Part 30

3.1K 222 10
                                    


Bumi baru saja tiba di rumah. Sepi. Mama dan Papa pasti masih di rumah sakit. Perut Bumi merasa lapar, tapi bibirnya malas untuk sekedar mengunyah makanan barang sesendok saja. Bibirnya terasa pahit. Ah, ia tak bisa enak-enakan makan sementara kakaknya yang sedang terbaring lemah itu belum kemasukan makanan selama lima hari lamanya. Bumi tak bisa membayangkan bagaimana laparnya Langit saat ini. Sekalipun asupan makanannya masuk melalui infus, tapi menurut Bumi itu tak cukup untuk mengatasi rasa lapas yang menyiksa perut.

Baru saja Bumi menelepon Mama untuk menanyakan keadaan Langit. Namun, jawaban yang diterimanya tetap sama. Masih belum membaik.

Bumi menghela napas putus asa.

"Sampai kapan kamu akan tidur seperti itu? Apa kau tak ingin melihatku lagi? aku sudah berubah jadi lebih baik," gumam Bumi sambil menatap foto Langit yang terpajang di dinding ruang tamu.

Dengan langkah gontai, ia menaiki tangga hendak menuju ke kamarnya. Namun, langkahnya terhenti tepat di depan kamar Langit. Ia sadar, semenjak kedatangannya di Surabaya ini, belum pernah sekalipun Bumi masuk dan melihat isi kamar Langit. Entah mengapa seperti ada sesuatu yang menuntunnya masuk ke kamar itu. Ia putar daun pintu dengan pelan seolah tak ingin perbuatannya diketahui siapapun. Padahal, di rumah ini sekarang tak ada seorangpun kecuali Bumi sendiri.

Begitu pintu terbuka, sebuah pemandangan yang mirip galeri kesenian terpampang memanjakan mata Bumi. Kamar itu dihiasi berbagai lukisan unik berjenis surealisme yang merupakan karya Langit sendiri. Ada sebuah lukisan yang menurut Bumi benar-benar indah yaitu lukisan dua orang anak laki-laki sedang bergandengan tangan sambil menatap langit sore. Backgroud lukisan itu adalah pohon sakura dengan hiasan bunga-bunga cantik berwarna merah muda ala Jepang yang menjadi icon Negara Matahari Terbit itu. Di pojok kiri bawah lukisan itu, terdapat tulisan dalam huruf kanji. Bumi bisa membaca huruf itu karena selain mempelajari Bahasa Jepang di sekolah, ia juga rajin belajar secara otodidak melalui internet dan rajin berlatih menuliskan huruf-huruf Jepang termasuk huruf kanji.

Serangkain huruf yang bertuliskan kata dalam Bahasa Jepang yang dibaca 'Sora to Daichi'.

Astaga!

Rasa haru biru menyelimuti Bumi seketika. Kata yang berartikan Langit dan Bumi. Apakah saat itu Langit melukis dirinya sendiri dan juga Bumi? Bumi mengerti maksud dari bergandengan tangan itu adalah sebuah ikatan kasih sayang, sedangkan menatap langit sore berarti pandangan dengan sejuta impian yang rasanya mustahil untuk diwujudkan.

Impian apa itu, Bumi tak sanggup menebaknya.

Jika melihat warna senja yang Langit lukiskan, pasti ada hubungannya dengan kesedihan.

Pada lukisan yang lain juga demikian. Hampir seluruhnya syarat akan kesedihan.

Pandangan Bumi kini beralih pada tumpukan buku di meja belajar Langit. Sudah sekian lama Bumi merasa penasaran dengan buku yang sering dibawa Langit ke teras rumah menjelang petang yang kemudian ditulisi sesuatu entah apa itu. Bumi sempat mengira kakaknya itu hobi menulis diary. Namun, sepertinya bukan. Bumi ingat betul ekspresi kakaknya ketika menulisi buku itu. Begitu sendu dan mellow seolah menyimpan ribuan duka di dalamnya.

Buku yang dicari Bumi berada pada tumpukan paling atas di antara tumpukan buku-buku pelajaran Langit. Bumi membuka lembar demi lembar buku yang isinya selalu ditulis dengan tinta warna biru.

Ternyata buku itu berisikan puisi-puisi Langit.

Puisi-puisi itu berhasil menumpahkan air mata Bumi karena selalu berisikan tentang kematian.

Sang Senja, bawa aku pergi

Terhinakan aku atas permainan duniawi

Termakan cinta kasih bak nyanyian syarat mati

Langit & Bumi (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang