Part 4

4.9K 510 55
                                    


Sepulang sekolah ....

"Makasih udah diantar sampai rumah, Kak," kata Ayu ramah sambil memasang senyum manis.

"Sama-sama, Yu. Santai aja lagi. Malah aku senang bisa berduaan sama kamu," Langit tersenyum malu-malu sambil membetulkan letak kacamata yang melorot. Ia sengaja bertukar sepeda dengan Dani yang ada jok belakangnya.

"Berdua? Terus Kak Dani sama Kak Fian apaan dong?" Ayu mengerutkan sepasang alisnya.

"Ah, anggap saja mereka syaiton," Langit tertawa cekikikan, "Ya sudah, Yu. Aku cabut dulu, ya? Sampai jumpa besok," Langit melambaikan tangan. Ayu pun membalas lambaian tangan Langit.

"Hati-hati ...."

Langit menayuh pedal. Ia hampiri Dani dan Fian yang setia menunggu di depan pos ronda.

"Cie ... yang habis pacaran," ledek Fian yang kemudian disambut oleh cengiran Langit.

"Udah kamu tembak belum?" tanya Dani dengan mimik muka serius. Kembali ia bertukar sepeda dengan Langit.

Langit menggelengkan kepala, "Aku ndak berani, Dan. Soalnya dia pernah bilang kalau nggak mau pacaran dulu," ujar Langit sedih.

"Yah, banci kamu. Masa gitu saja udah nyerah? Yang penting usaha dulu. Diterima atau ditolak sih urusan belakangan!" kata Fian panjang lebar.

Langit tak menanggapi kata-kata Fian. Bukannya menyerah, tapi ia merasa kalau waktunya belum tepat. Lagipula ia harus semakin rajin mendekati Ayu dan mendalami karakter cewek itu. Ya, tujuannya agar Ayu bisa punya feeling dengannya. Setidaknya meski tak pacaran, ia bisa jadi sahabat sekaligus menumbuhkan rasa cinta di hati Ayu. Ya, sampai tiba waktunya nanti untuk bersama. Langit pernah dengar dari Papa kalau biasanya jodoh itu berbalik seratus delapan puluh derajat dari idaman kita selama ini. Kedengaran kurang masuk akal sebenarnya. Yah, tapi percaya saja deh. Kan biasanya. Bukan selalu.

"Lang, memangnya kamu nggak takut kalau ntar tiba-tiba Ayu ditembak cowok lain?" ujar Dani menakut-nakuti.

Langit terkesiap.

"Iya, benar apa yang dikatakan Dani, Lang. Ayu itu anaknya manis dan lembut. Selain itu dia juga alim! Cowok mana yang gak mau sama dia? Dia itu tipe wanita idaman banget!" Fian juga ikut mengompori.

"Masa sih?" tanya Langit sambil memasang wajah lugu. Fian dan Dani tertawa cekikikan.

"Serius, Lang!" ujar Dani.

Langit membetulkan letak kacamatanya lagi. Ia sedang merenungi kata-kata dua sahabat kocaknya itu. Kata-kata Dani dan Fian memang ada benarnya juga. Tapi, Langit tak mau terburu-buru. Ia harus memastikan dulu apakah Ayu juga punya perasaan yang sama dengannya atau tidak. Ia tak mau menanggung risiko ditolak mentah-mentah. Belum lagi risiko dibenci. Bagaimana kalau nanti Ayu tak mau bicara lagi dengan Langit? Bagaimana? Bagaimana?

Bermacam-macam imajinasi muncul dalam pikiran Langit. Imajinasi yang terlalu mengada-ada sebenarnya karena kemungkinan terjadi kurang dari satu persen. Ah, kenapa pikiran Langit jadi kacau begini? Ini gara-gara Fian dan Dani yang ngomong sembarangan padanya. Sudah tahu Langit orangnya sensitif, masih saja dijejali kata-kata yang nge-jleb.

Akhirnya sampai juga Langit, Fian, dan Dani di persimpangan jalan.

"Kita cabut duluan, Lang," ujar Fian. Lalu Fian dan Dani mengayuh sepeda ke arah yang berbeda.

"Yoi! Hati-hati, Bro!" kata Langit sambil melambaikan tangan.

Langit berhenti sejenak untuk memasang earphone. Ia putar lagu kesayangannya sambil memandangi hamparan persawahan dengan padi yang melambai. Hmm, segarnya udara di tempat ini. Jauh lebih segar dibandingkan udara di jalan besar yang terkena polusi karbon monoksida dari kendaraan bermotor yang semakin lama semakin banyak pula jumlahnya.

Dalam hati Langit bersyukur. Biarpun banyak dari teman-temannya yang membawa motor bahkan mobil, tapi ia tak malu pergi ke sekolah menggunakan sepeda gunung. Selain menyehatkan, ia jadi tak menyumbang polusi udara kepada bumi yang semakin panas terkena global warming. Bumi? Langit jadi mengingat adiknya yang sampai saat ini masih tinggal di Bandung. Bagaimana kabarnya kini, Langit tak pernah tahu. Sebenarnya ia ingin sekali bisa bertemu dengan adiknya. Tapi bagaimana caranya? Pergi ke bandung? Mama dan Papa nggak bakal mengizinkan.

Setelah sepuluh menit berlalu akhirnya sampai juga Langit di rumah. Ia sandarkan sepeda di pohon jambu yang menghiasi halaman rumah. Ketika hendak masuk, ada sesuatu yang menyita perhatian. Sebuah motor besar warna merah turut menghiasi halaman. Ia tatap motor itu lekat-lekat. Astaga. Motor siapa ini? Lagipula plat nomornya bukan menunjukkan plat nomor daerah ini. Lagi, sejak kapan keluarganya punya motor? Apa Papa yang membelinya? Tapi tak mungkin. Papa kan nggak berani naik motor beginian.

Sementara itu, Bumi yang hendak jalan-jalan sore sambil mencurahkan rindu yang mendalam pada kampung halaman, merasa kaget melihat ada seorang cowok berkacamata sedang terbungkuk-bungkuk mengamati motor miliknya. Cowok itu juga pasti yang memarkir sepeda gunung jelek di pohon jambu yang letaknya tak jauh dari motor Bumi. Cowok berseragam SMA itu tampak culun sehingga membuat Bumi gemas ingin mengusilinya.

"Eh, eh, mau diapain itu motorku?" teriak Bumi sambil menatap tajam mata cowok di hadapannya.

Langit menoleh ke arah sumber suara. Di hadapannya telah berdiri anak cowok kira-kira sebayanya sedang menatap tajam. Ia amati sosok itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aneh, perasaan pernah lihat. Tapi siapa, ya? Apa ia pernah bertemu dengan anak ini di suatu tempat? Ih, tapi ini anak penampilannya semrawut banget.

Langit menelan ludah, "Kamu siapa sih?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Nah, kamu sendiri yang siapa? Main masuk rumah orang seenaknya!"

Langit mengernyitkan sepasang alisnya.

"Tunggu, tunggu. Maksudnya apa nih? Sejak kapan rumah ini jadi milik kamu? Aneh!"

Bumi membelalakkan mata, "Banyak bacot banget! Kamu ngajak berantem? Hah?" tanpa banyak basa-basi lagi Bumi langsung menerjang Langit dan siap-siap melayangkan satu pukulan.

"Aduh! Langit, Bumi, stop! Apa-apaan kalian ini? Kenapa kalian berantem?" tanya Mama panik. Mama memang langsung keluar saat mendengar suara ribut-ribut yang berasal dari halaman rumah.

Sementara Langit dan Bumi sama-sama terdiam seketika saat mendengar ucapan Mama. Bumi berhasil menghentikan tangan sehingga tak sampai meninju pipi cowok di hadapannya ini. Ia tatap lekat-lekat wajah cowok itu yang kini napasnya tampak tersenggal-senggal. Ia tatap sepasang mata di balik kacamata berbingkai hitam yang tampak sangat tebal. Mata itu ... ya, Bumi ingat. Itu adalah sepasang mata jernih milik kakak semata wayangnya.

"Langit?"suara Bumi bergetar.

"Bumi?" balas Langit dengan getaran yang tak kalah hebatnya.

Langit memandang sosok tubuh tegap di hadapannya kini. Astaga. Benarkah ini Bumi? Rasanya sulit dipercaya. Bumi yang dulu sangat kecil, kini malah jadi lebih tinggi darinya. Penampilan Bumi pun telah berubah banyak. Rambutnya, wajahnya, kekar tubuhnya, Langit tak menyangka adiknya bisa jadi seperti ini.

Rasa rindu yang dipendam Langit selama tujuh tahun terbayar lunas sudah. Kini adik kesayangannya itu telah berdiri di hadapannya. Seketika itu juga Langit peluk adiknya erat-erat. Rasa haru biru seketika hinggap di hati keduanya.

"Dasar! Kamu lupa wajah kakakmu ini? He? Lagipula nekat sekali kamu dari Bandung ke Malang naik motor? Perjalanan berapa hari?" ujar Langit sambil menjitak pelan kepala adiknya.

Bumi tertawa di antara isak tangisnya, "Perjalanan satu minggu lebih sih. Yups, sekalian bertualang. Jadi, waktuku kebanyakan habis buat main-main di jalan. Dan lagi, kamu sama sekali tak berubah, Langit. Tetap culun seperti dulu. Apa kamu tak berniat mengganti kacamata jelekmu dengan lensa kontak?"

Lalu dua-duanya memperkeras volume suara tangisan mereka. Mama merasa terharu saat melihat Langit dan Bumi.

"Tak seharusnya kalian dulu dipisahkan," pikir Mama, "Setelah tujuh tahun akhirnya kalian bertemu. Mama janji, Mama nggak akan misahin kalian lagi. Mama sangat sayang kalian Langit, Bumi ...."

***



Jangan lupa vomment-nya ya, Kakak? Kasih kritik juga, ya? Terima kasih. Sampai ketemu di bab selanjutnya. :D

Langit & Bumi (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang