Part 19-END

1.5K 53 1
                                    

Hello everybody,
Pada kangen gak sama gue
Iya dong gue kan nganenin #plak
Gue akan melanjutkan cerita ini
Happy Reading~

-----------------------------

Author pov

Saat ini Steven dan Desi tengah menunggu pesawat orang tua mereka lepas landas.
Steven sudah tidak sabar lagi bertemu dengan kedua orang tuanya.
Alasannya sederhana, yaitu karena ia ingin mengetahui kebenarannya.

Beberapa menit kemudian terdengar pengumuman bahwa pesawat tujuan New York - Jakarta telah lepas landas.
Steven sudah sedari tadi bersiap-siap di gerbang kedatangan.
Akhirnya kedua orang tua Steven keluar dari bandara dengan menyeret sebuah koper.

"Wah mama gak nyangka kalian bakal jemput." Diana meninggalkan kopernya dan langsung memeluk Steven serta mengecup pipinya.
"Mama cuma kak Steven aja nih." Desi menunjukkan wajah kesal.
"Kangen juga sama putri mama yang cantik ini." Diana beralih memeluk Desi.

"Ehem." Dimas berdehem melihat dirinya dilupakan.
"Hehe, hampir lupa kalo ada papa juga."
Steven, Desi dan Diana saling bertatapan.
"Papa ngambek ya," ujar mereka bersamaan.

"Ayo kita langsung masuk mobil." Dimas berjalan menuju ke mobil tanpa menghiraukan sorakan istri dan anak-anaknya.
Sedangkan Diana menahan tawa melhat tingkah laku suaminya yang kekanakan.

***

Sesampainya di rumah, mereka masuk ke dalam rumah.
Akan tetapi Diana dan Erick tidak langsung masuk ke kamar melainkan duduk di ruang tamu.
Mereka ingin menikmati suasana rumah yang sudah lama tidak mereka tempati.

"Pa, jadi kalian kesini mau jelasin apa?" tanya Steven blak-blakan.
"Steve kamu gak sopan banget deh, mama sama papa baru aja duduk." Diana menegur Steven.

"Iya, iya aku cuma terlalu bersemangat."
"Kalo papa bilang bukan papa yang membunuh kakeknya Dalila, apa kamu akan percaya?"

Steven memandang Dimas dengan wajah bingung,"apa maksud papa?"

*Flasback on*

"H-haris!"
Dimas kalang kabut saat mengetahui bahwa Haris tertembak.
Pistol yang kini dipegangnya sama sekali tidak memiliki peluru.
Bagaimana bisa Haris tertembak.

Dimas langsung menghampiri Haris dan mengguncang pelan tubuhnya.
"Haris apa kau baik-baik saja." Dimas tampak panik.
Haris tertawa terbahak-bahak,"kau tau aku sengaja mengatur pertemuan ini untuk mengungkap pelaku sesungguhnya."

Haris menunjuk ke belakang Dimas.
"Cih, ternyata ini semua jebakan." Seorang laki-laki muncul dari balik pintu.
"Sam?"

"Apa kabar kakak?"
"Jadi kau yang menyabotase perusahaan Haris?"

"Ya betul,"
"Tapi untuk apa?"

"Apa kau sudah gila menanyakan alasanku, semua harta ayah jatuh ke tanganmu sedangkan aku tidak mendapatkan apa-apa." Sam menatap Dimas dengan sorot mata kebencian.
"Bukankah kau sudah mendapatkan perumahan dan anak perusahaan di Swiss?"

Sam tertawa terbahak-bahak,"itu tidak cukup aku ingin lebih."
"Kau benar-benar serakah Sam."
Haris mengenggam erat lengan Dimas,"bisakah aku meminta tolong untuk yang terakhir kalinya?" tanya Haris terbata-bata.

"Tentu saja."
"Aku ingin kau jebloskan bajingan ini ke penjara."
Setelah itu Haris menghembuskan nafas terakhirnya.

*Flashback off*

"Hah? Apa om Sam udah gila melakukan semua itu."
Steven sama sekali tidak habis pikir.
"Ya, papa juga berpikir begitu tapi semua itu mungkin terjadi akibat keserakahannya."

"Jadi, apa om Sam sudah tertangkap?"
"Ya, kemarin papa sudah menemukan bukti yang memberatkannya."

"Huft syukurlah." Steven menghela nafas lega.
"Tuh apa gue bilang, gak mungkinlah papa bunuh orang," ujar Desi ketus.

"Iya deh lo yang paling bener."
Steven bangkit dari tempat duduknya.
"Steve mau kemana?" tanya Diana.
"Aku mau jelasin ke Dalila tentang semua ini."
"Nanti kenali ke mama sama papa ya." Diana mengerlingkan matanya.
"Siap ma."

***

Steven menekan bel rumah Dalila dengan tidak sabaran.
Pintu rumah Dalila terbuka.
"Apaansih lo, bisa rusak bel rumah gue," cecar Angga.

"Dalilanya ada di rumah?"
"Ada tuh di kamarnya, mau ngapain lo kesini?"

"Gue mau jelasin semuanya ke dia."
Steven menerobos masuk tanpa menunggu persetujuan dari Angga.
Sesampainya di depan kamar ia langsung masuk tanpa mengetuknya.

Terlihat Dalila sedang duduk di dekat jendela sambil membaca buku.
Ia tidak menyadari kehadiran Steven.
Steven memeluk Dalila erat dari belakang.

"Steve," panggilnya pelan.
"Lil gue kangen banget sama lo, gue kesini mau jelasin semuanya."

Dalila melepas pelukan Steven lalu berbalik badan.
"Lil, tolong lo dengerin gue dulu semua ini ternyata hanya salah paham...."
Dalila menutup mulut Steven dengan telunjuknya.

"Lo yang harus dengerin gue."
"Hah?"
"Orang tua gue sudah jelasin semuanya, gue bego banget deh langsung percaya gitu aja sama Anna." Dalila mulai terisak.
"Gue harusnya dengerin lo dulu seharusnya gak seperti ini jadinya, apa jadinya kalo orang tua gue gak jelasin yang sebenarnya."

Dalila menangis tersedu-sedu di dada Steven.
Ia menangisi kebodohannya selama ini.

"Shhtt, itu bukan salah lo juga kok."
"Tapi kalo misalnya gue gak langsung percaya pasti gak runyam begini jadinya."

"Mungkin itu cara Tuhan untuk buat gue berusaha sedikit untuk hubungan kita." Steven tersenyum tulus.
"Lain kali gue yang bakal berjuang."
"Enggak, kita akan berjuang bersama untuk hubungan ini

***

"Aduh senangnya liat pasangan yang satu ini baikan," ujar Desi.
"Tenang akhirnya hidup gue," timpal Xavier.

"Seolah-olah banget sih kalian."
"Lagian mereka bener kali, berantemnya kalian itu udah kayak Perang Dunia III tau gak." Angga tertawa mengejek.

"Udah, kasian tuh muka Dalila udah kayak baju gak digosok seminggu," goda Steven.
"Kalian semua memang kejam banget sama gue."

"Anggap aja itu sebagai ucapan selamat baikan dari kami," ujar Xavier.
Mereka sedang merayakan kembali Dalila dan Steven di cafe langganan mereka.

"Lo yang bayar ya Steve." Angga menepuk bahu Steven.
"Iya PJ sesi ke II."
"Makan-makan gratis aja lo cepet banget nyamber."

Mereka melanjutkan acara makan dengan jalan-jalan di mall.
Sesekali para laki-laki menggerutu kesal karena harus mampir ke toko baju.
Tentu saja itu akan menghabiskan banyak waktu terutama bagi para cewek.

Akhirnya setelah puas, mereka berpisah di tempat parkir.
"Gue seneng deh hari ini."
"Begitu juga kita semua, kan emang title yang untuk senang-senang."

"Ih maksud gue, gue seneng karena kita udah balikan." Dalila cemberut karena Steven tidak memahaminya.
"Iya deh iya."

"Gue sayang sama lo."
Pipi Dalila memerah ketika mendengar kata-kata itu dari bibir Steven.
"Gue juga," cicitnya.




Girlfriend [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang