Part 8

3.8K 342 33
                                    


"Bumi, tunggu!" Langit mencekal lengan Bumi kuat-kuat.

Saat itu kantin masih sepi. Hanya beberapa siswa saja yang berada di situ termasuk Langit dan Bumi bersaudara. Kebetulan kelas mereka sama-sama istirahat lebih awal karena pembelajaran selesai sebelum waktunya. Kebetulan juga saat itu mereka sama-sama ketemu di kantin.

Langit menginginkan penjelasan Bumi tentang insiden tadi pagi. Luka bacok di kedua roda sepeda tadi memang jelas tak wajar. Yah, gara-gara itu juga ia sampai terlambat tiba di sekolah dan dihukum oleh petugas tata tertib. Parahnya lagi, ia juga tidak bisa mengikuti ulangan Bahasa Inggris yang diadakan di jam pertama tadi. Hm, sebenarnya ia tak ingin mencurigai adiknya itu. Tapi, kalau bukan dia siapa lagi coba?

Bumi menatap mata kakaknya. Terlihat betul sirat kemarahan di balik kacamata tebal Langit.

"Bumi, jujur sama aku. Kamu kan yang udah ngempesin ban sepedaku?" tanya Langit dengan tatapan mata tajam.

"Apa?" Bumi mengerutkan alisnya.

"Aku tanya, apa kamu yang udah ngempesin ban sepedaku? Kamu bacok ban sepedaku kan?" Langit mengulangi pertanyaannya.

Bumi membelalakkan matanya. Tawanya seketika meledak membuat Langit merasa semakin heran. Bumi tatap dalam-dalam mata Langit. Ya, inilah saatnya ia utarakan isi hati kepada kakak yang merupakan penyebab keterpurukannya selama ini. Kakak yang selalu menjadi penghalang bagi Bumi dalam memperoleh kebahagiaan seperti anak-anak lainnya. Kakak yang sakit-sakitan! Bumi benci! Sangat benci!

"Kalau iya kenapa?" ujar Bumi dengan senyuman seolah menantang.

Emosi Langit tersulut. Tangannya terkepal hendak meninju pipi Bumi. Namun diurungkan sebab ia sadar jika itu akan menimbulkan keributan.

"Apa maksudmu ngelakuin itu?" tanya Langit.

Bumi menarik kerah baju Langit hingga tubuh Langit sedikit membusung ke depan. Langit sendiri membalas tatapan Bumi dengan tatapan yang tak kalah tajamnya. Tangannya yang terkepal bergetar seolah merasa gatal ingin segera digunakan untuk menempeleng sesuatu.

"Karena aku sangat membencimu!" jawab Bumi lantang.

"Membenciku? Memang apa salahku?"

"Kau bersalah!" Bumi mempererat cengkeramannya, "Gara-gara kamu! Semua ini gara-gara kamu! Kau pikir karena siapa aku sampai harus dibuang ke Bandung? Kau pikir karena siapa aku sama sekali tidak mendapat kasih sayang dan perhatian dari Mama dan Papa barang sedikitpun dari aku kecil? Ha? Ini semua karena kamu!"

Langit menghela napas, "Aku tak pernah menginginkan semua itu terjadi padamu, Bumi! Aneh! Kekanakan banget kamu nyalahin aku kaya gini?"

"Terus siapa yang bersalah? Ha? Aku? Jadi aku yang bersalah?" elak Bumi sambil tertawa, "Asal kamu tahu, Langit. Aku menyesal punya kakak yang penyakitan dan kerjaannya cuma nyusahin orang kaya kamu!"

Bugh! Sebuah bogem mentah mampir ke pipi Bumi begitu ia selesai mengucapkan kalimat pedas kepada kakaknya.

Pertengkaran antara Langit dan Bumi mengundang perhatian seluruh penghuni kantin. Banyak yang mengerumuni mereka dan berusaha melerai termasuk Dani dan Fian yang kebetulan baru tiba. Dani dan Fian memegangi tubuh Langit dan berusaha menjauhkan Langit dari Bumi yang emosinya sudah mulai tersulut.

Bumi mengumpat mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tak pantas diucapkan di area sekolah saking kasarnya. Kakinya menendang keras kaki meja kantin yang berada di dekatnya. Namun, karena kaki meja kantin terbuat dari besi beton, ia jadi merasa kesakitan sendiri. Ia merintih lirih sambil memegangi kaki yang berdenyut-denyut karena sakit yang menjalar perlahan. Terlanjur malu, Bumi membuang muka dan pergi dari kantin.

Langit & Bumi (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang