"Kemudian, sungguh di luar dugaan saya, muncul pula Tio Sun taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah orang yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah dan terjadi perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan dalam pertandingan itu, entah bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apalagi ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan penjaga-penjaga, maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan mengapa Tio-taihiap tewas dalam perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa menjatuhkannya."
"Seorang gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!" Tiba-tiba Souw Kwi Eng berseru. "Jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan melawanmu, padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun kepadanya. Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan."
"Tenanglah, dan biarkan pangcu menjelaskan. Bagaimana selanjutnya, pangcu?" tanya Yap Kun Liong.
Kakek pengemis itu menarik napas panjang. "Sudah puluhan tahun saya malang melintang di dunia kang-ouw, biarpun menjadi pengemis akan tetapi belum pernah melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga belum pernah menghadapi urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya dituduh membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Banyak memang saya membunuh orang, akan tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya merasa penasaran, apalagi setelah tempat kami diserbu oleh sepasang suami isteri yang kini menjadi pengantin, oleh janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang lihai ini. Mulailah saya melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua rahasia itu."
"Apa yang sesungguhnya terjadi?" Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik.
"Semua adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi dalam gedung Lee-ciangkun, bahkan dia menjadi kekasih gelapnya. Celakanya, selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa kepada kaisar dan dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya peroleh dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan menyogok pelayan-pelayan dan perajurit-perajurit pengawal, saya memperoleh keterangan yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan wanita iblis itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap dan memang hal itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang ingin membunuh Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar kelihatannya saya yang menjadi pembunuhnya."
"Tidak masuk akal," Souw Kwi Eng membantah. "Suamiku tidak pernah mengenal wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?"
"Harap nyonya muda berlaku tenang dan sabar," pengemis tua itu berkata, "tadinya sayapun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya selidiki, saya teringat pula bahwa wanita itu ke manapun dia pergi selalu membawa salib kayu yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga, keluarga Cia, Yap dan Tio. Dan diapun pernah mengaku bahwa ketika dia membunuh anggauta kami she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukan Hwa-i Kai-pang, melainkan she Tio itulah. Jadi anggauta kamipun dibunuh karena she Tio. Jelas bahwa itulah sebab pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal ini dibantu oleh Lee-ciangkun yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap bersamaan waktunya dengan kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong Liu-nio."
"Ah, keteranganmu memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!" Bun Houw berkata sambil mengepal tinjunya. "Kiranya nenek tua bangka itu memasukan nama Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu dimaksudkan adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena memang tiga she itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga! Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka tentu saja dia sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan dia telah dibantu oleh Lee-ciangkun untuk melaksanakan hal itu, bahkan lalu melemparkan kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk mengadu domba!"
Semua orang mengangguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak. "Aku harus membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan tetapi juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe..."
"Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan gurunya!" kata Bun Houw marah.
"Dan pembesar Lee yang curang dan pengecut itupun harus diberi hukuman yang setimpal!" kata pula Lie Seng.
"Pembesar Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar maka akan sukarlah untuk mengganggunya," kata Hwa-i Sin-kai. "Kalau kita menyerang gedungnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal..."
"Ah, adik dari Panglima Lee Cin?" Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan Lembah Naga belasan tahun yang lalu itu.
"Lebih baik lagi kalau begitu," Yap Kun Liong berkata, "biar kutemui Panglima Lee Cin yang kita mengenalnya sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur, dan kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong Liu-nio keluar."
"Akan tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku sendiri pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi iblis macam Kim Hong Liu-nio dan gurunya." kata Bun Houw dan Yap Kun Liong mengangguk menyetujui karena diapun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak sekali orang, bahkan terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dan suara bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan dan kekhawatiran.
"Ada pasukan pemerintah datang untuk menangkap kita!" kata Cia Giok Keng kepada suaminya.
"Ah, apa sebabnya?"
"Entah, akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita berdua, Bun How, dan In Hong!" jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat.
"Kita serbu saja dan usir mereka!" kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar.
Tiba-tiba terdengar suara lantang di luar, "Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!"
Yap Kun Liong mengerahkan khi-kangnya dan berseru dari dalam ruangan itu. "Apakah dosa kami hendak ditangkap?"
Suaranya mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan pesta.
Suasana menjadi sunyi sekali setelah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua tamu yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan penuh perhatian, semua mata memandang keluar dan hampir semua pandang mata membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu. Kemudian terdengar suara nyaring menjawab, sungguhpun getaran dan gemanya tidak sekuat suara Yap Kun Liong tadi, namun suara inipun cukup nyaring melengking didorong oleh tenaga khi-kang yang kuat.
"Kami membawa perintah Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh bersekutu dengan para pemberotak Hwa-i Kai-pang dan Pek-lian-kauw. Oleh karena itu menyerahlah kalian bereimpat dengan baik-baik sebelum kami serbu!"
"Keparat!" Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar. Kakek ini marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang dituduh sebagai pemberontak, disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup, akan tetapi mereka tidak pernah memberontak. Kini, mendengar ada pasukan hendak menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu dengan Hwa-i Kai-pang yang dicap pemberontak, tahulah dia bahwa tentu perkumpulannya di kota raja telah diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Dan diapun dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio dan Lee-ciangkun. Maka kemarahannya meluap dan dia sudah berlari keluar dan mengamuk, merobohkan beberapa orang perajurit dengan tongkatnya yang digerakkan secara lihai bukan main.
Gegerlah para perajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian tambal-tambalan itu adatah ketua Hwa-i Kai-pang dan dia adalah seorang tokoh yang terkenal memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Maka ketika kakek ini mengamuk, dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang lebih kena disambar tongkatnya yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu. Akan tetapi, komandan pasukan memberi aba-aba dan kakek inipun dikeroyok oleh banyak sekali perajurit. Juga sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki kepandaian silat lumayan sudah bergerak pula ikut mengepung. Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk. Makin banyak lagi perajurit roboh oleh amukan tongkatnya, akan tetapi kini para perajurit mempergunakan senjata panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai melepaskan anak panah. Dihujani serangan tombak dan anak panah, walaupun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat menangkis runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itupun berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap menembus kulit dagingnya. Kalau dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk melarikan diri mempergunakan gin-kangnya. Akan tetapi agaknya dia sudah terlampau marah. Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam kepada Kim Hong Liu-nio karena perbuatan wanita itu dan Lee Siang telah menempatkan dia dalam kedudukan tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia dan Yap, bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan dia sendiri selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga pendekar itu. Sekarang, setelah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio dan Lee Siang, setelah dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar itu, tiba-tiba muncul pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan menuduh Hwa-i Kai-pang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini tidak ingin untuk lari menyelamatkan diri, melainkan mendorongnya untuk mengamuk dan membasmi pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu.
Akhirnya kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan lebih dari empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan tetapi untuk itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya! Para tamu tidak ada yang berani ikut mencampuri, apalagi mendengar bahwa pasukan itu datang untuk menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Hwa-i Sin-kai yang dianggap pemberontak oleh permerintah! Urusan pemberontakan bukan urusan kecil dan mereka tidak berani tersangkut.
Setelah Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan kembali berteriak dengan nyaring, "Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah, terpaksa kami akan menyerbu!"
Yap Kun Liong dan keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, bahkan dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun berwibawa, "Siapakah yang memimpin pasukan ini?"
"Saya Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini."
"Harap Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!" kata pula Yap Kun Liong.
Seorang pemuda maju dan mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, kemudian komandan yang bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung, kain bertuliskan perintah penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kaisar. Setelah melihat semua itu, Yap Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar mengutus pasukan itu untuk menangkap dia berempat.
"Baiklah, kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja untuk minta keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan mengganggu pernikahan anakku," kata Yap Kun Liong dengan suara lantang.
"Kami setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat, bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!" jawab Ma-ciangkun.
"Ayah...!" Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan ayahnya. "Mengapa begitu? Apa sukarnya melawan pasukan ini?" isaknya.
"Sttt, jangan, anakku. Lanjutkan pernikahan ini, jangan membikin rusak pesta pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian."
Sambil menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka dinaikkan ke atas kereta kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu.
Yap Mei Lan menangis terisak-isak dan Souw Kwi Beng juga memandang isterinya dengan muka pucat. Lie Seng mendekati sucinya, menghibur dan berbisik. "Harap suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan menjaga dan menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci, yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan taruhan nyawaku."
Yap Mei Lan menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan dan juga adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya, "Sute, terima kasih dan hati-hatilah."
Lie Seng mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihunya (kakak ipar) yang juga memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang. Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu saja suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan gelisah sekali, terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap dengan tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak. Karena suasananya sudah tidak menyenangkan dan menegangkan, maka akhirnya para tamu minta diri dan pesta itu bubar sebelum waktunya. Pengantin pria lalu membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota tempat tinggal Souw Kwi Beng, di pantai Lautan Po-hai di timur. Di sepanjang perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak ingat bahwa dia adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan suami melakukan perjalanan, tentu dia sudah menyusul ayahnya yang tertawan. Kwi Beng berusaha menghiburnya dan orang muda ini memang sudah menyuruh beberapa orang untuk memata-matai keadaan empat orang yang tertawan itu, sekalian membantu Lie Seng dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau para tawanan sudah tiba di kota raja.
Sebetulnya, apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan untuk menangkap empat orang itu? Untuk mengetahui rahasia ini sebaiknya kita mengikuti perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu.
Telah diceritakan di bagian depan bahwa biarpun sejak muda Kim Hong Liu-nio dididik oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita yang berhati dingin dan kejam, namun betapapun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari nafsu-nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya.
Maka ketika dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan sudah berpengalaman, pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun. Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi dia belum dapat menyerahkan dirinya karena ancaman subonya, Hek-hiat Mo-li bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya membasmi musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat Mo-li dan ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri. Mendengar sumpah itu, Panglima Lee Siang lalu membantunya untuk membasmi musuh-musuh itu dan seperti telah kita ketahui, musuh pertama yang menjadi korban adalah Tio Sun! Makin mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio kepada Panglima Lee Siang dan boleh dibilang hampir setiap hari dan setiap malam dia berpacaran dengan panglima itu, walaupun dia masih belum berani menyerahkan diri karena masih banyak musuh yang belum dibasmi, yaitu Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng!
Lee Siang atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun dan sekali ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang cantik jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannnya ketika mereka saling berpelukan dan berciuman. Oleh karena itu, mana mungkin dia mampu menanti sampai semua musuh wanita itu habis? Akan berapa lamakah sampi wanita itu selesai membunuh musuh-musuhnya yang terdiri pendekar-pendekar sakti yang ilmunya amat tinggi itu?
Maka, Lee Siang tidak dapat tahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-rayuan yang membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang dapat meruntuhkan pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin itu. Dengan berahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak kunjung padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing. Dan setelah keesokan harinya sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca di atas jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan, tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi lalat di dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya lagi karena tahi lalat buatan dari subonya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat seperti yang dikatakan oleh subonya bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap!
Lee Siang masih tidur dengan senyum di bibir. Dia merasa puas, dan gembira sekali. Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri kepadanya dan tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang penuh gairah, hangat dan luar biasa.
Tiba-tiba Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan ketika dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di depan pembaringan, tubuhnya hanya dibalut selimut dan wanita itu menodongkan sebatang pedang yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang terasa nyeri oleh runcingnya pedang!
"Hong-moi! Apa... apa artinya ini...?" tanyanya dengan mata terbelalak, memandang wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut, namun bahkan menonjolkan kecantikannya.
"Bersiaplah untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Kita berdua harus mati sekarang, dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri daripada mati di tangan orang lain!"
Bukan main kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk melawan dan mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini. "Akan tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta padamu, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, kenapa... kenapa kau hendak membunuhku, sayang? Lupakah engkau akan cinta kasih kita semalam...?"
Wanita itu mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya.
"Aku tahu... dan engkaupun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan tetapi justeru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati bersama agar kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka."
"Tapi... tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?" Lee Siang berteriak ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit sehingga mengeluarkan darah.
"KAULIHAT daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?"
Lee Siang memandang dan memang benar. Tahi lalat yang berada di dagu wanita itu, yang menambah kamanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini telah lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu tentang sumpahnya kepada subonya, dan tentang tanda perawan yang dibuat subonya, yaitu tahi lalat itu yang kini lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam!
Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu menyerahkan diri. "Hong-moi, kasihku, sayangku, kaudengarkan aku. Aku mempunyai akal untuk menghadapi subomu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak membunuhku, nah, tusuklah ini... aku terlalu cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau menderita, sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku, aku... aku minta... sukalah engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa mati..."
Lee Siang membuka selimut yang menutupi tubuhnya membiarkan tubuhnya yang telanjang itu terbuka sama sekali dan dia mengembangkan kedua lengan dengan sikap merayu.
"Ahhh...!" Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya terlepas dan dia menubruk, merangkul dan menciumi pria yang dicintanya itu, satu-satunya pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. "Ah, Lee-ko... Lee-ko... bagaimana aku dapat membunuhmu...?"
Lee Siang balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas dari cengkeraman maut. "Adindaku yang terkasih, dengarlah. Bukankah engkau sudah menceritakan bahwa subomu itu sudah tua renta dan sudah pikun? Biarpun ilmu kepandaiannya setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang awas seperti yang kaukatakan, apa sukarnya untuk mengelabuhi pandang matanya? Buat saja tahi lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik kecil di dagumu yang manis? Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apalagi kalau engkau jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan, mengapa kita harus mengambil jalan pendek? Bukankah kita berdua berhak menikmati hidup, berhak menikmati cinta kasih kita?" Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh hatinya dan nafsu berahinya sudah berkobar lagi.
Melihat ini, Kim Hong Liu-nio memeluknya, "Ah engkau cerdik, koko, dan aku... aku yang bodoh... ah, dadamu sampai terluka, berdarah..." Dia lalu mengecup darah di dada itu, menjilati luka kecil di dada kekasihnya. Mereka berpelukan dan tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam.
Setelah terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi penuh semangat kembali. Setiap saat dia menuntut pernyataan kasih sayang dari Lee Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga dan akhirnya tibalah saatnya Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara. Wanita itu harus pergi ke utara berkunjung kepada subonya dan suhengnya yang mengadakan sayembara pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Ketika hendak berangkat, Kim Hong Liu-nio kembali menyatakan kekhawatirannya tentang tahi talat yang hilang itu.
Akan tetapi Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai pengganti lahi lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu mencium dagu yang manis itu. "Ah, tidak ada bedanya seujung rambutpun, Hong-moi. Jangan khawatir, apalagi subomu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku sendiri tidak dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Berangkatlah, sayang, dan ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh rindu."
Kim Hong Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang ketika dia berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang, kehidupan ini sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan kelembutan, bahkan selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya orang-orang she Tio, Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup selama-lamanya di dalam kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia kiamat!
Dan memang benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorangpun yang tahu akan kepalsuan tahi lalat di dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu bertemu dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan nenek ini berkata, "Bagus, tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama ini baru Tio Sun saja yang berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong. Bilakah aku akan dapat mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng?"
"Harap subo suka bersabar, teecu tidak pernah berhenti berusaha," kata Kim Hong Liu-nio dan saat itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari musuh-musuh itu, dan diapun tidak perduli lagi! Dia bahkan mulai merasa jemu dengan perintah subonya. Setelah memberi hormat kepada subonya dengan berlutut dan memberi hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan berjalan perlahan untuk duduk di sudut. Dia tidak tahu betapa Raja Sabutai memandangnya penuh perhatian, terutama memandang ke arah pinggulnya yang menonjol dan bergoyang-goyang ketika dia melangkah tadi.
Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu Raja Sabutai menemui Hek-hiat Mo-li dan bicara empat mata dengan guru itu, pembicaraan yang membuat Hek-hiat Mo-li marah bukan main.
Kiranya, pandang mata Raja Sabutai yang tajam, yang sudah banyak pengalaman memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, sudah dapat menduga bahwa sumoinya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li memanggilnya dengan wajah bengis.
"Kim Hong, lekas kaucuci titik hitam di dagumu itu!" bentak sang guru.
Seketika wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi dia mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran.
"Apa maksud subo? Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?"
"Hemm, masih hendak mengelabuhi gurumu, ya? Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?"
Maklumlah kini Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah dengan cara bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu dan bahwa dia bukan perawan lagi, bahkan dia telah melanggar sumpahnya. Maka dia hanya berlutut, dan menangis!
"Keparat, berani engkau mengelabui gurumu sendiri? Hayo ceritakan, mengapa engkau melanggar sumpahmu?"
Dengan terisak-isak Kim Hong Liu-nio mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta dengan Panglima Lee Siang. "Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu dikeroyok oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kai-pang, dan teecu bersama dia saling mencinta subo, dan... dan... teecu telah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula yang membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan..."
"Perempuan hina!" Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio bahwa dia akan mati di tangan subonya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan bayangan Lee Siang di depan matanya.
Hek-hiat Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya sambil berkata, "Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!"
"Subo, tahan dulu!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai yang memasuki ruangan itu.
Nenek itu menoleh dan memandang Sabutal dengan wajah makin berkerut menyeramkan. "Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!"
Raja Sabutai tersenyum. "Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak dapat menahan gelora nafsunya? Memang dia telah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih ada kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan untuk dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil, biarlah dosanya diampuni dan biar dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh diapun belum terlambat."
Hek-hiat Mo-li mengomel. "Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah ini bukan perawan lagi, tentu aku kena dikelabuhi, maka biarlah aku setuju usulmu, sri baginda. Nah, kaudengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau tangkap empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru aku akan mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!"
Kim Hong Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit untuk melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika di Lembah Naga diadakan pemilihan guru silat, dia tidak hadir, dan itu pula sebabnya mengapa Hek-hiat Mo-li marah-marah ketika Sabutai mengadakan pemilihan guru silat untuk pangeran. Kemarahannya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat dia menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu.
Ketika Kim Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya itu, dia menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subonya dan suhengnya itu memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap empat orang pendekar itu.
"Ah, betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu? Lee-koko, lebih baik kau membunuh aku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu, daripada di tangan subo atau suheng!" wanita itu menangis dalam rangkulan Lee Siang. Tentu saja hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga mencinta wanita ini dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya.
"Jangan khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk menangkap empat orang itu," katanya.
Panglima muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia memperoleh akal yang sangat nekat dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat perintah penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu pula, kemudian dia mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang pembantunya dengan hadiah besar untuk pergi membawa pasukan dan menggunakan perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng. Perwira yang menjadi pembantunya itu adalah perwira Ma Kit Su dan seperti telah diketahui, Ma-ciangkun ini berhasil dalam tugasnya, selain membunuh Hwa-i Sin-kai dengan keroyokan, juga berhasil menangkap empat orang pendekar itu yang menyerahkan diri karena selain tidak ingin memberontak terhadap perintah kaisar, juga tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng.
Memang, kalau orang sudah tergila-gila apapun sanggup dilakukannya. Baik dia itu seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu. Demikian pula dengan halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tidak pernah bermimpi bahwa dia pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekat. Kalau bukan untuk Kim Hong Liu-nio, sampai matipun kiranya dia tidak akan berani main-main seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya, apalagi berani mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri pendekar seperti Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka.
Dia tahu bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas. Apalagi peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi. Dunia kang-ouw akan menjadi geger karenanya dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang. Namun, kalau orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia kiamatpun takkan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan wanita yang dicintanya, biar apapun terjadi, dia tidak takut bahkan matipun bukan apa-apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya itu.
Dan memang peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu yang hadir dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat kediaman masing-masing, segera menyebarluaskan berita tentang penangkapan itu dan seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar. Kalau yang ditangkap itu seorang atau beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan kekacauan dan kejahatan, hal itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada yang merasa heran. Akan tetapi apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh sebaliknya, kaisar menangkap keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw! Betapa aneh dan janggalnya berita ini. Banyak di antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali dan mereka sudah mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi peristiwa aneh itu, dan tentu saja banyak para tokoh liok-lim dan kaum sesat yang bersorak gembira karena pembasmian setiap orang pendekar penegak keadilan dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi mereka.
***
Akan tetapi ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai menyusun siasat. Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa para pendekar yang terkenal setia kepada pemerintah itu menyerah karena melihat "surat perintah" kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang amat kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan memperkuat pengawalan itu. Dia maklum bahwa penawanan empat orang pendekar itu tentu menimbulkan kegemparan dan untuk menjaga agar tawanan itu jangan sampai terlepas atau dibebaskan orang, maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia mengumpulkan jagoan-jagoan di kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk membantu dalam pengawalan itu.
Inilah sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan. Apalagi ketika pada suatu malam rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak menggunakan kekerasan untuk membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan hebat, lalu mendengar teriakan pendekar Yap Kun Liong sendiri yang minta kepada kawan-kawan di dunia kang-ouw agar jangan melawan pemerintah. karena dia yakin akan diadakan pengadilan yang adil di kota raja, maka tidak ada lagi kaum kang-ouw yang berani menggunakan kekerasan untuk mencoba membebaskan empat orang itu.
Pada suatu senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini memasuki kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja dan rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi sahabat baik dari Lee Siang.
Kereta kerangkeng itu dimasukkan dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh selosin perajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu dirantai, sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya masih dijaga oleh selosin perajurit pilihan!
"Hemm, kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas, ingin aku mematahkan semua ini dan mengamuk!" Cia Giok Keng berkata, muncul kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.
"Tenanglah, kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan pengadilan, aku yakin kita akan dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat daripada bebas menggunakan kekerasan."
"Aku heran sekali, mengapa kita berempat disuruh tangkap oleh kaisar?" Bun Houw berkata.
"Ini tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk lolos dan mengamuk. Biarpun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan sewenang-wenang, haruslah ditentang!" kata Yap In Hong.
"Hong-moi, simpan kembali kemarahanmu itu," kata Kun Liong kepada adiknya. "Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andaikata difitnah sekalipun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu orang. Kalau kita menggunakan kekerasan, hal itu bahkan memperkuat bukti bahwa kita memang suka memberontak. Sabarlah, mungkin dalam dua hari lagi kita sampai di kota raja dan akan menerima keputusan. Kalau kemudian ternyata bahwa kaisar bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum terlambat bagi kita untuk memberontak."
Mereka berempat lalu duduk diam, melakukan samadhi seperti biasa sehingga mereka tidak merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara yang mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat para penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling tindih. Mereka saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong mengeluarkan suara lirih, "sssttt...!" karena dia mendengar sesuatu yang juga sudah didengar oleh tiga orang lainnya. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan merah dan dengan gerakan yang ringan sekali melayanglah sesosok tubuh wanita yang berpakaian serba merah, turun di luar ruangan itu.
Seorang wanita muda yang cantik manis, pakaiannya serba merah, pedangnya tergantung di punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah bersih, wajahnya yang cantik itu dihias rapi. Seorang wanita muda cantik manis yang pesolek, dan senyum bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan yang panas!
Selagi Kun Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak mereka kenal itu, tiba-tiba Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah ketika mereka melihat wanita itu.
"Mau apa kau ke sini?" Bun Houw membentak.
"Pergilah kau!" In Hong juga membentak. Suara kedua orang suami isteri ini jelas membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun Liong dan isterinya merasa makin heran lagi.
Tiba-tiba wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil menangis. "Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teecu? Suhu dan subo kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo."
"Tidak. Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!" bentak In Hong.
"Kalau suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biarlah teecu membujuk Ciong-taijin, pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik padanya dan teecu pasti dapat mempengaruhinya..."
"Sudahlah, kami bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!" kata Bun Houw.
"Suhu, demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu..." gadis itu memohon.
"Diam! Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!" In Hong berseru marah sekali, mengepal tinjunya dan Kun Liong khawatir kalau-kalau adiknya itu akan mematahkan rantai dan membobolkan kerangkeng.
"Pergilah, kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu," kata Bun Houw.
"Suhu... subo..." wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata merah dan bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian meloncat dan berkelebat pergi dengan cepat sekali.
Bun Houw dan In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa lega bahwa gadis itu telah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat, gerakannya lebih cepat daripada gadis tadi dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di luar ruangan itu.
"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya.
"Ooh, ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan? Hatiku khawatir sekali melihat wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua penjaga pingsan. Tadinya kusangka dia berniat jahat atau mungkin juga hendak menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia? Kulihat dia pergi lagi sambil menangis."
"Tidak ada apa-apa, jangan khawatirkan kami." kata Bun Houw kepada Lie Seng, agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu.
Yap Kun Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin datang penjaga baru dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata, "Seng-ji, kautinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan lakukan itu terus, akan tetapi hati-hati jangan sampai ketahuan oleh fihak pengawal dan jangan melakukan apa-apa sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak menghendaki kekerasan."
"Benar kata ayahmu, Seng-ji. Kaupergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami berempat sanggup menjaga diri." kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya girang dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka.
"Jangan khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka suguhnya. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini." Setelah meninggalkan pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak cepat karena para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak dan menguap seperti orang baru bangun tidur.
"Bun Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?" Cia Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya tentang gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar oleh adiknya itu.
"Akupun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya, Hong-moi?" kata Yap Kun Liong kepada adiknya. "Siapakah dia?"
Bun Houw dan In Hong saling pandang dan di dalam pandang mata ini terjalin saling pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya, "Sesungguhnya, kami berdua tadinya hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, akan tetapi siapa sangka malam ini dia muncul, dan tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan rahasia ini setelah diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baiklah, akan kuceritakan semua tentang dia." Pendekar ini lalu bercerita, dengan suara bisik-bisik agar jangan terdengar oleh para penjaga yang mulai sadar, dan hanya terdengar oleh mereka berempat saja. Beginilah ceritanya.
***
Seperti telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan Yap In Hong terpaksa meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka siap meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk mengambil seorang anak perempuen bernama Sun Eng.
Di dalam cerita Dewi Maut diceritakan bahwa Bun Houw pernah dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar keluarganya, bersahabat dengan seorang bekas penjahat yang telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama Sun Bian Ek, kepala Hok-pokoan di Kiang-shi. Sun Bian Ek ini sengaja mengganti nama karena dia menjadi orang buruan, berganti nama Liok Sun dan berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun Bian Ek ini suka kepada Bun Houw dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuhnya sampai Kiam-mo Liok Sun akhirnya tewas di tangan musuh Bun Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini meninggalkan pesan kepada Bun Houw agar suka memelihara dan mendidik puteri satu-satunya yang berada di Kiang-shi dan bernama Sun Eng.
Demikianlah, setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw tidak melupakan janjinya dan bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi dan menemui anak perempuan yang pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik manis.
Kemudian, setelah merantau sampai jauh dan memilih-milih tempat, akhirnya Bun Houw dan In Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang sebuah kota yang cukup ramai tak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja menjauhkan diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka seolah-olah mengubur diri jauh di timur.
Sun Eng menjadi murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih amat muda, mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri dan mereka berdua secara bergantian mendidik dan memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis itu. Sun Eng semenjak kecil memiliki watak yang periang dan lincah jenaka, sehingga keriangan anak itu merupakan sinar yang menerangi kehidupan sepasang kekasih yang merasa prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali mereka terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan sedemikian rupa sehingga Sun Eng menjadi manja sekali.
Makin besar, Sun Eng makin menjadi cantik dan pesolek, akan tetapi dalam kelincahannya terdapat sifat-sifat genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan Bun Houw. Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka membiarkan saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga.
Setelah lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling matanya amat tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya telah mencapai tingkat tinggi karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan oleh suhu dan subonya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Setelah berusia tujuh belas tahun, mulai nampak gejala-gejala tidak baik yang mulai terasa oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai kecondongan hati kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya kalau sedang dilatihnya silat semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini berdaya upaya memikatnya dengan berbagai cara. Bahkan kalau sedang berlatih silat di depannya, Sun Eng sengaja menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang menggairahkan, seperti bagian dadanya dan pinggulnya, sedemikian rupa untuk menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan menghibur hatinya sendiri dan memaki-maki diri sendiri sebagai mata keranjang dan tak tahu malu, menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti adik sendiri itu sedemikian rupa!
Setelah dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subonya ini tidak ada hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subonya yang mengaku suami isteri ini tidur sekamar, apalagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan subonya tidak pernah menjenguk keluarga sehingga akhirnya subonya menceritakan kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang dipercaya, tentang perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw.
"Kami sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya sebelum mendapat restu orang tua," subonya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban pertanyaan mengapa suhu dan subonya belum juga mempunyai keturunan! Maka tahulah Sun Eng bahwa suhunya masih perjaka dan subonya masih perawan. Dia makin tertarik dan merasa kasihan kepada suhunya. Memang dia amat kagum dan cinta kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi makin berani kepada gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari padanya. Watak Sun Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar cerita-cerita cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak memperdulikan susila sehingga dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan cinta berahi.
Pada suatu malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti biasanya, Sun Eng yang sudah tidak dapat menahan gelora hatinya yang dihantui oleh bayangan pikirannya sendiri tentang adegan-adegan mesra seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar gurunya itu.
"Seorang pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak pernah tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar sekali, seperti air terbendung dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh, seperti air bah yang menjebol bendungannya!" kata seorang di antara wanita tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa penuh arti ketika Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, "Sayang, dia begitu tampan dan gagah, sayang seorang pria seperti dia tersia-sia."
Malam itu Sun Eng gelisah di pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang di telinganya dan dia membayangkan, betapa akan mesranya kalau gurunya memeluk, menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama tergila-gila kepada gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang amat hebat itu.
Betapa kaget rasa hati Bun Houw ketika dia merasakan sesuatu yang lembut menindihnya, dua lengan yang mulus merangkulnya dan wajah yang terengah-engah menempel di wajahnya, sebuah mulut yang lembut menciuminya! Syaraf-syarafnya yang terlatih segera menanggapi dan hampir saja dia menggerakkan tangan menyerang, akan tetapi dia segera melihat bahwa wajah yang terengah-engah itu, yang kemerahan dan penuh dicengkeram nafsu berahi, adalah wajah cantik manis dari Sun Eng! Kekagetan berganti keheranan luar biasa.
"Suhu... ah, suhu... aku cinta padamu..." Bisikan di antara napas terengah-engah ini, ciuman pada pipinya, bibirnya, membuat Bun Houw yang tadinya terheran-heran menjadi marah bukan main. Dia sudah menggerakkan tangan, akan tetapi kesadarannya masih membuat dia dapat merubah pukulan itu menjadi dorongan sehingga tubuh dara itu terlempar dari atas tubuhnya, bahkan terus terbanting ke bawah pembaringan. Bun Houw sudah bangkit duduk.
Akan tetapi, Sun Eng tidak menjadi takut, bahkan kini dara itu cepat membuka pakaiannya, memperlihatkan dadanya yang muda dan mempesonakan. "Suhu... suhu... lihatlah aku cinta padamu, suhu... aku hendak mempersembahkan tubuh ini kepadamu..." Dan dara itu lalu merangkul lagi, mendekap kepala gurunya yang masih muda itu ke dadanya, kemudian mengangkat muka itu, menciumnya penuh nafsu berahi. Bun Houw memejamkan matanya dan seperti orang kehilangan dirinya sendiri, dia tenggelam dan terseret, kedua lengannya memeluk pinggang ramping itu, jari-jari tangannya bertemu dengan bukit-bukit pinggul dan diapun balas mencium bibir yang menantang itu.
Akan tetapi, tiba-tiba seperti sinar terang yang berkilat menerangi kegelapan, kewaspadaannya membuat Bun Houw melihat betapa gilanya dia menyambut bujukan iblis yang berupa pikirannya sendiri yang ingin mereguk kepuasan dengan melayani muridnya itu, biarpun peristiwa yang amat kotor. Tiba-tiba dia mendorong tubuh Sun Eng, sedemikian kuatnya sehingga tubuh dara itu terlempar menabrak pintu kamarnya!
Bun Houw sudah bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat, dan pada saat itu terdengar suara In Hong dari luar, "Houwko, ada apakah?"
Secepat kilat Sun Eng sudah membereskan bajunya dan meloncat keluar dari jendela. Ketika In Hong memasuki kamar, dia cepat berkata dari luar jendela itu, "Subo, teecu tadi seperti mendengar suara mencurigakan, teecu mengira maling maka teecu hendak memberitahukan suhu, celakanya, dalam kagetnya suhu malah mengira teecu malingnya!"
Cia Bun Houw menekan perasaannya yang tidak karuan, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan dia tahu bahwa kalau dia banyak bicara dalam saat itu, tentu In Hong akan menjadi curiga. "Ah, aku hanya melihat bayangan di luar jendela, maka aku segera menyerang. Untung Eng-ji dapat mengelak," katanya.
"Sun Eng, hati-hatilah kau kalau mendekati kamar gurumu. Engkau tentu tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya dan sudah mendarah daging ilmu silat dalam dirinya, syaraf-syarafnya selalu siap untuk menjaga diri dan dalam keadaan terkejut terbangun dari tidurnya dapat menyerang dengan tiba-tiba."
"Maaf, subo... teecu khawatir mendengar bunyi itu, mungkin saja hanya kucing..."
"Hemm, betapapun, harus kuselidiki sendiri," kata In Hong yang cepat melayang naik ke atas genteng dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain dia lalu turun kembali dan memasuki kamarnya. Sedikitpun dia tidak menaruh curiga atas terjadinya peritiwa itu. Akan tetapi tentu saja Bun Houw tak dapat tidur memikirkan keanehan dari muridnya itu. Dia melihat bahaya yang amat besar mengancam dirinya dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Akan tetapi, melihat betapa suhunya tidak membuka rahasianya terhadap subonya, hal ini diterima salah oleh Sun Eng yang mengira bahwa suhunya "melindungi" dan bahwa diam-diam suhunya itu menanggapi pencurahan cintanya, maka dia bukannya mundur malah sikapnya menjadi makin mendesak. Sikapnya bukan hanya makin berani, bahkan di depan subonya, dia tidak dapat menyembunyikan kerling matanya yang penuh daya pikat dan penuh kasih mesra terhadap suhunya. Tentu saja Bun Houw merasakan ini dan dia menjadi semakin gelisah dan tidak enak, apalagi setelah dia mengerti bahwa isterinya mulai memandang kepadanya dengan sinar mata aneh penuh kecurigaan yang makin lama menjadi kecurigaan yang mengandung cemburu!
Cemburu adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh dan amat kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang mengira, bahkan berpendapat bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tidak terpisahkan dari cinta! Benarkah perkiraan atau pendapat demikian itu? Kalau kita tanggapi dengan perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi pertentangan pendapat yang ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya, pula tidak ada gunanya. Sebaliknya kalau kita masing-masing menghadapi perasaan cemburu itu sendiri apabila ia timbul, mengamatinya dengan penuh kewaspadaan sehingga kita dapat menyelidikinya, mempelajarinya dan mengerti dengan sepenuhnya akan susunan cemburu, bagaimana munculnya, apa sebabnya dan apa pula akibatnya. Karena hanya pengertian yang mendalam, yang timbul dari pengamatan waspada ini sajalah yang akan menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun cemburu. Dengan memandang kepada diri sendiri, kita bersama dapat melakukan penyelidikan apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya menjadi semacam pengetahuan teoritis yang hampa. Pengetahuan seperti itu tidak akan melenyapkan cemburu.
Kita semua, tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah akibat dari perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa sengsara, nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang menjadi marah dan dicengkeram kebencian sehingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan. Oleh karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat dari cemburu, dan tentu saja sebaiknya kalau kita tidak pernah lagi disentuh oleh racun cemburu ini.
Dari manakah timbulnya cemburu? Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab dari cinta! Cemburu mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu amatlah tidak tepat kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih! Bukanlah cinta kasih kalau mendatangkan kedukaan dan kebencuan! Cemburu muncul KARENA KITA TAKUT KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN KESENANGAN KEPADA KITA! Cemburu baru timbul kalau kita merasa adanya bahaya bahwa sesuatu yang kita anggap milik kita yang kita pergi, baik itu merupakan benda, sahabat atau pacar atau suami atau isteri, akan terpisah dari kita dan menjadi milik orang lain. Jadi cemburu datang karena kita ingin mempertahankan sesuatu atau sesuatu yang mendatangkan kesenangan kepada kita itu dan yang ingin kita monopoli atau miliki sendiri saja itu. Cemburu adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU diganggu, karena milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau khawatir milikKU diambil orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang ingin senang sendiri, dan barang atau orang yang kita "cinta" itu menjadi sumber atau alat dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber atau alat itu diambil orang lain, kita menjadi sedih, marah atau cemburu namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Lembah Naga
General FictionLanjutan "Dewi Maut". Tokoh utama : Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar Walet Merah). Sin Liong yang secara tak sengaja be...