Part Fourteen - The First Generation (Ariel)

10.4K 726 18
                                    

Aku benar-benar merasakan sesuatu yang nggak benar disini. Aku berada dikuburan bersama Liza dan kedua pengawalanya, mungkin. Aku selalu benci kalau harus pergi kekuburan. Liza hari ini tampak cantik, seperti kemarin. Dia menggunakan kaos ketat berwarna putih dan jaket kulit berwarna coklat tua.

“Aku lupa mengenalkanmu pada kedua partnerku.” Liza tersenyum tipis, yang entah bagaimana membuatku selalu merinding. “Edward Kline.” Dia menunjuk pada laki-laki yang berumur tiga puluh tahunan. “Matthew Anderson.” Dia menunjuk laki-laki satunya.

“Hai.” Aku berusaha melambaikan tanganku senormal mungkin. Oke. Ada apa denganku? Aku tidak pernah bergetar hebat seperti ini selain ketika kejadian tiga tahun yang lalu itu. Kejadian buruk itu. Apakah ini pertanda kalau bekerja sama dengan Liza adalah ide yang buruk?

Liza mengajak kami mengelilingi kuburuan dan berhenti disebuah semak-semak. Matthew membuka semak-semak itu dan aku melihat sebauh terowongan rahasia didalam sana. Aku tidak pernah melihat terowongan ini sebelumnya. “Jadi tempat ini?” tanyaku.

“Aku menduga tempat ini adalah tempatnya. Bisakah kau mencari informasi hanya dengan aku memperlihatkan tempat ini padamu?”

Aku mendekati terowongan itu penuh minat dan memegang dindingnya yang tebruat dari kayu lapuk. Sesuatu memasuki kepalaku dengan segera. Sesuatu yang tidak beres. Aku merasakan sesuatu meninju perutku dan aku terlempar jauh keluar dari terowongan itu. Kepalaku pusing mendadak dan semuanya terasa buram. Aku merasakan beberapa tangan, mengguncangku, berusaha menyadarkanku.[]

Aku melihat tujuh orang remaja sedang bergandengan tangan ditengah-tengah gua kosong, diatas sebuah batu besar. Mereka tampak bersungguh-sungguh, seolah-olah mereka menginginkan permohonan mereka terkabul sekarang atau tidak selamanya. Doa mereka makin menjadi-jadi ketika suara meriam terdengar diluar gua.

“Aku rasa ini semua tidak bakal berhasil!” Seorang perempuan berumur lima belas tahunan dengan rambut coklat tua, yang sepertinya kukenal, berteriak ditengah-tengah ruangan. “Kita semua bakal meninggal!”

“Kita tidak boleh putus asa seperti itu, Brigitta Welch.” Seorang perempuan berumur tujuh belas tahunan dengan rambut pirang dan wajah anggun bagaikan porselen membuka matanya. “Kita bakal baik-baik saja.”

“Aku sedikit meragukannya, Selene Boone.” Seorang perempuan yang lain, berambut tembaga tidak umum, berdiri dari tempatnya dengan wajah cemas, namun tetap terkendali. “Keadaan diluar makin menjadi-jadi. Apakah ini yang disebut oleh orang-orang? Perang dunia?”

“Kita harus berusaha lagi! Jangan putus asa Brigitta Welch, Cynthia Rainhood.” Seorang laki-laki Asia berumur dua puluh tahunan, dengan rambut hitam kelam dan mata cemerlang menjawab. “Kita sudah berdoa selama satu jam. Kita butuh waktu lebih banyak. Kata-kata Selene benar, kita tidak boleh putus asa terlebih dahulu.”

“Takara Kajiwara, temanku.” Laki-laki yang berumur delapan belas tahunan memegang pundak laki-laki Asia itu. “Yang seharusnya kita lakukan sekarang adalah keluar dari sini dan mencari tempat aman. Bertahan hidup hingga perang ini selesai.”

“Aku baru pertama kali mendengar Andrew Wildblood begitu putus asa.” Seorang laki-laki lain, berumur sebaya dengan Andrew Wildblood, dengan mata picik tetapi terlihat cerdik, menjawab.

“Kita harus memantapkan hati kita!” Selene Boone menjawab dengan tenang, tetapi tegas. “Kita harus sepakat dengan apa yang kita inginkan. Kita tidak bisa terpecah belah seperti ini.”

“Selene benar.” Seorang perempuan berumur lima belas tahun dengan rambut coklat kemerahan indah menjawab. “Ini semua bakal sia-sia kalau kita tidak putus asa kita. Aku yakin bersama-sama kita bisa.”

Luna Wand: The Unknown StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang