan karena memang anak ini memiliki hawa sin-kang yang luar biasa kuatnya di dalam pusarnya, ketika dia berteriak suaranya melengking nyaring sekali.

Mereka yang berfihak kepada Kwee Siang Lee menyambut dengan sorakan gembira. Akan tetapi Kim Lok Cinjin mengangkat kedua tangan ke atas dan suaranya terdengar melengking tinggi mengatasi sorakan itu, "Kesaksian itu lebih tidak pantas lagi! Lihat siapa yang mengangkat bocah ini sebagai calon bengcu? Benar-benar kita semua dihina orang! Yang diajukan adalah bocah ingusan, akan tetapi yang mengajukan malah bocah yang masih menetek!" Mereka yang pro kakek ini tertawa dan bersorak mengejek.

"Pendeknya, bocah ingusan ini harus lebih dulu membuktikan bahwa dia adalah benar-benar wakil Cin-ling-pai dan buktinya hanyalah apabila dia memperlihatkan ilmu-ilmu aseli dari Cin-ling-pai. Melihat usianya, andaikata benar dia murid Cin-ling-pai, tentu kepandaiannya masih rendah dan mentah, maka biarlah kami akan mengajukan jago tingkat empat saja untuk mengujinya. Kita semua dapat melihat apakah benar-benar dia memiliki ilmu Cin-ling-pai dan mampu mengalahkan jago tingkat ke empat dari Pek-lian-pai!"

Mendengar ini, Siang Lee menjadi marah bukan main. Wajahnya yang tampan menjadi merah sekali dan sudah ingin menerjang kakek Pek-lian-pai itu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Lok Cinjin sudah melompat turun den sebagai gantinya dari tempat kehormatan tadi melompatlah seorang kakek yang berpakaian sebagai petani, kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, namun gerakannya masih gesit, sepasang matanya liar. Memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari banyak macam orang, terutama sekali para petani dan penduduk dusun. Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) adalah perkumpulan yang selain menyebarluaskan agama campuran dari Buddha dan Tao dicampur dengan mistik dan sihir, juga mengandung cita-cita untuk menguasai kerajaan demi berkembangnya agama mereka. Untuk maksud itu, Pek-lian-kauw selalu menyusup ke dusun-dusun dan mempengaruhi rakyat kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau tokoh ke empat ini berpakaian sebagai seorang petani.

"Orang muda, coba perlihatkan jurus-jurus Cin-ling-pai kepadaku," kata kakek petani itu. Tubuhnya yang kurus sudah memasang kuda-kuda dan sikapnya memandang rendah. Tokoh ke empat dari Pek-lian-kauw sudah terhitung seorang pandai kerena ilmu silatnya sudah mencapai tingkat pelatih bagi para anggauta muda, yaitu pelatih dasar-dasar ilmu silat Pek-lian-kauw.

Siang Lee yang berwatak keras dan memang dia seorang pemuda berdarah panas sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena marahnya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia membentak nyaring dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan yang amat keras.

Cin-ling-pai bukanlah partai sembarangan, melainkan sebuah partai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang pendekar sakti, yaitu Cia Keng Hong. Seperti dapat kita ketahui dari cerita seri Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), Cia Keng Hong telah menguasai banyak ilmu silat tinggi yang hebat dan sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Setelah dia mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai, pendekar sakti ini telah menciptakan ilmu silat khusus untuk perkumpulannya, diambilnya dari ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dan para anak murid Cin-ling-pai digembleng dengan ilmu yang khas ini. Ilmu silat itu dinamakan Cin-ling-kun-hoat dan ilmu ini terdiri dari ilmu silat yang dapat dimainkan baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata apa saja. Hanya para anggauta Cap-it Ho-han yang merupakan sebelas orang murid utama sajalah yang diberi pelajaran ilmu-ilmu hebat seperti Siang-bhok Kiam-sut dan sebagian dari Thai-kek-sin-kun, akan tetapi murid-murid lain hanya digembleng dengan Cin-ling-kun-hoat saja yang sudah merupakan ilmu silat lengkap dan amat tangguh.

Siang Lee juga telah mempelajari Cin-ling-kun-hoat sampai tingkat yang cukup tinggi sehingga dia merupakan seorang ahli dalam mainkan ilmu silat itu dengan pedang maupun dengan tangan kosong. Maka, begitu menyerang, dia sudah menggunakan jurus Cin-ling-kun-hoat yang ampuh, tangan kanannya dikepal menyerang dengan jotosan ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dan miring membacok ke arah ulu hati. Sebenarnya, serangan tangan kiri inilah yang merupakan inti jurus serangan ini, sedangkan yang kanan biarpun dilakukan dengan kuat sebenarnya bertugas sebagai pancingan dan menutupi serangan inti itu.

"Dukk...!" Kakek itu menangkis jotosan tangan kanan, dan terkejutlah dia ketika merasa ada angin dahsyat menyambar disusul bacokan tangan miring sebelah kiri.

"Plakkk!" Kembali dia berhasil menangkis, akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan dadanya terasa sesak.

"Hehh...!" Dia membuang napas dan dengan marah kakek itu lalu menubruk ke depan dengan jurus Singa Mengejar Mustika. Tubrukan itu berbahaya sekali karena kakek itu mempergunakan kedua tangan dan kedua kaki untuk menyerang, setelah meloncat, kedua tangannya mencengkeram dan kedua kakinya menginjak dengan pengerahan tenaga.

Namun, Siang Lee mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang lalu dilanjutkan dengan loncatan ke samping sehingga tubrukan kakek itu yang dilanjutkan pula dengan tendangan kaki kiri tidak mengenai sasaran. Para penonton tertarik sekali dan suasana di sekeliling panggung menjadi riuh dengan suara penonton. Tentu saja hanya fihak anak buah Pek-lian-kauw saja yang menjagoi kakek petani itu, sedangkan selebihnya dari para penonton tidak berfihak, melainkan menjagoi karena penafsiran masing-masing akan kekuatan dua orang yang sedang bertanding itu. Dan mulailah mereka itu mengadakan taruhan. Akan tetapi karena gerakan Siang Lee amat sigap dan cepat, sedangkan sikap pemuda itupun angkuh dan angker, maka lebih banyak yang menjagoi pemuda ini.

Kalau di bawah panggung orang ramai bertaruhan, di atas panggung terjadi perkelahian yang makin lama makin seru. Kakek itu makin merasa penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh tingkat empat dari Pek-lian-kauw, dia dianggap sebagai tokoh besar dan juga pelatih yang amat pandai oleh ratusan orang anggauta Pek-lian-kauw, dan pula, melihat lawan yang baru belasan tahun usianya itu sedangkan dia sudah enam puluh tahun, tentu saja dia merasa menang segala-galanya, baik tenaga, ilmu silat, maupun pengalaman. Maka setelah pertandingan berlangaung hampir lima puluh jurus dan dia belum mampu mengalahkan pemuda itu, dia merasa penasaran bukan main. Di lain pihak, Siang Lee yang terlalu percaya kepada kepandaian sendiri juga merasa penasaran sekali. Karena keduanya sudah marah, maka perkelahian itu kini bukan sekedar menguji kepandaian, melainkan perkelahian mati-matian untuk mencari kemenangan, kalau perlu dengan merobohkan dan membunuh lawan!

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan dia sudah menubruk lagi, serangannya sekali ini adalah serangan nekat untuk mengadu nyawa. Dia tidak memperdulikan lagi segi penjagaan diri, melainkan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatian untuk menyerang dalam nafsunya untuk menjatuhkan lawan dan memperoleh kemenangan. Tentu saja sikap seperti ini tidak benar sama sekali bagi seorang ahli silat yang menghadapi lawan pandai, yang seharusnya membagi kekuatan untuk menjaga diri, tidak semua dikerahkan untuk menyerang dan membiarkan diri terbuka.

Siang Lee terkejut juga menyaksikan serangan nekat itu. Memang hebat sekali serangan itu dan dia tahu bahwa kalau dia menangkis berarti keras lawan keras dan karena dia tahu pula bahwa tenaganya seimbang dengan tenaga lawan, maka hal itu amat berbahaya dan dapat membuat dia terluka, baik menang maupun kalah dalam adu tenaga itu. Maka dengan kecepatan kilat, menggunakan gin-kangnya yang diandalkan, dia melempar diri ke samping dan berhasil lolos melalui bawah lengan kiri lawan, akan tetapi pemuda ini masih sempat sambil mengelak itu mengayun tangan menyerang ke bawah pangkal lengan kiri itu.

"Dukkk...!" Tubuh kakek itu terpelanting, lambungnya kena ditonjok dan dia roboh, meringis sambil memegangi lambungnya yang kena pukul.

Pada saat itu terdengar gerengan keras dan seorang kakek yang seperti raksasa telah muncul di atas panggung. Kakek ini menyeramkan sekali, selain tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya menonjol di seluruh bagian tubuhnya, juga mukanya bengis, alisnya tebal, matanya lebar, kumis dan jenggotnya pendek namun lebat dan kaku seperti kawat. Bajunya berlengan pendek sampai di pundak, memperlihatkan sepasang lengan yang besar berotot, di kedua pergelangan tangannya nampak masing-masing seekor ular kecil melingkar seperti gelang.

Dua ekor ular itu sebetulnya adalah ular-ular aseli, hanya saja ular yang sudah mati dan diberi obat menjadi kaku dan keras. Di punggungnya nampak tersembul gagang golok besar, gagangnya berbentuk kepala harimau dan dandanan seperti itu menambah seram keadaan raksasa yang usianya sekitar lima puluh tahun ini.

"Sute, kau minggirlah!" bentaknya dengan suara kasar dan parau kepada kakek petani yang telah kena dipukul oleh Siang Lee tadi. Kakek petani itu meringis, mengangguk dan kembali ke tempatnya di mana dia lalu diberi sebutir obat oleh Kim Lok Cinjin yang segera ditelannya.

"Bocah sombong dari Cin-ling-pai! Engkau telah mengalahkan suteku, marilah engkau main-main sebentar denganku! Kalau engkau takut, biar aku mengampuni orang Cin-ling-pai, akan tetapi engkau harus berlutut dan memberi hormat kepadaku sembilan kali sambil minta ampun, kemudian menggelinding pergi dari tempat ini!" Suara kakek raksasa ini lantang dan ketika dia bicara, matanya melotot dan perutnya bergerak-gerak, kedua lengannya yang diayun-ayun itu mengeluarkan suara berkerotokan!

Melihat ini, Sin Liong terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa kalau pemuda murid Cin-ling-pai itu memaksa diri maju dia akan celaka di tangan raksasa itu. Dia melihat betapa selain raksasa itu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kakek petani tadi dan juga pemuda itu, raksasa ini memiliki sifat kejam dan besar sekali kemungkinan si pemuda akan terbunuh kalau dia berani melawan. Dan dia tahu pula bahwa dari sinar matanya, pemuda itu tentu malu untuk mundur, apalagi kini pemuda itu sudah membusungkan dada, amat bangga karena kemenangannya tadi, kemenangan yang amat tipis.

"Hemm... siapa takut..."

"Haii, nanti dulu! Penasaran ini! Melanggar peraturan dan merusak tata susila pemilihan bengcu!"

Teriakan ini nyaring sekali dan semua orang memandang, lalu terdengar suara tertawa di sana-sini ketika mereka melihat betapa yang berteriak itu adalah pemuda remaja yang tadi mengangkat Siang Lee sebagai calon bengcu, dan kini pemuda remaja itu sudah memanjat tiang penyangga panggung untuk naik ke atas, hal ini membuat orang merasa geli. Mereka semua adalah ahli-ahli silat dan untuk naik ke atas panggung yang hanya kurang lebih dua meter tingginya itu, tentu mereka akan menggunakan kepandaian meloncat. Akan tetapi pemuda remaja itu agaknya tidak pandai meloncat tinggi, maka memanjat seperti seekor monyet.

Akan tetapi karena teriakan itu nyaring sekali, Siang Lee tidak melanjutkan kata-katanya, dan si kakek raksasa juga menoleh, memandang ke arah Sin Liong yang kini sudah muncul kepalanya dan dengan susah payah kakinya mengait pinggir panggung, berdiri di depan Siang Lee untuk menghalangi pemuda itu berhadapan dengan kakek raksasa.

"Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang mulia adalah orang-orang gagah yang tentu mengenal peraturan!" Demikian Sin Liong berteriak sambil memandang keempat penjuru sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang dikembangkan seperti gaya seorang ahli pidato di depan rapat umum. "Saudara ini adalah seorang di antara para calon bengcu yang mewakili Cin-ling-pai. Tadi ada fihak yang meragukan dan ingin mengujinya apakah benar-benar dia tokoh Cin-ling-pai dan cu-wi telah melihat sendiri bahwa dia keluar sebagai pemenang. Jelas bahwa dia adalah tokoh Cin-ling-pai dan sebagai calon bengcu tentu saja tidak boleh bertanding dulu. Hal ini merugikannya karena kalau calon-calon lain masih segar bugar, dan tentu menjadi lelah. Kalau ada fihak yang hendak menantang Cin-ling-pai di sini, jangan ditujukan kepada calon bengcu, biarlah aku yang mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi fihak yang menantang Cin-ling-pai!"

Setelah berkata demikian, dengan cepat Sin Liong menghadapi Siang Lee, dan mengedip-ngedipkan matanya, lalu berkata dengan sikap hormat, "Taihiap, harap taihiap sudi duduk saja di tempat kehormatan, menanti sampai dimulainya sayembara perebutan kedudukan bengcu. Adapun badut-badut yang hendak mengacau, biarlah serahkan saja kepadaku."

Jelas bahwa sikap dan kata-kata Sin Liong ini amat mengangkatnya tinggi sekali, maka tentu saja Siang Lee tidak hendak membantah. Dengan sikap bangga dan angkuh dia mengangguk kepada Sin Liong, sikapnya seperti kaum atasan memandang kepada bawahannya dan dia masih berkata, "Kau hati-hatilah!" lalu Siang Lee berlenggang menuju ke tempat duduknya semula. Tentu saja diam-diam Sin Liong merasa geli menyaksikan sikap pemuda yang kosong itu.

Sementara itu, selagi semua penonton terheran-heran menyaksikan pemuda remaja yang naik ke panggung saja harus memanjat itu kini hendak mewakili pemuda Cin-ling-pai menghadapi tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, kakek raksasa tadi juga bengong dan sejenak tak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi setelah melihat Kwee Siang Lee, calon lawannya yang tadi telah mengalahkan sutenya itu mundur, dia menjadi marah sekali.

"He, bocah ingusan! Apa kau sudah gila? Mau apa engkau naik ke sini dan menyuruh lawanku mundur? Kalau dia tidak berani, dia harus berlutut dulu dan minta ampun...!"

Sin Liong menggerakkan tangan kanannya mencela. "Eeihhh! Siapa bilang dia tidak berani? Dia masih terlampau tinggi kedudukannya untuk melawanmu. Bukankah dia calon bengcu? Masih ada aku di sini, kenapa dia harus turun tangan sendiri?"

Kakek itu terbelalak. "Kau...? Kaumaksudkan bahwa engkau berani melawan aku? Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa geli karena merasa lucu, dan banyak orang yang hadir ikut pula tertawa.

"Kakek harimau, engkau menggereng seperti harimau dan mukamu juga seperti harimau, jangan tertawa dulu. Ketahuilah bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang namanya setinggi langit. Pendirinya, pendekar sakti Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang tanpa tanding, kepandaiannya sudah mencapai langit. Ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tidak ada keduanya di dunia ini. Dan aku mendapat berkah, pernah aku belajar sedikit ilmu dari Cin-ling-pai, oleh karena itu, kalau ada yang menghina dan memandang rendah Cin-ling-pai, biarlah aku mewakili Cin-ling-pai untuk membuka mata orang yang menghina itu!"

Kakek itu tidak marah, bahkan tertawa makin keras karena dia menganggap bocah di depannya itu seperti badut sedang berlagak saja. "Eh, anak lucu, siapakah namamu?"

Melihat kakek itu bertanya sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan dadanya dibusungkan, Sin Liong lalu meniru dengan berdiri tegak, kedua kaki dipentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang, lalu berkata lantang. "Ah, kakek yang tidak lucu, siapakah namamu?"

Bagi orang yang pernah mengenal Sin Liong semenjak kecil sampai dia berada di Cin-ling-pai ikut kakeknya, tentu akan terheran-heran mengapa terjadi perubahan demikian besar pada diri anak ini. Semenjak kecil, sampai dia berada di Cin-ling-pai, anak ini berwatak pendiam dan serius, wajahnya lebib sering muram daripada cerah dan dia tidak pandai berkelakar. Akan tetapi, semenjak dia menjadi murid Ouwyang Bu Sek, terjadi perubahan pada wataknya yang pendiam itu, Ouwyang Bu Sek adalah seorang kakek yang pandai bicara, jenaka dan lucu, maka selain ilmu kepandaiannya, juga sifatnya ini agaknya menurun kepada Sin Liong. Akan tetapi, karena pada dasarnya Sin Liong pendiam, maka sifat itu hanya sewaktu-waktu saja timbul padanya, terutama apabila menghadapi saat berbahaya, dan sifat ini timbul sebagian besar sebagai siasat.

Tentu saja sikap ini memancing suara ketawa geli dari para hadiri sampai ada yang terkekeh-kekeh, terutama sekali mereka yang memang merasa tidak suka kepada Pek-lian-kauw. Melihat kakek yang menyeramkan itu dipermainkan dan diejek oleh seorang bocah ingusan yang baru berusia belasan tahun, benar-benar merupakan penglihatan yang lucu dan tentu saja memuaskan hati mereka yang anti Pek-lian-kauw.

Kakek itu terbelalak. Dia adalah seorang tokoh besar Pek-lian-kauw. Bahkan orang-orang kang-ouw yang pandaipun tidak berani sembarangan terhadap dia, banyak pula yang takut. Akan tetapi kenapa anak ini demikian beraninya? Akan tetapi kakek raksasa itu mempunyai dua dugaan, pertama, tentu saja anak ini sama sekali buta akan keadaan di dunia kang-ouw, dan karena tidak mengenal siapa maka berani bersikap seperti itu, dan ke dua, boleh jadi anak ini agak miring otaknya maka berani bersikap demikian gila-gilaan!

"ENGKAU malah berani balas bertanya sebelum menjawab?" bentaknya.

"Tentu saja! Engkau adalah fihak yang mencari perkara, dan aku hanyalah fihak yang melayanimu, maka boleh dibilang engkau ini tamunya dan aku ini tuan rumahnya. Tidakkah sepatutnya kalau tuan rumah lebih dulu mengetahui nama si tamu baru memperkenalkan diri? Betul tidak, cu-wi yang mulia?" Dia menoleh ke bawah panggung.

"Betul...! Betul!" Tentu saja mereka yang menonton pertunjukan lucu itu menyetujui. Dalam keadaan seperti itu, selagi Sin Liong mendapatkan simpati karena kelucuan dan keberaniannya mempermainkan seorang tokoh besar yang ditakuti, tentu saja apapun yang dikatakan anak itu akan disetujui mereka.

Sin Liong kini menghadapi lagi kakek raksasa sambil tersenyum lebar. "Nah, kakek yang tidak lucu, kalau aku saja yang bicara tentu engkau tidak percaya, akan tetapi pendapat semua orang gagah yang terhormat itu, apakah engkau berani untuk melanggarnya? Nah, jawablah dulu, siapakah namamu!"

Kulit muka yang kasar dan agak hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena kakek itu sudah marah sekali dan mukanya menjadi kemerahan, matanya melotot dan anehnya, kalau sedang marah kakek ini terjadilah hal yang lucu di luar kesadarannya sendiri, yaitu cuping hidungnya yang kiri bergerak-gerak kembang kempis dengan keras sehingga kumisnya sebelah kiri juga ikut pula bergerak-gerak, seperti kumis kelinci! Melihat ini, Sin Liong merasa geli sekali dan diapun terkekeh-kekeh.

Kakek raksasa itu menjadi makin marah. "Anak bedebah! Mengapa engkau tertawa?"

"Heh-heh-ha-ha-ha, engkau lucu sekali! Aku menarik kembali omonganku tadi, kalau tadi aku menyebutmu kakek yang tidak lucu, sekarang aku menamakan engkau kakek yang lucu. Nah, kakek yang lucu, siapakah sih namamu? Jangan jual mahal, ah!"

Kembali banyak orang tertawa dan kakek itu kembali mendongkol. "Bocah sialan! Kaukira aku ini orang apa maka engkau berani main gila seperti ini? Dengar baik-baik agar terbawa mampus olehmu. Aku adalah tokoh tingkat tiga di Pek-lian-kauw, dan julukanku adalah Kiu-bwee-houw, namaku... ah, bocah macam engkau tidak pantas mengenal namaku. Biarlah arwahmu nanti ingat selalu bahwa engkau mampus di tangan Kiu-bwee-houw!" Kakek yang berjuluk Kiu-bwee-houw (Harimau Berekor Sembilan) ini bukan tidak ada sebabnya mengapa dia tidak mau memperkenalkan namanya kepada Sin Liong. Melihat anak itu lincah dalam bicara, pandai mempermainkan orang dan kelihatan nakal dan kurang ajar, maka kakek ini sengaja menyembunyikan namanya karena khawatir kalau namanya diperkenalkan, nama itu akan menjadi bulan-bulan dan olok-olok anak itu. Namanya adalah Toa Bhi dan dia she Bhe. Nama itu dapat pula diartikan Si Hidung Besar!

"Pantas... pantas...!" Sin Liong mengangguk-angguk. "Wajahmu seperti harimau, lagakmu seperti harimau, gerakanmu seperti harimau hendak menubruk, dan gagang golokmupun ukiran kepala harimau. Pantas julukanmu Harimau Ekor Sembilan, akan tetapi aku sama sekali tidak melihat ekormu! Apakah benar-benar ekormu ada sembilan? Coba kau perlihatkan kepadaku, kakek lucu!"

Tentu saja ucapan ini disambut oleh ketawa riuh rendah oleh para penonton dan Kiu-bwee-houw menjadi makin gemas. "Bocah yang sudah bosan hidup! Hayo kaukatakan siapa namamu agar kelak aku dapat memberitahukan kepada Cin-ling-pai bahwa engkau telah mampus di tanganku!"

"Uuuhhhh, tidak gampang, sobat. Namaku adalah Sin Liong!"

Kwee Siang Lee yang sejak tadi memperhatikan anak itu, diam-diam terkejut bukan main. Dia belum pernah bertemu dan berkenalan dengan Sin Liong, akan tetapi tentu saja dia pernah mendengar nama Sin Liong, nama anak yang katanya merupakan murid baru dan murid terakhir dari sucouwnya, yaitu Cia Keng Hong! Pernah dia mendengar betapa seorang anak kecil yang aneh diambil murid oleh sucouwnya itu, dan kabarnya anak itu dilarikan penjahat sakti ketika peti mati sucouwnya sedang dihormati dalam upacara berkabung oleh keluarga sucouwnya. Jadi inikah anak yang menjadi murid terakhir dari sucouwnya itu? Diam-diam dia terkejut bukan main. Anak yang usianya paling banyak enam belas tahun ini ternyata masih terhitung paman kakek gurunya! Karena kakeknya, mendiang Kwee Kin Ta, seorang di antara Cap-it Ho-han, adalah murid dari Cia Keng Hong, dan bocah yang menjadi murid bungsu dari Cia Keng Hong ini terhitung sute dari kakeknya sendiri. Keringat dingin keluar dari seluruh tubuh pemuda ini. Dia tadi telah bersikap keterlaluan! Dia telah dengan lancang mengangkat diri sendiri menjadi wakil Cin-ling-pai! Bahkan lebih dari itu, dia telah lancang mencalonkan diri sebagai calon bengcu sebagai wakil Cin-ling-pai pula! Padahal di situ ada pemuda ini yang masih terhitung susiok-kong atau paman kakek guru darinya!

"Sin Liong? Bocah sombong engkau ini tokoh tingkat berapakah dari Cin-ling-pai? Dengan nyali sebesar ini, agaknya engkau tentu seorang tokoh penting juga!" Kakek itu memancing untuk kelak memperolok Cin-ling-pai kalau dia sudah merobohkan, ah, bahkan membunuh bocah yang telah memanaskan perutnya itu.

"Tokoh tingkat berapa? Wah, orang macam aku ini di Cin-ling-pai dapat kau temui losinan banyaknya, sukar dihitung, dan belum masuk hitungan kelas sama sekali! Aku sepatutnya hanya menjadi jongos atau tukang sapu saja di sana!"

Makin mengkal rasa hati kakek raksasa itu. Dengan kata-kata itu, kembali bocah itu yang kelihatannya meremehkan diri, sebenarnya menyeret dia ke tempat rendah, karena bukankah bocah itu seolah mengatakan bahwa dia hanya patut bertanding melawan jongos atau tukang sapu dari Cin-ling-pai saja? Kalau dia belum terlanjur maju, tentu dia tidak akan sudi untuk melayani seorang kacung Cin-ling-pai! Akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, tidak ada jalan lain baginya untuk menebus penghinaan dan rasa malu itu dengan merobohkan atau membunuh anak ini secepat mungkin. Dia mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan memang gerengannya itu dilakukan dengan pengerahan khi-kang, suara yang keluar dari dalam perut dan menggetarkan jantung para pendengarnya, terutama sekali Sin Liong yang berdiri di depannya. Kalau anak ini tidak memiliki kepandaian, tentu dia akan menjadi pucat, menggigil atau lumpuh seketika, seperti pengaruh gerengan harimau tulen terhadap manusia.

Akan tetapi, murid kakek sakti Ouwyang Bu Sek ini tentu saja cepat mengerahkan sin-kangnya sehingga gerengan itu baginya tidak lebih berbahaya daripada bunyi suara kucing saja. Dia tersenyum mengejek.

"Wah, julukanmu macan, gerenganmu seperti macam pula. Seekor macam muda dan kuat memang berbahaya, akan tetapi macan tua ompong macam engkau ini bukan menakutkan melainkan menggelikan. Aku berani bertaruh bahwa menghadapi seekor domba muda saja engkau tidak akan mampu merobohkannya. Eh, orang tua, percaya tidak engkau?"

Ditanya demikian, seperti orang tua latah raksasa itu menjawab, "Tidak percaya!" Akan tetapi dia segera sadar bahwa dia telah melayani pembicaraan anak itu maka dengan marah dia membentak, "Bersiaplah untuk mampus!"

"Mampus ya mampus, akan tetapi aku ingin melihat apakah macan ompong ini mampu membunuh seekor domba. Biar aku yang menjadi dombanya."

"Biar engkau berubah menjadi anjing, kau akan tetap mampus di tanganku, bocah setan!"

"Eh, kau menantang anjing? Ingat, anjing lebih kuat daripada domba, lho! Kau tidak menyesal nanti kalau dikalahkan aniing? Biar aku menjadi anjing dulu!"

Dan seketika itu juga Sin Liong menjatuhkan diri merangkak-rangkak dengan kaki empat seperti seekor anjing. Selagi semua orang terheran-heran, tiba-tiba anak itu mengeluarkan gonggongan keras dan menyalak-nyalak, suaranya persis seekor anjing tulen! Orang-orang tertawa dan memuji karena andaikata tidak melihat anak itu, tentu mereka mengira bahwa memang anjing tulen yang menyalak-nyalak itu.

Hal ini sebenarnya tidaklah mengherankan. Karena semenjak bayi dipelihara oleh monyet-monyet liar, maka penangkapan dari pendengaran Sin Liong lebih peka daripada manusia biasa, dan dia lebih dapat menangkap "inti" dari suara binatang-binatang hutan. Yang ditirunya itu adalah suara yang dikenalnya benar, suara anjing hutan, maka dia dapat mengeluarkan bunyi yang persis dengan suara anjing tulen.

Melihat betapa pemuda remaja itu merangkak-rangkak, menyalak-nyalak dan menggoyang-goyang pinggul yang tidak ada ekornya, meledaklah suara ketawa mereka yang hadir dan disuguhi tontonan lucu ini. Hanya orang-orang Pek-lian-kauw yang tidak bisa tertawa karena mereka itu ikut merasa gemas dan marah melihat betapa tokoh ke tiga dari Pek-lian-kauw itu dipermainkan oleh seorang bocah!

"Mampuslah!" Tiba-tiba tubuh tinggi besar itu menubruk. Tubrukan ini bukan tubrukan ngawur belaka yang didorong oleh nafsu amarah, melainkan tubrukan yang telah diperhitungkan masak-masak, yang hendak ditangkap adalah tengkuk dan pinggul Sin Liong. Sekali tertangkap, tentu tubuh anak itu akan dibanting sampai tulang-tulangnya remuk.

Akan tetapi, seperti gerakan seekor anjing tulen, Sin Liong meloncat dengan tekanan kaki dan tangannya sehingga tubrukan itu luput! Hal ini mengejutkan hati para tokoh Pek-lian-kauw. Mereka tahu bahwa Kui-bwee-houw tadi telah menggunakan jurus Harimau Menerkam Domba yang amat dahsyat, dan tubrukan pertama itu disusul dengan cengkeraman ke manapun lawan yang diserang itu mengelak. Akan tetapi, seperti seekor anjing, anak itu benar-benar telah melompat cepat ke samping lalu cepat pula memutar sehingga si raksasa sama sekali tidak mampu melanjutkan serangannya dan gagallah jurus pertama dari serangannya itu. Terpaksa dia membalik sambil memutar dan mengayun kaki kirinya. Itulah jurus Harimau Memutar Tubuh yang mirip dengan ilmu para tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis), yaitu ilmu yang amat diandalkan oleh mereka dan yang dinamakan Ilmu Silat Mengusir Anjing.

"Huk-huk-hukkk!" Sin Liong menyalak-nyalak dan melihat sambaran kaki itu, dia menggerakkan kepala dan kaki depan ke samping, kemudian dia menggigit ke arah betis yang lewat di depan mukanya.

"Brettt... aughh...!" Kakek itu mengguncang kakinya yang tergigit dan semua orang bersorak-sorai melihat pemuda cilik itu betul-betul menggigit betis lawan, persis seperti seekor anjing.

Celana si raksasa itu robek dan setelah diguncang-guncang kaki yang tergigit, terpaksa Sin Liong melepaskan gigitannya. "Monyet cilik, akan kubunuh kau!" Kiu-bwee-houw berteriak, mukanya merah dan matanya terbelalak liar.

Akan tetapi sebelum kakek ini menyerang lagi, Sin Liong sudah membuat gerakan meloncat ke atas dan berdiri dengan sikap seperti seekor monyet! "Aha, kebetulan sekali, engkau menyuruh aku menjadi monyet? Baiklah, dan mari kita lihat apakah macan ompong mampu mengalahkan monyet!" Lalu pemuda itu mengeluarkan suara aneh, suara monyet tulen. Dan cara dia berdiri dengan kedua pundak diangkat, mukanya dengan mulut agak meringis, kedua tangannya, memang mirip, bahkan persis monyet. Dan hal ini tentu saja lebih tidak aneh lagi karena Sin Liong sudah tahu benar bagaimana gerak-gerik seekor monyet. Bahkan dahulu, sebelum dia bertemu dengan ibu kandungnya, dia adalah seekor monyet cilik.

Melihat lagak ini, kembali suasana di bawah panggung riuh rendah karena lagak Sin Liong benar-benar lucu dan menarik hati. Juga timbul rasa kagum bukan main di dalam hati mereka. Jelas bahwa pemuda ini agaknya sama sekali tidak becus (mampu) bersilat, akan tetapi sudah berani melawan seorang tokoh besar seperti Kiu-bwee-thouw. Bukan hanya berani melawan, bahkan memperolok-oloknya sehebat itu.

Kembali Kiu-bwee-houw menggereng dan menyerang. Tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala Sin Liong itu menyambar, meluncur ke depan seperti peluru meriam, mengarah kepala Sin Liong. Bagi pandangan Sin Liong yang nampak hanya bulatan besar mengerikan itu meluncur ke arah kedua matanya. Namun dia tidak menjadi gugup dan bergerak lincah sekali, gerakannya tidak lagi gerakan kuda-kuda ilmu silat melainkan gerakan monyet mengelak, dan pukulan itupun hanya mengenai angin saja.

"Aihh... macan ompong main tubruk dan cakar, tidak ada gunanya! Gigimu telah ompong semua, cakar kukumu telah tumpul!" Sin Liong mengejek dan raksasa itu makin marah. Diserangnya Sin Liong secara bertubi-tubi, namun semua gerakan serangan itu sia-sia belaka karena "manusia monyet" itu dengan amat mudahnya berloncatan ke sana-sini, mengelak ke sana-sini. Sorak-sorai penonton menyambut pertandingan itu, pertandingan yang amat menarik di mana kakek raksasa itu sama sekali tidak pernah dapat menangkap atau memukul anak kecil yang kini bergerak-gerak persis monyet, mengeluarkan suara seperti monyet tulen pula.

Dapat dimengerti bahwa andaikata Sin Liong belum memiliki demikian banyak ilmu, pertama-tama ilmu silat tinggi yang diturunkan atau diwariskan oleh Cia Keng Hong kepadanya, kemudian gemblengan-gemblengan yang diberikan oleh kakek Ouwyang Bu Sek, dan kalau dia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya meniru monyet, sudah pasti dalam satu dua jurus saja dia akan celaka! Adalah karena pemuda ini telah mewarisi ilmu silat tinggi, maka dia dapat mempermainkan lawannya yang dalam tingkat ilmu silat masih jauh sekali di bawah tingkat anak luar biasa ini.

Tingkah yang lucu dan gerakan yang amat luar biasa gesitnya dari Sin Liong membuat pertandingan itu nampak ramai dan juga lucu. Ada kalanya ujung jari-jari tangan kakek itu hampir menyentuh tubuh Sin Liong, namun pemuda itu sudah dapat menghindarkannya dengan cepat dan dengan gerakan aneh. Tak terasa lagi lima puluh jurus telah lewat dan biarpun Sin Liong belum pernah balas menyerang, hanya pertama kali tadi dia menggigit robek celana lawan, namun kakek raksasa itupun belum pernah mampu menyentuh ujung baju pemuda yang perkasa yang lihai ini. Tiba-tiba ada angin menyambar ke depan. Angin ini kuat sekali dan memaksa Sin Liong yang mengenal pukulan ampuh cepat berjungkir balik, membuat poksai (salto) di udara sampai lima kali lalu turun dan memandang. Kiranya di tepi panggung telah berdiri Kim Lok Cinjin, kakek muka putih yang matanya kini makin beringas nampaknya.

"Bocah kurang ajar, engkau telah menipu kami! Engkau pasti bukan orang Cin-ling-pai, melainkan dari golongan lain. Melihat gerakan-gerakanmu yang liar, engkau sama sekali bukan murid Cin-ling-pai. Mengapa engkau berani membela Cin-ling-pai?" bentak Kim Lok Cinjin, sedangkan Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi nampak menghapus peluh dari muka dan lehernya, menggunakan ujung bajunya. Dia merasa lelah sekali.

"Sudah kukatakan tadi bahwa aku pernah mempelajari ilmu yang tiada bandingnya di dunia ini, ilmu dari Cin-ling-pai, akan tetapi aku bukan tokoh bukan murid. Aku hanya membela tokoh muda Cin-ling-pai tadi... eh, mana dia?" Sin Liong mencari-cari dengan pandang mata namun ternyata tempat duduk Kwee Siang Lee telah kosong! Kemudian ada seorang tamu menerangkan bahwa tidak lama setelah pertarungan di atas panggung dimulai, pemuda tampan dari Cin-ling-pai itu telah pergi secara diam-diam.

Sin Liong menarik napas panjang, napas yang melegakan dadanya. Dia memang mengkhawatirkan keselamatan pemuda lancang itu dan setelah kini pemuda itu pergi, hatinya gembira dan enak. Dia tersenyum kepada Kim Lok Cinjin, lalu berkata, "Aku memang tidak menggunakan jurus-jurus agung dan ampuh dari Cin-ling-pai tadi, dan sekarang, melihat betapa saudara Kwee Siang Lee tokoh Cin-ling-pai telah pergi tanpa pamit, agaknya enggan turun tangan menghadapi lawan-lawan yang terlampau rendah tingkat kepandaiannya, maka akupun tidak lagi membelanya dan karena Cin-ling-pai tidak mempunyai wakil di sini, maka akupun tidak lagi membela Cin-ling-pai atau membela siapapun juga. Dan hendaknya kalian ketahui bahwa kalau aku tadi tidak menggunakan jurus Cin-ling-pai adalah karena sekali aku mengeluarkan jurus dari Cin-ling-pai dalam satu jurus saja macan ompong itu tentu roboh."

Terdengar seruan kaget dari semua penonton. Bahkan para tokoh besar yang duduk di panggung kehormatan mengerutkan kening. Anak ini boleh jadi lihai dan menyembunyikan kepandaian hebat, akan tetapi terlalu sembrono dan terlalu sombonglah kalau berani mengatakan bahwa dengan satu jurus dari Cin-ling-pai, orang macam Kiu-bwee-houw akan dapat dirobohkan!

"Bocah bermulut besar! Kalau dengan satu jurus dari Cin-ling-pai engkau mampu merobohkan murid pertamaku, Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi itu, biarlah pinto memberi hormat kepadamu!" teriak Kim Lok Cinjin marah dan kakek ini lalu mundur dan duduk kembali ke atas kursi kehormatan.

"Hemm, kakek lucu, beranikah engkau menyambut satu jurus seranganku menggunakan ilmu Cin-ling-pai?" Tiba-tiba Sin Liong menantang kepada Kiu-bwee-houw. Tentu saja semua orang tertawa lagi, akan tetapi suara ketawa mereka terkendalikan oleh perasaan sangsi dan khawatir karena siapapun orangnya tidak akan percaya bahwa bocah yang kelihatan tidak pandai limu silat, yang agaknya hanya memiliki kecepatan gerakan seperti monyet, dan tidak mempunyai tenaga besar, buktinya tadi tidak pernah menyerang dan tidak pernah menangkis, akan dapat merobohkan kakek raksasa itu dalam satu jurus saja! Jurus apa gerangan yang demikian hebat?

"Anak iblis! Suhu telah berjanji kalau aku roboh dalam satu jurus olehmu, beliau akan memberi hormat kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus?" Kiu-bwee-houw bertanya.

"Kalau tidak bisapun tidak mengapa, dan aku yang akan memberi hormat kepada gurumu dan kepadamu. Boleh saja, kan?"

"Seenak perutmu sendiri! Kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus, engkau harus menjilati sepatu guruku sampai bersih, kemudian melanjutkan pertempuran ini sampai seorang di antara kita roboh."

Hebat bukan main syarat itu, penghinaan yang sangat besar. Namun dengan sikap enak saja Sin Liong mengangguk. "Boleh, itu sudah adil sekali! Sekarang aku ingin engkau memilih, satu jurus dari ilmu yang manakah dari Cin-ling-pai yang harus kugunakan untuk merobohkan engkau? Ilmu-ilmu Cin-ling-pai amat banyak, ampuh dan luar biasa. Pilih saja yang mana. Mau San-in-kun-hoat, Siang-bhok Kiam-sut yang bisa dimainkan dengan pedang tangan, atau Thai-kek-sin-kun? Masih ada lagi ilmu-ilmu simpanan dari pendekar sakti Cia Keng Hong, di antaranya Sin-kun-hok-houw (Pukulan Sakti Menaklukkan Harimau) atau Ta-houw-ciang (Tangan Pemukul Harimau) dan masih banyak lagi pukulan-pukulan yang sengaja diciptakan untuk mengalahkan segala macam harimau, termasuk harimau tua yang ompong."

Jelaslah bahwa ilmu-ilmu yang terakhir itu adalah isapan jempol saja dari Sin Liong, sengaja menggunakah nama harimau untuk mengejek lawan. Akan tetapi, disebutnya banyak ilmu itu, diam-diam Kiu-bwee-houw menjadi terkejut. Jangan-jangan anak ini memang benar ahli silat kelas satu! Dia merasa jerih juga mendengar nama ilmu-ilmu yang mengancam harimau itu. Maka dia memilih nama ilmu yang kedengarannya tidak begitu seram, yaitu Ilmu Silat San-in-kun-hoat (Silat Awan Gunung).

"Aku mendengar di antara semua ilmu silat dari Cin-ling-pai, yang paling hebat adalah ilmu Thi-khi-i-beng dan San-in-kun-hoat. Nah, kaupergunakan dua ilmu itu dan merobohkan aku dalam satu jurus!" Kakek ini tersenyum lebar mengejek. Dia sudah mendengar bahwa di dunia ini, yang menguasai ilmu Thi-khi-i-beng (Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa) hanya dua orang, yaitu mendiang Cia Keng Hong dan Yap Kun Liong. Bahkan kabarnya, putera dari pendekar Cia Keng Hong itu sendiri tidak diberi pelajaran Thi-khi-i-beng, apalagi bocah ingusan ini! Kakek ini merasa cerdik menyebut nama ilmu itu, dan dia tidak gentar menghadapi Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu yang namanya saja lemah lembut itu, apalagi kalau hanya dipergunakan satu jurus saja.

Akan tetapi Sin Liong menjadi girang sekali. Ilmu San-in-kun-hoat adalah ilmu yang amat halus dan hebat, apalagi setelah dia digembleng oleh Ouwyang Bu Sek, ilmu silat ini telah dilatihnya secara luar biasa. Dan tentang Thi-khi-i-beng, tidak ada orang lain tahu kecuali kakeknya, bahwa dia telah menguasai sepenuhnya ilmu itu, bahkan tidak kalah kuat dibandingkan dengan kakeknya sendiri!

"Bagus, kau bersiaplah. Dalam satu jurus aku akan membanting tubuhmu yang gemuk itu ke atas papan panggung!" bentaknya.

Kakek raksasa itu menyeringai, lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya pada kaki dan tangannya, siap untuk menangkis atau mengelak dari jurus serangan yang akan dipergunakan oleh Sin Liong. Dia merasa yakin bahwa dia mampu mengelak, dan kalau gerakannya kurang cepat, dia boleh mengandalkan kedua tangannya untuk menangkis dan pengerahan tenaga sekuatnya itu tentu akan membuat bocah ini terpental. Demikianlah pikiran dan dia merasa yakin sekali akan kemenangannya.

"Cu-wi yang terhormat, harap suka menjadi saksi. Aku akan mempergunakan satu jurus saja dari ilmu silat sakti San-in-kun-hoat, yaitu jurus Pek-in-tui-san (Awan Putih Mendorong Gunung). Dengan tangan kiri aku akan menyerang ke arah kepalanya, kemudian disusul dengan cengkeraman tangan kananku untuk mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke atas lantai, aku menjadi awan putih dan dia menjadi gunungnya. Nah, harap suka melihat baik-baik!"

Tentu saja ucapan ini mengandung kesombongan besar sekali. Semua orang terkejut. Bagaimana bocah ini berani bersikap sedemikian sombong dan sembrono? Belum diberitahukan saja tentang jurus itu, agaknya tidak mungkin dia akan berhasil merobohkan Kiu-bwee-houw, apalagi setelah jurus itu dia perkenalkan, tentu mudah bagi lawan untuk menghadapinya. Benar-benar seorang bocah tolol yang besar mulut.

Kiu-bwee-houw juga merasa geli. "Ha-ha-ha! Keluarkanlah jurus kentut busukmu!" Dia mengejek.

"Sambutlah gerakan pertama jurus mautku!" Sin Liong mengerahkan tenaga sin-kang tangan kirinya sudah melayang ke arah kepala atau kedua mata lawan. Karena pukulannya ini dilakukan dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat, pula dilakukan cepat sekali, maka terkejutlah Kiu-bwee-houw dan dia tidak berani main-main lagi. Cepat dia menggerakkan tangan kanan dari sebelah luar dan ditangkapnya pergelangan tangan Sin Liong dengan jari-jari tangannya yang panjang dan kuat. Sekali tangkap, lengan anak itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi dan Kiu-bwee-houw sudah mulai tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha... hauhhh...!" Suara ketawa berubah menjadi kekagetan setengah mati ketika dia merasa, betapa hawa sin-kang yang dipergunakan tangan kanannya untuk menangkap pergelangan tangan kiri pemuda remaja itu kini melekat pada pergelangan tangan itu dan hawa sin-kangnya membanjir keluar, disedot oleh pergelangan tangan lawan!

"Thi... Thi-khi-i-beng...!" Keluhnya tergagap, namun sudah terlanjur. Makin dia mengerahkan sin-kang untuk melepaskan tangannya, makin hebat pula tenaga sin-kangnya membanjir keluar, demikian cepat dan kuatnya hawa murni itu keluar dari tubuhnya disedot oleh lawan sehingga sebentar saja mukanya menjadi pucat dan tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga.

"Kini gerakan ke dua dari jurus mautku!" teriak pula Sin Liong dan dengan tangan kanan dia mencengkeram ke arah ikat pinggang lawan, lalu diangkatnya tubuh raksasa itu dan sambil melepaskan daya sedot Thi-khi-i-beng, dibantingnya tubuh itu ke atas papan panggung.

"Brukkk!" Papan panggung jebol dan tubuh kakek raksasa itu amblas ke dalamnya sampai sepinggang! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah diduga oleh semua orang sehingga bantingan itu disusul oleh keheningan yang menegangkan. Semua orang seperti menahan napas menyaksikan peristiwa yang amat aneh ini dan tidak ada seorangpun yang tidak meragukan apa yang mereka lihat.

Akan tetapi ketika mereka melihat Kiu-bwee-houw meronta-ronta dan keluar dari dalam lubang papan sambil terengah-engah, keheningan itu segera pecah oleh sorak-sorai dan tepuk tangan mereka. Pada saat itu, nampak bayangan putih berkelebat dan Kim Lok Cinjin menarik Kiu-bwee-houw dibawanya melayang ke tempat duduknya, setelah diperiksa dan ternyata tidak terluka apa-apa, wakil ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan ini melompat lagi ke tengah panggung menghadapi Sin Liong. Mereka berhadapan dan beberapa saat lamanya Kim Lok Cinjin memandang dengan penuh perhatian, mukanya yang putih itu agak merah dan matanya yang beringas menjadi makin galak. Dia merasa malu dan terhina sekali melihat betapa muridnya telah dipermainkan seorang pemuda setengah kanak-kanak, bukan hanya dipermainkan, bahkan dihina sekali karena dirobohkan dalam satu jurus saja. Dia tidak percaya bahwa bocah ini sedemikian lihainya sehingga mampu merobohkan muridnya dalam satu jurus. Tentu ada apa-apa dalam pertandingan tadi, atau memang muridnya yang tidak hati-hati.

Tadi Sin Liong penuh semangat naik ke atas panggung karena dia melihat betapa keselamatan Kwee Siang Lee, pemuda yang mengaku menjadi anak murid Cin-ling-pai itu, terancam bahaya. Kini, melihat betapa Siang Lee telah pergi tanpa pamit, maka dia kehilangan nafsunya untuk membikin ribut di atas panggung. Dia hanya mewakili suhengnya untuk menonton dan menerima pesan dari suhengnya agar ikut menjaga tertib dan adilnya pemilihan calon bengcu itu tanpa mengajukan diri sebagai calon bengcu. Demikianlah, melihat bahwa tidak ada lagi yang harus dilindunginya, Sin Liong mendapatkan kembali ketenangan dan watak aselinya yang pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang. Dia menjura dan suaranya halus penuh hormat ketika dia berkata, "Harap maafkan saya."

Akan tetapi Kim Lok Cinjin sudah marah sekali. "Bocah sombong, kalau memang engkau mewakili Cin-ling-pai hendak menghina Pek-lian-kauw, hayo maju dan kaulawan pinto!"

Kembali Sin Liong menjura, "Saya tidak tahu apa-apa tentang permusuhan antara Cin-ling-pai dan Pek-lian-kauw, tadi saya hanya membela pemuda itu. Harap locianpwe tidak mendesak dan saya hendak menjadi penonton saja." Setelah berkata demikian, Sin Liong sudah meloncat turun dari atas panggung.

Marahlah Kim Lok Cinjin. Dia adalah wakil ketua Pek-lian-kauw di selatan dan Kiu-bwee-houw adalah muridnya yang pertama, yang amat diandalkan oleh Pek-lian-kauw sebagai tokoh ke tiga, sesudah ketua dan dia sebagai wakil ketua. Mana dia dapat menghabiskan urusan itu begitu saja setelah Pek-lian-kauw mengalami penghinaan hebat dari bocah Cin-ling-pai?

"Bocah hina, hayo kau naik ke sini!" bentaknya dan kakek bermuka putih pucat itu menggerakkan tangannya ke bawah, ke arah Sin Liong yang sudah meloncat turun dari atas panggung.

"Syuuuuttt...!" Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Sin Liong. Itulah pukulan jarak jauh yang hanya mengandalkan angin pukulan saja, namun amat berbahaya melebihi pukulan tangan langsung.

"Hemmm, harap jangan mendesak, locianpwe!" Sin Liong mengibaskan tangannya dan pukulan itu dapat ditangkisnya! Tentu saja wakil ketua Pek-lian-kauw itu terkejut dan makin marah.

Akan tetapi sebelum dia menyerang lagi, nampak ada bayangan dua orang berkelebat naik ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Sin-ciang Gu Kok Ban, dan Tiat-thouw Tong Siok, dua oang pimpinan dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berdua sudah menjura kepada wakil ketua Pek-lian-kauw dan berkatalah Sin-ciang Gu Kok Ban.

"Harap totiang suka bersabar. Totiang sebagai calon bengcu tidak semestinya bertanding sebelum waktu sayembara dimulai, dan tidak semestinya kalau bertanding dengan seorang di antara penonton. Kecuali kalau pemuda remaja itu diangkat menjadi calon pula, maka totiang akan dapat berhadapan dengan dia nanti secara sah."

"Betul! Kami mencalonkan dia menjadi bengcu!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari para wakil peninjau rombongan Kun-lun-pai dan suara ini segera disusul pula oleh para wakil dari golongan-golongan bersih, dari Siauw-lim-pai dan dari beberapa orang kang-ouw yang tadinya hanya datang sebagai penonton saja. Melihat kelihaian bocah, apalagi mendengar bahwa bocah itu murid Cin-ling-pai, mereka ini merasa suka dan setuju kalau Sin Liong menjadi bengcu yang berarti bahwa golongan sesat atau dunia hitam dapat dikendalikan.

Akan tetapi Sin Liong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas. "Saya tidak ingin menjadi bengcu, saya hanya ingin menjadi penonton saja!"

Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata lantang, "Kalau orang tidak mau menjadi calon bengcu, pun tidak dapat dipaksa. Harap totiang suka mundur dulu dan sebaiknya urusan pribadi dapat dikesampingkan dan diselesaikan sendiri setelah urusan pemilihan bengcu selesai. Setelah urusan beres, kalau totiang menghendaki apapun, biar dia bersayap mana bisa meloloskan diri dari totiang."

Kim Lok Cinjin mengangguk dan dia merasa malu untuk mendesak seorang bocah. Dia menoleh ke arah Sin Liong, memandang tajam lalu berkata, "Engkau tunggulah saja!" Lalu dia kembali ke tempat duduk semula.

Pendekar Lembah NagaWhere stories live. Discover now