Jilid 34 : Rencana Gagal

2.4K 40 0
                                    

Blo'on kerutkan dahi. Tiba2 ia berpaling dan berseru kepada Hoa Sin : "Pengemis tua, ya benar engkau harus masuk menjadi anakbuah Thian-tong kau dulu baru nanti menghadap ayahku."
Hoa Sin terkejut dan mengeluh. Sebenarnya ia hendak bertindak secara diam2 untuk menghampiri Kim Thian-cong dan membuktikan apakah ia benar Kim Thian-cong aseli atau palsu. Siapa tahu rencananya itu telah digagalkan oleh Blo on.

Belum sempat ia mendapat akal bagaimana harus mengatasi keadaan itu, Ceng Sian suthay sudah mendahului.
"Blo'on, engkau harus tahu, bahwa kami para ketua tujuh persilatan ini dulu sudah menjadi anakbuah Kim tayhiap. Sudah tentu Kim tayhiap akan menyambut kedatangan kami dengan senang hati."
"O, ya, benar, benar", kata Blo'on lalu berpaling kepada pengacara, serunya : "Mereka adalah ketua partai persilatan yang dulu dipimpin ayahku. Dengan begitu mereka sudah menjadi anakbuah ayahku, tak perlu harus mengangkat sumpah lagi."
Wajah pengacara itu serentak berobah gelap serunya : "Dulu Kim kaucu tidak mempunyai perkumpulan sendiri, hanya diangkat mereka sebagai bengcu. Jadi mereka yang mengangkat, bukan Kim kaucu. Sekarang Kim kaucu mendirikan perkumpulan Thian-tong-kau sendiri untuk
melebur semua partai2 persilatan. Jika mereka masuk menjadi anggauta, Kim kauculah yang mengangkat mereka....."
"Ringkas saja kalau bicara, aku bingung!" teriak Blo'on, "apa maksudnya diangkat dan meng-angkat itu ? Bukankah sama2 angkat ?"
"Eh, engkau ini," seru pengacara iru, "maksudku dan memang sudah menjadi perintah dari Kim kaucu, bahwa apa yang terjadi pada masa dulu hapus semua dan semua harus diperbaharui. Ketua ketujuh partai persilatan itupun harus mengangkat sumpah menyatakan masuk menjadi anggauta. Selama belum melakukan hal itu, mereka belum dapat dianggap sebagai anggauta !"
"O, benar juga," Blo'on cepat berpaling kearah Hoa Sin bertiga, seruya: "Ya, kamu bertiga harus menurut peraturan disini. Harus lebih dulu mengangkat sumpah, baru dapat diterima menghadap ayahku !"
Hoa Sin mendesuh, Ceng Sian suthay mendesih dan Hong Hong tojin menggeram.
"Blo'on, karena engkau tolol, baiklah jangan ikut campur urusan ini. Engkau mau menghadap ayahmu, silahkan. Kami juga akan menghadap sendiri."
Habis berkata rahib ketua Kun-lun-pay itu terus ayunkan langkah diikuti oleh Hoa Sin dan Houg Hong tojin.
"Berhenti!" cepat pengacara baju merah itu membentak keras, "selangkah lagi kalian berani maju, jangan sesalkan aku bertindak kejam!" Habis berkata dia mengeluarkan sebuah kantong kulit dari dalam jubahnya.
Ceng Sian suthay, Hoa Sin dan Hong Hong tojin certegun. Tetapi Ceng Siau hanya tertawa kesal ; "Kalau aku tetap maju, engkau dapat berbuat apa?"
la terus ayunkan langkah lagi. "Jika demikian, engkau memang sudah bosan hidup !" tiba2 pengacara itu merogoh kedalam kantong kulit dan pada lain ia taburkan tangannya kearah Ceng Sian suthay bertiga, "rasakanlah ...!
Sesungguhnya Ceng Sian suthay, Hoa Sin dan Hong Hong tojin sudah siap sedia. Selekas tangan pengacara itu menabur maka tiga benda macam tali yang panjangnya hanya sekilan jari tangan melayang di udara. Benda itu memancarkan sinar kuniug keemasan yang gemilang.
Wut .... Ceng Sian cepat melontarkan pukulan untuk menghalau. Tetapi benda itu bergeliatan! mencelat ke udara lalu meluncur lagi kearah ketiga Ketua partai itu.
Wut, kali ini Hong Hong tojinpun nenghantam teras, tetapi ketiga benda kecil pendek itu mencelat lagi ke atas, bergeliatan lalu meluncur kearah mereka.
Ceng Sian suthay, Hong Hong tojin dan Hoa Sin terkejut ketika ketiga benda itu berpencar menyerang mereka bertiga. Cepat mereka menampar dan loncat menghindar. Tetapi ketiga benda itu gesit luar biasa, setelah bergeliatan menghindar terus meluncur lagi.
"Ular emas!" tiba2 Hoa Sin menjerit kaget demi melihat jelas benda itu.
Ceng Sian suthay dan Hong Hong tojin terkejut juga. Sebagai tokoh ketua sebuah partai persilatan mereka mempunyai pengalaman yang luas. Ular emas yang amat kecil itu tergolong salah satu dari lima jenis binatang yang paling berbisa. Apabila sampai tergigit, tak ada obatnya lagi.
Tetapi pengetahuan itu terlambat. Karena saat itu mereka diserang habis-habisan oleh ular emas itu. Dan yang mengejutkan ternyata ular itu tak dapat dihalau dan ditolak dengan pukulan, tak mempan dibacok dengan senjata tajam.
Betapa hebat ilmu ginkang ketiga ketua partai persilatan itu namun menghadapi ular emas yang luar biasa gesitnya, yang tak dapat dihalau pukulan dan dibacok senjata, akhirnya mereka kewalahan juga. Dalam detik2 dimana gerakan tubuh mereka agak terlambat maka berhasillah ular emas itu menggigitnya. Ceng Sian suthay tergigit tangannya, Hong Hong tergigit kakinya dan Hoa Sin tergigit lengannya.
"Suthay, totiang, kita turun panggung dulu!" seru Hua Sin seraya melayang turun dari panggung. Ceng Sian suthay dan Hong Hong tojinpun mengikuti. Mereka mencari tempat yang sepi untuk mengobati lukanya.
"'Pil Ki-tok-sin-tan buatan partai Kun-lun-pay ini, dapat melawan segala jenis racun, tetapi....." tiba2 suthay itu hentikan kata2.
"Mengapa suthay ?" tanya Hong Hong tojin. Ceng Siun suthay menghela napas: "Kita bertiga sedangkan pil yang kubekal itu hanya tingga dua butir .. ,."
"Ah, tak apa," tiba2 Hoa Sin berkata dengan suara lapang, "biarlah suthay dan totiang saja yang minum. Aku dapat mengobati lukaku."
Dalam berkata itu sebenarnya Hoa Sin merasa lengannya makin kaku. Ia terus salurkan tenaga dalam untuk menghentikan racun itu. Tatapi ternyata racun ular emas itu hebat sekali. Cepat racun itu sudah menyusup ke bahu. Walaupun karena tertahan oleh tenaga-dalam, namun racun itu tetap pelahan-lahan mengalir.
"Berikan kepada Hoa pangcu," seru Hong Hong tojin. Ia tak mau kalah dengan kebesaran jiwa ketua Kay-pang itu.
"Suthay, totiang," seru Hoa Sin, "saat ini keadaan sudah gawat. Jangan kita mati semua, cukup seorang saja yang menjadi korban. Suthay dan totiang harus hidup untuk melanjutkan perjuangan kita ... "
Pengemis-sakti Hoa Sin tak dapat melanjutkan kata2nya. Wajahnya sudah berobah biru gelap. Jelas racun sudah makin mengalir ke arah kepala. Pengemis-sakti pejamkan mala dan mulai mengerahkan tenaga dalam lagi untuk menghentikan peredaran racun. Rupanya ia harus mengerahkan seluruh tenaga-dalamnya sehingga dahinya sampai bercucuran keringat.
"Suthay," Hong Hong tojin gelisah, "tolong berikan sebutir pil kepadaku."
Suthay segera mengambil sebuah kelopak dari batu kumala, membuka dan mengambil dua butir pil warna putih. Bau harum segera semerbak kemana-mana.
"Apakah maksud totiang dengan pil ini ?" tanya rahib dari Kun-lun-pay itu.
"Akan segera kuminumkan kepada Hoa pangcu. Lihatlah, keadaannya sudah berbahaya sekali," kata Hong Hong tojin.
Ceng Sian suthay terbeliak memandang ketua Go-bi-pay itu. Sejenak kemudian ia berkata dengan nada serius: "Hong pangcu, bukan melainkan Hoa pangcu, pun pangcu sendiri juga berbahaya, lihatlah wajah pangcu, sudah bersemu hitam "
Sebanarnya Hong Hong tojin sudah menyadari bahkan sudah merasa kalau sebelah kakinya sudah tak terasa dan
saat itu perutnya mulai kaku. Ia tahu bahwa racun sudah menjalar ke bagian perut dan sebentar lagi tentu naik kedada. Tetapi sebagai seorang imam yang berbudi tinggi dan sebagai seorang tokoh ketua partai persilatan, ia harus mengunjuk suatu sikap ksatrya. Ia rela mengorbankan diri asal dapat menolong Hoa Sin.
"Tak apa, suthay," katanya, "yang penting kita harus menyelamatkan jiwa Hoa pangcu."
"Tidak totiang!" tiba2 Ceng Sian suthay berseru tegas, "keadaan sudah amat berbahaya, jangan saling mengalah dengan akibat kedua-duanya tak tertolong. Keadaan Hoa pangcu lebih parah dan totiang masih mending. Maka harap totiang minum pil itu. Cepatlah, setelah kita sembuh kita gabungkan tenaga-dalam kita untuk membantu Hoa pang cu mengenyahkan racun itu ......."
Hong Hong tojin menyambuti pil dari Ceng Sian suthay, namun ia masih bersangsi. Tiba2 tangan Ceng Sian yang mengulurkan pil itu dibuka dan jatuhlah pi! itu ke tanah. Hong Hong tojin, terkejut, cepat ia membungkuk tubuh untuk menjemputnya.
"Maaf, totiang !' sekonyong-konyong Ceng Sian bergerak menutuk jalandarah di leher Hong Hong tojin. Seketika ketua Go bi-pay itu ternganga mulutnya dan secepat itu pula, Ceng Sian suthay segera memasukkan pil ke mulutnya. Sekali menepuk tengkuk Hong Hong tojin, pilpun segera meluncur masuk kedalam kerongkongannya. Kemudian ia sendiripun segera menelan lalu duduk bersila.
"Totiang, mari kita lekas menyalurkan tenaga-dalam untuk mempercepat kerja pil itu," seru Ceng Sian seraya pejamkan mata dan mulai bersemedhi.
Hong Hong tojin menghela napas namun ia menurut juga permintaan rahib ketua Kun-lun-pay Itu.
Demikian ketiga ketua partai persilatan saat itu tengah berjuang sekuat tenaga untuk menghalau racun ular emas yang luar biasa hebat. Andai bukan Hoa Sin tentu dalam beberapa kejab saja sudah mati.
Dalam pada itu pertempuran diatas panggung pun sudah mendekati penyelesaian. Sosok tubuh bergelimpangan di sana sini, ada yang sudah mati ada yang terluka parah.
Tiga jago dari Shoa-tang Sam-hiap rubuh mandi darah, demikian pula dengan Ho lam Ji-koay pun terluka parah. Im Yang cinjin sudah kabur dengan membawa luka. Yang masih hanyalah Pui Tik ketua Kim-coa-pang. Dia menggunakan senjata rahasia yang aneh yalah seekor ular hidup yang beracun. Tetapi kawanan Pengawal Baju Putih dan Baju Merah itu terlalu tangguh. Dalam beberapa jurus lagi, senjata ular Pui Tik dapat dihantam hancur dan orangnya terlempar kebawah panggung.
Kini yang masih dapat bertahan hanya pengacara yang baru muncul itu. Berhadapan dengan seorang Pengawal Baju Putih, ia masih dapat melayani sampai beratus jurus.
Melihat itu seorang pengawal Baju Putih yang lain tiba2 menampar dari jauh. Pengacara itu mengira kalau bukan suatu serangan. Dan ia memang tak sempat mengambil perhatian karena harus melayani serangan pengawal Baju Putih yang bertubuh tinggi besar itu.
"Hai ... !" tiba2 pengacara itu menjerit kaget, "pukulan Bu-ing-ciang ... "
Bu-ing-ciang artinya pukulan tanpa bayangar Tidak mengeluarkan suara dan tidak menghembuskan angin. Tahu2
yang menerima sudah terlempar Demikian dengan pengacara itu. Ia tak sempat berjaga ketika segulung angin mendadak sontak sudah menghantam tubuhnya sehingga seperti sebuah layang2 putus tali, tubuhnyapun melayang jatuh ki ke bawah panggung.
Gemparlah sekalian tokoh2 yang masih berada di bawah panggung. Sekonyong-konyong mereka melihat sesosok tubuh manusia yang melesat dan terus menyambut, tubuh pengacara itu.
"Hai ... !" serentak berteriaklah para hadirin yang berada dibawah panggung demi melihat penolong yang muncul itu. Mereka terkejut, terlongong-Iongong ketika melihat perwujutan dari penolong itu mirip sekali dengan pemuda gundul berkuncir satu yang melayang keatas panggung dan saat itu masih berada disitu.
Memang benar, pendatang yang menolong jiwa orang yang mengaku sebagai pengacara itu baik tampang maupun pakaiannya, seperti pinang di belah dua dengan pemuda yang mengaku bernama Blo'on.
Pemuda itu ikut terkejut sehingga tanpa disadari ia telah lepaskan tangannya, bluk ... pengacara itupun jatuh ke tanah. Pemuda itu gelagapan dan buru2 hendak menjemputnya tetapi pengacara itu cepat2 melenting bangun.
"Tak usah !" serunya. Iapun terbelalak ketika melihat tampang muka pemuda itu, "apakah engkau yang menolong aku ?" Pemuda itu mengangguk. "Apakah engkau tak menderita luka apa2 dari serangan orang2 Thian-tong-kau itu." tanya pengacara pula.
"Eh, rupanya engkau terluka, jangan mengingau tak keruan, lekas engkau beristirahat !" seru pemuda aneh itu.
Kembali pengacara itu terbelalak : "Aku memang menderita luka tetapi tak berat, masih kuat bertahan. Engkau bagaimana ? Apakah engkau tak terluka ?"
Pemuda aneh itu terbeliak : "Gila, jangan ngoceh tak keruan. Mengapa aku terluka ?"
"Bukankah engkau berada di atas panggung juga ketika terjadi pengamukan orang Thian-tong-kau ?" seru pengacara.
"Siapa yang mengamuk ? Orang Thian-tong kau ? Mengapa mereka mengamuk ? Apa mereka sudah gila ?" ber-tubi2 pemuda gundul itu melontarkan pertanyaan sehingga pengacara melongo.
"Aku tidak terluka, aku tidak mengoceh tetapi aku masih sadar," teriak pengacara itu, "tadi kita bersama di atas panggung. Aku terkena pukulan Bu ing-ciang dan seorang pengawal Baju Putih. Katanya, mengapa engkau dapat menolong aku dibawah panggung, apakah engkau tak menderita luka?"
"Gila ! Gila !" bentak pemuda gundul itu dengan mata mendelik, "karena terluka badanmu tentu panas, kepalamu pusing. Siapa yang berada diatas panggung ? Aku baru saja datang, karena melihat tubuhmu melayang dari atas, aku kasihan di cepat2 kusambuti."
Pengacara, itu melotot matanya. Ia terkejut mendengar keterangan itu tetapi sesaat kemudian ia berkata : "Ah jangan bergurau. Jelas engkau berada di atas panggung bersama ketiga ketua partai persilatan, kemudian engkau hendak menghadap ayahmu yang menjadi ketua Thian-tong-kau. Engkau hendak mengajak ketiga ketua partai persilatan itu tetapi oleh pengacara Thian-tong-kau ditolak. Karena nekad, ketiga ketua partai persilatan itu diserang dengan senjata ular
beracun oleh pengacara itu. Beberapa tokoh persilatan dan aku-pun diserang oleh barisan pengawai Baju Putih dan Baju Merah dari Thian-tong-kau ... "
"Sudah sudah !" teriak pemuda gundul itu. "bising telingaku mendengar ocehanmu. Siapa yang diatas panggung ? Aku tak merasa disana, aku baru saja tiba di tempat ini".
Pengacara itu hendak ngotot tetapi ada seorang tetamu yang maju menghampiri : "Memang kami yang berada dibawah panggung ini semua melihat bahwa pemuda ini baru saja tiba. Bukan pemuda yang berada diatas panggung."
"Ya, memang aneh sekali tetapi memang benar kalau anakmuda itu baru saja datang," seru seorang tamu lain. Beberapa orangpun segera memberi kesaksian.
"Sudahlah, jangan ribut2!" seru pemuda aneh itu, "siapa pemuda yang engkau maksudkan berada di atas panggung itu ?"
"Eng ... eh, mirip sekali dengan engkau." seru seorang tetamu."
"Benar ?" pemuda aneh itu menegas.
Serempak sekalian tetamu mengiakan. Mereka menganjurkan supaya pemuda itu naik kepanggung untuk membuktikan kebenarannya.
"Gila, masakan aku sudah berada dipanggung?" pemuda itu ber-sungut2, "apakah badanku bisa terpecah dua ?"
Sebenarnya sekalian orang hampir tak kuat menahan geli melihat tingkah laku dan ucapan pemuda itu. Lebih2 perwujutannya. Tetapi mengingati saat itu berada dalam suasana yang gawat, terpaksa mereka menahan tawa.
"Eh, tadi engkau mengatakan bahwa aku berada di atas panggung hendak menjumpahi ayahku yang menjadi ketua Thian-tong-kau. Benarkah itu," tiba2 pemuda aneh itu bertanya kepada pengacara
"Ya, benar", sahut pengacara.
"Apakah engkau sudah melihat sendiri bahwa yang jadi ketua itu memang ayahku ?" tanya pemuda itu pula.
"Melihat tetapi belum dapat membuktikan benar atau tidak", sahut pengacara.
"Mengapa ?"
"Karena dia duduk di sebuah kursi kebesaran yang jauh letaknya dari panggung dan dijaga pula dua ekor harimau besar."
"Hiih " pemuda itu mendesuh kejut, "harimau besar menjaganya?"
"Sepasang harimau menjaga dibawah kakinya, duapuluh pengawal Baju Merah, duapuluh pengawal Baju Putih, duabelas Dara baju Kuning, dua-belas dara Baju Hijau, enam kacung baju Merah dan enam kacung Baju Biru. Itulah penjagaan yang mengelilingi ketua Thian-tong-kau," menerangkan pengacara.
"Wah, hebat benar," seru pemuda aneh itu, "mengapa harus dijaga sedemikian banyaknya ?"
"Dia ketua Thian-tong-kau dan hari ini perkumpulan Thian-tong-kau hendak mengadakan upacara sembahyang besar untuk meresmikan berdirinya dan menerima anggauta. Kita semua diundang dan dipaksa masuk menjadi anggauta."
Pemuda aneh itu tertawa. "Kalian sudah tua, masakan mau dipaksa menjadi anggauta kecuali kalian memang sukarela masuk sendiri."
"Sebagian besar dari tetamu2 yang diundang adalah kaum persilatan. Mereka kebanyakan menoIak masuk anggauta. Tetapi Thian-tong-kau menggunakan kekerasan untuk memaksa...."
"Gila !" tiba2 pemuda aneh itu memekik, masakan didunia yang terang benderang ini terdapat manusia yang hendak memaksa manusia?"
"Mereka mengandalkan anggautanya yang berkepandaian tinggi dan banyak."
"Perkosaan !' tiba2 pemuda aneh itu memekik lagi dan tahu2 tubuhnya melambung keatas panggung.
Sekalian orang menjerit kaget "ketika menyaksikan gerakan pemuda aneh itu meluncur naik keatas panggung. Entah dengan cara bagaimana, tiba2 tubuh pemuda itu terus melambung lurus ke udara macam sebuah roket.
"Hai, mana manusia yang mencuri wajahku tadi ?" selekas tiba diatas panggung, pemuda aneh itupun segera berteriak.
Saat itu pertempuran sudah selesai, kawanan pengawal Baju Putih dan Baju Merahpua sudah berbaris ditempat semula. Sedang pengacara baju merah itu tengah berkemas untuk melanjutkan acara. Pemuda Blo'onpun hendak melangkah menghampiri ketua Thian-tong-kau.
Sekalian anakbuah Thian-tong-kau terkejut mendengar teriakan pemuda aneh itu. Mereka hanya melihat sesosok butuh berpakaian putih meluncur tetapi sama sekali tak mendengarkan suara apa2 ketika kaki pemuda aneh itu
menginjak lantai panggung. Dan lebih terkejut lagi ketika mereka melihat perwujutan pendatang itu.
"Hai !" serempak barisan bocah dan barisan gadis2 cantik memekik kaget. Barisan pengawal Baju Pulih dan Baju Merah pun tersentak menegaskan kepala tetapi tak mengeluarkan suara apa2. Pengacara baju merah terlongong. Hanya Blo'on yang tenang. Ia berputar tubuh lalu menghampiri ke hadapan pendatang itu.
"Ho, rupanya engkau jahanam pencuri itu !" teriak pemuda pendatang itu.
"Gila !" bentak pemuda Blo'on, "aku tak kenal engkau, mengapa datang2 engkau terus memaki maki aku ? Aku mencuri apa !"
"Tampang mukaku !"
"Lho, bukankah tampangmu masih melekat pada mukamu ?" teriak pemuda Blo'on.
"Tetapi tampangmu menyerupai mukaku!" teriak pemuda pendatang itu.
"Ini tampangku sendiri. Aku bebas memiliki tampang begini. Kalau engkau merasa sama, ganti sajalah tampangmu itu ?" seru Blo'on.
"Bagaimana caranya mengganti? Sejak lahir ibuku telah memberi tampang begini, masakan bisa diganti. Engkau saja yang harus diganti."
"Gila !" bentak pemuda Blo'on, "kalau engkau tak dapat mengganti tampang, bagaimana aku dapat?"
"Mudah saja !"
"Bagaimana ?" Bio'on kerutkan dahi.
"Hidungmu kupotong, telingamu kuiris sebelah, biji matamu kucukil satu dan bibirmu yang atas kusayat. Dengan begitu tentu lain, engkau mempunyai tampang baru dan selanjutnya tentu takkan menyerupai tampangku !" seru pemuda pendatang itu dengan gembira.
"Keparat!" teriak pemuda Blo'on, "engkau sajalah yang kuiris mukamu supaya tak sama dengan mukaku !".
"Hai, siapakah engkau ?" tiba2 pengacara baju merah menegur pemuda pendatang itu.
"O, apakah engkau yang disebut pengacara dari Thian-tong kau itu?" pemuda pendatang itu balas bertanya.
"Hm, benar," sahut pengacara baju merah dengan nada sarat, "jawab, siapa engkau !"
"Aku putera dan Kim Thian-cong !"
"Bohong!" teriak pemuda Blo'on, "akulah putera dari Kim Thian-cong, namaku Blo'on. Jangan engkau mengaku-ngaku ayahku sebagai bapakmu !"
"O," pemuda pendatang itu melongo, "engkau juga bernama Blo'on ? Aneh, aneh," ia garuk2 gundulnya.
"Apa yang aneh ?" seru pemuda yang pertama atau Blo'on.
" Mengapa didunia terdapat dua manusia yang kembar sampai pada namanya juga kembar. Orang menyebut namaku juga Blo'on. Pada hal sudah lama sekali aku mendapat nama itu," tiba2 pemuda itu termenung, kerutkan dahi lalu berseru pula : "Eh, dari mana engkau memperoleh nama itu?"
"Sudah tentu dari ayahku," sahut Blo'on.
"Salah !" teriak pemuda pendatang itu, "ayah tidak memberi nama itu. Nama Blo'on itu seorang dara yang memberi. Dara
itu bernama .... Hong Ing si Walet-kuning murid Hoa-san-pay ......" tiba2 pula pemuda itu berhenti dan merenung, "ah, di manakah dara itu ? Sudah lama dia menghilang."
Pengacara baju merah, pemuda Blo'on tertegun mendengar kata2 pemuda pendatang itu. Sesaat kemudian Blo'on membentak : "Engkau memang seorang bedebah yang berani mati. Coba, mana di dunia terdapat seorang anak yang namanya diberi lain orang ?. Masakan orangtuamu tak pernah memberi nama kepadamu?."
"Sudah tentu memberi," sahut pemuda pendalang itu, "tetapi aku lupa. Yang kuingat hanya pemberian nama dari nona itu."
"Ngaco !" bentak pemuda Blo'on, "jangan engkau mengaku-ngaku sebagai putera Kim Thian-cong. Akulah puteranya yang bernama Blo'on."
"Gila !" teriak pemuda pendatang itu. "engkau mengaku bernama Blo'on, engkau mempunyai tampang muka seperti aku, aku sih tak keberatan, kalau memangnya tampangmu begitu macam, apa boleh buat. Tetapi kalau engkau mengaku sebagai putera Kim Thian-cong, aku melarang. Tidak bisa kataku, engkau Blo'on yang lain, bukan putera Kim Thian-cong !"
Pemuda Blo'on yang pertama, tertawa gelak2 serunya : "Mana di dunia terdapat ocehan macam begitu ?. Hanya orang gila yang bisa mengatakan begitu. Masakan seorang anak tak boleh mengaku ayahnya !" cepat ia berpaling kepada pengacara baju merah dan berseru : "Hai. pengacara, lekas titahkan pengawal Thian-tong-kau untuk menangkap bangsat itu!"
Entah bagaimana rupanya, pengacara bajumerah itu menurut saja perintah pemuda Blo'on itu. Ia segera berseru kepada barisan bocah Baju Merah.
"Hayo, tamparlah kepala dan muka pemuda gila itu !" teriaknya. Dan serentak kawanan bocah Baju Merahpun berhamburan mengepung pemuda pendatang.
"Hai, engkoh gila," seru mereka, "engkau mau turun dari panggung ini atau tidak ?"
"O, kalian kawanan monyet2 kecil", seru pemuda pendatang itu, "apakah panggung ini milik nenekmu ?"
"Kami adalah murid dari Thian-tong-kau. Mendapat perintah dari Ang Li-su (pengacara baju merah) untuk mengusirmu !"
"Mengapa ?"
"Engkau mengacau upacara yang akan diadakan diatas panggung ini !"
"Upacara apa ?"
"Meresmikan berdirinya Thian-tong-kau dan menerima anggauta baru !"
"Apakah artinya Thian-tong-kau ?" seru pemuda tolol itu.
"Partai Nirwana !"
"Apakah Nirwana itu ?"
"Sebuah tempat yang indah di langit. Kelak apabila engkau mati, tempatnya hanya dua. Nirwana atau Neraka. Kalau engkau seorang baik kalau mati kelak engkau naik ke Nirwana. Tetapi kalau engkau jahat, besok engkau akan dilemparkan ke Neraka yang merupakan lautan api".
"Hih ... !" pemuda tolol itu menjerit seram "jangan, aku tak mau ke Neraka. Tetapi siapakah yang mengizinkan aku naik ke Nirwana dan yang kuasa melempar-aku ke Neraka itu ?"
"Ini ... ini ... aku sendiri tak tahu ... " bocah baju merah itu garuk2 kepala.
"Goblok !" tiba2 Blo'on yang kesatu membentak, "sudah tentu Kim Thian-cong ayahku karena dia menjadi ketua Thian-tong-kau."
"Ho, kalau begitu aku tentu naik ke Nirwana juga !" seru pemuda Blo'on yang kedua itu.
Kawanan bocah baju merah melongo : "Bagaimana engkau bisa naik ke Nirwana ?"
"Karena bapakku ketua Thian-tong-kau !" sahut Blo'on kedua dengan gembira.
"Bangsat, engkau bukan anaknya Kim kaucu. Engkau seorang pemuda berandalan yang tak ketahui asal usulmu !" bentak Blo'on kesatu. Kemudian ia memberi perintah kepada kawanan bocah baju merah itu supaya lekas menghajar.
"Nanti dulu !" buru2 Blo'on kedua berseru serta menyetop dengan kedua tangannya, "bagaimana kalau aku masuk menjadi anggauta Thian-tong kau supaya besok naik ke Nirwana ?"
Blo'on kesatu terkejut mendengar ucapan itu.
"Tidak," seru pengacara baju merah atau Ang li-su, "Thian-tong-kau tak menerima anggauta orang gila !"
"Tetapi dia," Blo'on kedua menuding kearah Blo'on kesatu, "apakah juga bukan pemuda gila ?"
"Dia adalah putera Kim kaucu !" bentak Ang li-su dengan marah.
"Tidak !" teriak Blo'on kedua, "aku hendak menghadap bapakku !" Habis berkata ia terus melangkah maju.
"Ang-hay-kun, lekas hajar orang gila itu !" pengacara Ang li-su cepat memberi perintah.
Enam bocah baju merah segera menyerbu Blo'on kedua. Mereka tak mau menggunakan senjata karena menganggap bahwa Blo'on kedua ini seorang pemuda yang sinting dan bertangan kosong. Cukup dengan tinju saja, tentulah pemuda sinting itu sudah ter-kencing2 minta ampun.
Duk, duk, duk , ...
Terdengar tinju berjatuhan pada tubuh Blo'on kedua tetapi serentak dengan itu terdengarlah keenam bocah baju merah itu menjerit keras, menyurut mundur seraya mendekap tinjunya : "Aduh, duh ... "
Ang li-su terkejut : "Mengapa kamu itu serunya.
Sambil masih menjerit-jerit kesakitan, salah seorang bocah itu beneriak: "Tulang2 jariku remuk," teriaknya.
"Badannya seperti besi ..." kata bocah yang lain.
Ang Li-su terkejut. Tetapi ia tetap tak percaya kalau pemuda tolol itu memiliKi ilmu Thiat-po-san atau ilmu kebal. Segera ia perintahkan barisan bocah Baju Biru untuk maju.
Rupanya borisan bocah Baju Biru itu telah melihat apa yang dialami kawan-kawannya baju merah. Tetapi merekapun juga tak percaya. Begitu maju mereka terus menghujani Blo'on kedua dengan pukulan dan tendangan.
"Bocah edan !" rupanya Blo'on kedua itu marah melihat tingkah laku kawanan bocah yang hendak mengeroyoknya. Serentak ia menggerakkan kedua tangannya dan serentak terdengarlah kawanan bocah Baju Biru itu menjerit-jerit kesakitan seraya mendekap kepala : "Aduh .... aduh .... minta ampun gua .....".
Ternyata kuncir rambut kepala dari keenam bocah Baju Biru itu telah dicomot oleh Blo'on ke dua. Karena caranya mencomot dengan paksa, maka bocah2 itupun menjerit kesakitan.
Tetapi beberapa saat kemudian setelah rasa sakit berkurang, mereka memberingas marah ; "Kurang ajar ! Engkau berani mencabuti rambut kepalaku !"
Keenam bocah itu maju menyerang lagi. Tetapi mereka tidak mau gegabah menyerang dengan membabi buta melainkan secara teratur dalam bentuk barisan Pat-kwa-tin. Bahkan karena marah, merekapun menghunus pedang.
"He, kalian makin lama makin berandalan. Masakan masih kecil sudah mau jadi jagal manusia. Siapa yang suruh engkau begitu ? Siapa yang mengajari ?" Blo'on kedua menyemprot mereka.
Namun barisan bocah Baju Biru itu tak menghiraukan lagi. Mereka segera bergerak-gerak dalam formasi barisan Pat-kwa-tin. Rapi dan dahsyat, empat penjuru delapan arah, pedang berhamburan menusuk tubuh Blo'on kedua.
Tetapi pemuda pendatang itu tak gentar. Begitu mereka mendekati tiba2 ia meludai muka mereka, berputar tubuh sambil meludah supaya merata kepada keenam bocah itu.
"Aduh .... aduh .... ampun mak ......." ke enam bocah itu menjerit dan mendekap mukanya! merintih rintih minta
ampun. Ludah yang menyemprot muka mereka terasa seperti percikan besi panas yang membakar muka mereka. Mereka menjerit-jerit seraya lari masuk kedalam.
Kali ini Ang-li su benar2 terkejut. Kedua barisan bocah Baju Merah dan Baju Biru itu walaupun tergolong anakbuah Thian-tong-kau yang paling rendah tingkatannya tetapi rata2 mereka memiliki ilmusilat yang tinggi. Jago silat kelas dua kalah dengan mereka. Bahwa dua kali pemuda sinting itu talah memberantakan kedua barisan bocah Thian-tong-kau, benar2 membuat Aug-li-su atau pengacara baju merah, terlongong-longong heran. Benarkah pemuda sinting itu memiliki ilmusilat yang sakti ?
"Bi-jin-kun, majulah," pada lain saat Ang-li-supun berteriak memberi perintah kepada barisan gadis cantik Baju Kuning. Ia tak percaya kalau pemuda sinting itu berilmu sakti.
Selusin dara cantik Baju Kuning segera berhamburan maju mengepung Blo'on kedua. Melihat itu, merahlah muka Bloion kedua.
"Ih, dunia terbalik, jaman edan," gumamnya seraya menutupkan lengan baju pada mukanya seperti orang malu.
Barisan gadis cantik Baju Kuning itu tediri dari gadis2 yang berusia 16-17 tahun. Mereka masih bersifat kekanak-kanakan. Melihat muka Blo'on kedua, tingkah laku dan kata-katanya, dara2 itu tertawa geli. Jika tadi berhadapan dengan beberapa tokoh silat yang naik kepanggung, mereka bersikap ketus. Tidaklah demikian pada saat itu. Disamping geli, merekapun mempunyai setitik rasa kasihan terhadap pemuda yang tolol itu.
"Eh, mengapa engkau tutupi mukamu ?" tegur salah seorang dara yang agak berani.
"Malu, dong!" sahut Blo'on kedua.
"Malu ?" dara itu menegas, "mengapa malu?"
"Karena kalian menonton mukaku
"Hi, hi, hi....." pecah gelak tawa kcduabelas dara cantik itu demi mendengar jawaban itu.
"Gila ! Dunia sudah terbalik, jaman sudah edan!" teriak Blo'on kedua, "dulu anak perempuan tak berani keluar pintu kalau lihat anak laki malu2 kucing. Tetapi sekarang gadis2 malah berani berhadapan dengan anak laki, memandang dan menertawakan. Berani juga mengajak berkelahi, menerkam seperti harimau."
"Hai, jangan ngoceh seperti orang sinting !" seru salah seorang dara baju kuning, "apakah engkau sakit kalau tampang mukamu dilihat orang ?"
"Ya, kalau sakit, copot saja tampangmu itu!' teriak yang lain.
"Tampang kaya kuda meringis saja, masakan malu dilihat. Kita yang malu melihat!" seru seorang lagi.
"Huh," dengus Blo'on kedua, "sakit atau tidak itu urusanku. Pokoknya, aku tak mau kalau anak perempuan melihat wajahku."
"Cis, siapa sudi melihat tampangmu !"
"Buktinya engkau melihat."
"Karena heran mengapa manusia mempunyai tampang seperti setan, hi. hi, hi......"
"Bi-jin-kun, jangan buang waktu bicara yang tak berguna. Lekas pukul setan itu!" teriak pengacara baju merah yang rupanya tak sabar mendengar pembicaraan mereka.
Barisan gadis Baju Kuning itu segera hendak bergerak menyerang.
"Nanti dulu !" tiba2 Blo'on kedua berseru menyetop dengan tangannya, "kalau kalian memang hendak mengajak berkelahi dan memaksa aku harus berkelahi, akupun akan melayani. Tetapi aku masih ada sedikit urusan yang lupa kuperhatikan. Aku minta tunda dulu sebentar."
Barisan dara Baju Kuning yang sudah bergerak itu terpaksa berhenti lagi. Salah seorang berseru : "Mau apa engkau ?"
"Aku teringat mempunyai kenalan seorang rahib yang menurut kata orang2 dibawah panggung saat ini sedang menderita luka. Maka aku hendak menjenguknya dulu dan kalau perlu akan mengobatinya".
"Bi-jin-kun, lekas hajar !" kembali pengacara baju merah berteriak.
"Tidak !" seru seorang dara kepada Blo'on kedua, "engkau harus kami hajar dulu, baru nanti kulempar ke bawah panggung."
"Eh, anak perempuan kejam," teriak Blo'on. menolong orang sakit, suatu perbuatan yang baik. Engkau anak perempuan seharusnya mempunyai hati welas-asih, mengapa malah begitu kejam ?"
"Ngaco !" bentak dara itu segera bersiap lagi, "engkau boleh turun panggung tetapi gundulmu harus engkau tinggal disini"
"Gila, masakan gundul suruh tinggal di sini? Aku kan tak dapat bicara dengan sahabatku itu?", bantah Blo'on kedua, "tidak, aku harus menjenguknya dulu ... "
Habis berkata ia terus ayunkan langkah. Ke-dua belas dara Baju Kuning itu terkejut. Mereka segera berhamburan menyerbu. Tetapi mereka menjerit kaget ketika tubuh Blo'on kedua itu tiba2 melambung ke udara lalu melayang melampaui kepala mereka dan terus meluncur ke bawah panggung.
Kejut kedua belas dara Baju Kuning itu bukan kepalang. Baru pertama kali itu mereka melihat suatu gerak loncatan yang luar biasa anehnya. Jelas pemuda itu tak menggunakan kakinya untuk memijak lantai, tetapi tahu2 tubuhnya dapat meluncur ke atas seperti roket. Ilmu apakah itu '.'
Entah bagaimana, tiba2 saja Blo'on kedua i tu teringat akan Ceng Sian suthay yang sedang menderita luka. Selekas berada di bawah panggung ia segera meminta keterangan pada seorang lelaki tua, berwajah riang, rambut putih, pakaian putih.
"Pak tua, apakah engkau melihat seorang rahib yang tengah menderita luka ?" tanyanya.
Orangtua baju putih tertawa : "Ya, mereka bertiga sedang beristirahat di sana, "orang itu menunjuk ke sebelah barat, "pada gunduk batu cadas itu !"
"Kamsia", pak tua " seru Blo'on kedua. la berjalan menuju ke barat.
"Tunggu, budak," tiba2 orangtua itu berseru sehingga Blo'on kedua tertegun dan berpaling, "mengapa engkau hendak kesana ?"
"Rahib itu aku kenal, karena dia terluka maka aku hendak menolongnya", jawab pemuda itu.
"Eh, apakah engkau dapat menolong mereka? Mereka terluka kena racun ular emas yang amat berbisa sekali. Mungkin tiada dapat ditolong lagi jiwanya."
"Benarkah ?" Blo'on kedua terkejut.
"Mengapa aku bohong kepadamu ?" kata orang tua baju putih itu, "kecuali engkau membawa pil dari dewa, barangkali saja dapat menolong jiwanya".
"Belum tentu." bantah Blo'on kedua dengan kata2 yang aneh, "coba saja, mungin aku bisa."
"Mari kuantarkan," tiba2 orangtua baju putih itu menghampiri dan mereka terus berjalan menuju ke batu cadas yang terletak di bagian barat lembah.
Benar juga mereka melihat Ceng Sian suthay, Hong Hong tojin dan Hoa Sin sedang pejamkan mata duduk bersemedhi menyalurkan tenaga-dalam. Wajah ketiga tokoh itu sudah mulai membiru menandakan bahwa racun sudah mulai mengalir kemu ka mereka.
"Suthay, engkau kenapa?' seru Blo'on kedua ketika tiba dihadapan ketiga tokoh itu.
Ceng Sian suthay terkejut, membuka mata lalu pejamkan lagi. Bibirnya bergerak-gerak tetapi tak dapat mengeluarkan suara. Rupanya racun sudah menyerang bagian muka sehingga bibir sampai sukar digerakkan.
"Sudahlah, suthay itu sedang berjuang untuk menghalau racun yang saat ini sudah mulai merayap kebagian muka. Jangan engkau tanya apa2 lagi kepadanya," orangtua baju putih itu memberi nasehat
Siapakah yang mencelakai suthay ?" tanya Blo'on kedua.
"Pengacara baju merah yang berada di atas panggung itu. Dia memiliki senjata ular emas yang amat beracun," kata orangtua baju putih.
"Hm, baik, tunggu saja nanti akan kuhajar orang itu," kata Blo'on kedua, la segera mengambil bungkusan dari dalam kantong baju, menghampiri Ceng Sian sutliay, lalu memasukkan dua tiga butir benda kecil ke mulut rahib itu. "Telanlah !" ia menjentikkan benda kecil itu. Tampak kerongkongan Ceng Sian suthay bergerak-gerak seperti menelan.
"Siapakah kedua orang ini ?" tanya Blo'on kepada orangtua baju putih.
"Hoa Sin ketua partai Kay-pang dan Hong Hong tojin, ketua partai Go-bi-pay". kata orang tua itu.
"O, apakah mereka bersahabat dengan suthay ini ?" tanya Blo'on kedua pula.
"Sudah tentu." jawab orangtua baju putih, "mereka datang bertiga".
"Kalau begitu mereka juga harus ditolong," kata Blo'on kedua seraya mengambil dua butir benda merah lalu dimasukkan kedalam mulut Hong Hong tojin, "telan dan salurkan tenaga-dalam terus."
Hanya waktu hendak memberi minum obat kepada Hoa Sin, Blo'on kedua itu menemui sedikit kesulitan. Mulut Hoa Sin terkancing rapat, wajahnya pun lebih gelap.
"Dia paling menderita," ujar orangtua baju putih."
"Apa sudah mati ?" tanya Blo'on kedua. "Belum, memang tadi kututuk jalandarahnya untuk mengurangi penderitaannya. Juga sudah kuberi obat, sayang tak berhasil," orangtua baju
putih i itu memberi keterangan, "andaikata orang lain, saat ini tentu sudah mati. Tetapi dia mempunyai daya tahan yang hebat."
Blo'on kedua tak mau bicara apa2 lagi. Ia memasukkan beberapa butir benda merah itu kedalam mulutnya sendiri lalu menempelkan mulut ke mulut ketua Kay- pang itu. Kemudian dengan sekuat tenaga ia meniupkan kedalam kerongkongan sampai benda2 merah itu meluncur turun kebawah dada dan perut.
Setelah itu ia menyiak kelopak mata Hoa Sin. tampak mata pengemis itu mendelik, ketika dilepas kelopaknya tak mau menutup lagi. Terpaksa Blo'on kedua bantu menutupkannya.
Selama pemuda itu mengobati, orangtua baju putih hanya diam mengawasi saja. Wajahnya selalu cerah, bibirnya selalu mengulum senyum. Susah gembira selalu begitu sehingga sukar diketahui isi hatinya.
Blo'on kedua tertegun, kerutkan dahi. Pada lain saat, ia menampar-nampar gundulnya sampai beberapa kali, diam lalu melonjak, terus menghampiri Hoa Sin.
Orangtua baju putih itu tersenyum lebar. Tetapi bukan berarti ia tertawa. Ia merasa heran, tetapi karena tak dapat mengerut dahi, maka mulutnya yang merekah lebar. Demikianlah kalau ia terkejut atau heran atau memikir, tentu mulutnya merekah senyum.
Mulut orangtua itu makin merekah lebar ketika melihat Blo'on menunduk dan lekatkan mulut pada ubun2 kepala Hoa Sin. Sepintas pandang pemuda itu seperti mencium ubun2 kepala orang, tetapi sampai beberapa saat belum juga dilepaskan.
Orangtua baju putih itu hendak bertanya tetapi tiba2 ia terkejut ketika melihat perobahan muka Hoa Sin. Dari biru gelap, berangsur menjadi terang dan makin terang.
Setelah itu barulah Blo'on kedua menyudahi dan beralih ketempat Hong Hong tojin. Juga ia mencium sampai beberapa saat pada ubun2 kepalai ketua Go-bi-pay itu. Air muka Hong Hong tojin pun makin terang. kemudian pemuda itu beralih ketempat Ceng Sian suthay. Hanya ketika berhadapan dengan rahib itu, ia kerutkan dahi bersangsi.
Rupanya orangtua baju putih itu tahu apa yang dipikirkan pemuda itu, cepat ia berseru : 'Tak perlu sungkan, lakukanlah pengobatan seperti terhadap-kedua pangcu itu."
Akhirnya Blo'on kedua menurut. Ubun2 kepala rahib dari Kun-lun pay itu diciumnya sampai beberapa saat. Setelah wajahnya mulai terang, baru lah dilepaskan.
"Pak tua," seru Blo'on kedua, "apakah engkau dapat membuat orang berak ?"
Orangtua baju putih tersenyum lebar karena heran, serunya: "Apa maksudmu?"
"Racun sudah terhalu ke perut, sekarang tinggal mengeluarkan. Mereka harus berak supaya racun itu keluar."
"O," seru orangtua masih tersenyum, "ya, baiklah."
Ia segera menghampiri Hoa Sin lalu mengurut jalandarah pada pinggangnya. Setelah itu berganti mengurut pinggang Hong Hong tojin. Hanya waktu tiba giliran Ceng Sian suthay, orangtua itu tersenyum lebar sekali.
"Hai, pak tua, mengapa engkau tersenyum ? Jangan engkau mempunyai pikiran kotor terhadap seorang rahib!", seru Blo'on kedua.
Orangtua baju putih itu tersenyum lebar sekali, seperti orang tertawa. Demikianlah kalau ia malu.
"Jangan salah faham, budak." seru orangtua itu "aku harus mencari daya untuk mengeluarkan racun itu. Kedua lelaki itu, memang telah berak tetapi janganlah rahib itu disuruh berak juga."
Habis berkata ia terus menutuk punggung Ceng Sian suthay. Tak berapa lama Ceng Sian menguak keras dan muntahkan segumpal darah berwarna hitam. Dua tiga kali ia muntahkan darah itu. Setelah muntah wajahnya tampak segar. Ceng Sian suthay pejamkan mata untuk melanjutkan menyalurkan tenaga-dalam memulihkan kekuatannya.
Celaka adalah Hoa Sin dan Hong Hong. Karena tubuh masih lemas, keduanyapun berak ditempat. Wajahnya tampak makin segar. Keduanya juga masih pejamkan mata untuk memulihkan tenaga.
"Bagus, bagus, baru pertama kali ini aku menjumpahi seorang budak yang dapat mengobati, racun ular emas. Hai, hebat benar kepandaianmu, budak, dari mana engkau memperolehnya....."
Tetapi orangtua itu cepat hentikan kata-katanya karena terkejut. Ternyata pemuda tadi sudah tak berada disitu.
"Gila !" orangtua itu menjerit kaget, "mengapa sama sekali tak kudengar ia pergi ? Bocah itu benar2 ajaib sekali kepandaiannya."
Ternyata setelah melihat ketiga orang itu sudah tak kurang suatu apa hanya tinggal memulihkan tenaga, diam2 Blo'on kedua itupun segera pergi.
Ia hendak memenuhi janji untuk melanjutkan pertempuran dengan barisan gadis2 Baju Kuning. Dengan sebuah gerak loncatan yang aneh, pemuda itu pun sudah meluncur ke atas panggung Tetapi selekas tiba dipanggung ia terlongong heran.
Ternyata. saat itu diatas panggung sedang berlangsung pertempuran antara seorang kakek bertubuh kate dengan keduabelas gadis Baju Kuning itu.
Kakek kate itu berlincahan sambil ber-kaok2 tak henti2nya : "Hai isteriku, Sun kuihui mengapa engkau menyerang aku ... mengapa engkau lupa kepadaku ... akulah suamimu , . mengapa engkau lari pada malam pengantin itu . , "
Barisan gadis Baju Kuning merah wajahnya karena malu. Mereka muak, jengkel dan marah ke pada kakek kate yang entah dari mana datangnya, tiba2 muncul di panggung terus langsung menghampiri gadis2 cantik itu.
"Hai, siapakah engkau kakek kate !" teriak pengacara baju merah.
Tetapi mana kakek kate itu tak mau peduli, la tetap merayu pada seorang gadis Baju Kuning. Sudah tentu gadis itu marah dan menghantamnya. Tetapi tak kena.
"Kalau engkau ingin memukul aku, pukullah supaya engkau puas," seru kakek kate itu, "tetapi setelah memukul engkau harus ikut aku tinggalkan tempat orang2 gila ini."
Blo'on kesatu yang masih berada dipanggung segera membentak : "Hai, kakek gila, jangan mengacau disini!"
Namun kakek kate itu tetap tak mempedulikan: '"Jangan ikut campur urusanku, budak !"
Blo'on kesatu marah. Segera ia mencengkeram bahu kakek kate itu terus disentakkan ke bawah. Uh ... kakek itu hanya
tersurut selangkah tetapi pemuda itu sendiri terlempar beberapa langkah.
Blo'on kesatu marah. Ia segera maju dan memukul punggung kakek kate tetapi serentak itu juga ia menjerit dan terpental dua tiga langkah kebelakang.
Blo'on kesatu makin marah. Serentak ia mencabut golok pendek dan terus menikam. Tetapi saat itu, Blo'on kedua segera loncat dan mendorongnya : "Hai, jangan kurang ajar kepada kakekku !
Blo'on kesatu terdorong beberapa langkah ke samping, hampir saja ia jatuh.
"Terima kasih, bu ... eh, gila engkau !'" teriak kakek kate itu demi melihat Blo'on kedua. "Eh kau memukul mengapa sekarang menolong aku I
"Siapa yang memukul engkau ?" seru Blo'on.
"Engkau", seru kakek kate itu seraya rnenuding kepada Blo'on kesatu, "itulah ... !"
"Itu bukan aku !" seru Blo'on kedua.
"Gila. dia jelas engkau !"
'"Bukan, aku disini dan dia disana. Tidak sama !"
"Siapa bilang tak sama !" bentak kakek kate itu, "rupamu ya rupanya !"
"Dia memalsu diriku !" seru Blo'on kedua.
"Apa ?" kakek kate itu terbelalak, "ada pemalsuan manusia ?"
"Jangan dengar keterangannya," tiba2 Blo'on kesatu berseru, "dialah yang memalsu diriku. Aku Blo'on putera Kim Thian-cong, ketua ...
"Berhenti !" bentak kakek kate itu. "Blo'on aku pernah mendengar namanya, tetapi Kim Thian cong, siapa itu, jangan ngoceh tak keruan !"
Kemudian kakek kate itu berkata lagi : "Engkau Blo"on dan engkau juga Blo'on. Mana yang tulen ini ?"
"Sudah tentu aku, " seru Blo'on kesatu.
"Belum tentu, " sahut kakek kate, "harus di uji dulu baru tahu mana yang tulen mana yang palsu."
"Boleh " sahut Blo'on kedua.
"Engkau kenal siapa aku ini ?" tanya kakek kate.
"Kenal." kata Blo'on kedua.
"Siapa aku ?' tanya kakek kate.
"Manusia kate !" sahut Blo'on kesatu.
" Benar ... eh, kurang ajar engkau !" kakek pendek deliki mata kepado Blo'on kesatu.
"Tahu engkau siapa namaku ?" serunya.
Blo'on kesatu meramkan mata tak menyahut.
"Kakek Lo Kun !" seru Blo'on kedua.
"Dan engkau?" desak kakek itu pada Blo'on kesatu.
"Lo Kun si kakek kate !" teriak Blo'on kesatu keras2
"Betul", sambut kakek pendek, la tak menyadari bahwa pengetahuan nama yang diucapkan Blo on kesatu itu diperoleh setelah mendengar keterangan Blo'on kedua.
"Dia meniru aku !" seru Blo'on kedua.
"Ya. benar", tiba2 kakek Lo Kun teringat, "tidak terpakai. Harus diulang, sekarang engkaulah yang harus memberi jawaban dulu," serunya kepada Blo'on kesatu.
"Lo Kun !" cepat Blo'on kesatu berseru.
"Dan sekarang engkau !" seru Lo Kun kepada Blo on kedua.
"Lo Kun," sahut pemuda itu.
"Gila !" bentak kakek Lo Kun, "sekang engkau meniru dia !"
Blo'on kesatu tertawa, Blo'on kedua meringis seperti kuda menyengir ....  

Pendekar Blo'onOnde histórias criam vida. Descubra agora