My Life [2]: How it Ends

1.6K 182 61
  • Dedicated kay SitusFanFicplagiator
                                    

Picture on the right-----> Julian Garryson

***

Jay's POV

Waktu itu aku berumur tiga belas tahun. Aku ingat pada suatu siang seorang guru berwajah oval dengan rambut dipotong cepak memintaku pergi ke ruang kepala sekolah. Aku bertanya-tanya apakah aku diikutkan dalam suatu olimpiade -aku harap begitu-

Julian, sebagai ketua tim Basket sekolah, memenangkan pertandingan melawan Hills Village, sekolah buyutnya buyut buyutmu. Dia memang mengagumkan dalam bidang olahraga apapun. Kau tidak bisa membayangkan setenar apa ia sekarang. Aku sudah mulai menghitung mundur berapa lama lagi sampa ia  mendepakku, tapi dia tidak melakukannya. Ia tetap berdiri di depan kelasku dan menyeringai konyol ketika kami bertatapan.

 Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kalau kau mengira kami pasangan Gay, kau bukan yang pertama. Tapi Julian naksir Liesl. Begini melafalkannya: Li-se-l. Ia gadis Amerika-Jerman yang berani menumpahkan soda ke wajah Julian ketika Julian mengatakan bahwa ia 'terangsang' melihatnya. Aku tahu dia terkejut setengah mati mendapati es batu nyasar di rambutnya. Tapi yang tidak kuduga adalah, siangnya Julian menghampiri lokerku dan berkata, 'Dude, Liesl benar-benar...menggairahkan.'

Omong-omong kini aku berada di ruang Kepala Sekolah, menatap Mr. Clark bingung dan ternganga melihat Mr. Harper berada di ruangan itu. Mom selalu mengatakan bahwa Dad mirip dengan Mr.Harper. Tapi Mr.Harper itu berbulu. Kasarnya, seperti Babun. Seperti Grumpy si Babun. Sementara Dad bersih dan benci bulu. Aku tidak paham apa yang mirip dari mereka berdua. Mungkin matanya. Matanya hijau kebiruan, seperti--

"Aku akan langsung saja, Jay."

"Sebaiknya anda pelan-pelan, sir. Dia hanya anak-anak."Mr. Clark menyela. Ia menatapku prihatin.

"Tidak. Itu cengeng dan buang-buang waktu. Dia anak yang kuat. Bukan begitu, Jay?"

Yeah. Kalau maksudnya kuat seperti aku bisa membuka tutup saus tomat, kupikir aku patut mendaftarkan diri ke tempat karate -seperti Julian- secepatnya.

Mr.Harper menggeser kursinya dan duduk di hadapanku. Ia menunduk. Mata hijaunya menyelami mataku, mengamati wajahku baik-baik sampai membuatku gemetaran di kursi, "Orang tuamu meninggal, Jay. Meledak di udara. Poof."

Apa katanya? Poof? POOF? Apakah dia harus menambahkan itu?!

Mataku bergerak-gerak liar. Ini lelucon. Ini pasti lelucon. Mom tidak mati. Empat hari yang lalu ia masih memasakkan Toast untukku. Empat hari yang lalu Mom dan Dad mengajakku bermain Bowling di The Jackies dan kami menghabiskan dua loyang Pizza. Empat hari yang lalu Mom memelukku dan mengatakan bahwa ia bangga padaku karena aku sudah memenangkan lomba Sains Teknologi se-Kansas City. Dia bilang aku Genius. Dia bilang aku putranya. Dan dia bilang dia mencintaiku.

Mom juga bilang dia tidak akan pernah pergi kemana pun, tepat ketika kukatakan bahwa aku takut pergi ke sekolah kalau Julian tidak masuk.  Mom bilang aku tidak perlu takut karena ia selalu ada untukku. Ia akan membelaku. Aku hanya harus ingat bahwa Mom hidup dalam kepalaku dan semuanya akan baik-baik saja.

Jadi Mom tidak mungkin mati. Itu. Mustahil.

"Tidak mungkin."Yang mengejutkanku adalah suaraku begitu dingin, tanpa emosi.

"Ya mungkin saja."Mr.Harper meraih sebuah remote dan mengganti-ganti saluran acara sampai menemukan CNN. Di balik layar itu, seorang wanita berambut pirang tengah mengoceh terkait kecelakaan pesawat American Airlines menuju Jepang yang meledak di udara setelah menghantam salah satu gunung. Bongkahan pesawatnya ditemukan berceceran di sekitar pantai yang berada dibawah gunung tersebut. Sejauh ini diperikirakan tidak ada korban yang selamat dalam kecelakaan itu.

A Novella: Her  (Summer Memories #0,5) ✓Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon