Part Twenty Eight - Result (Meredith)

8.1K 709 15
                                    

Suara itu membuat jantungku berdebar tidak karuan. Mataku melebar tidak habis pikir setelah mendengar suara yang baru saja kudengar itu. Bianca yang berdiri didepanku itu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, hanya bisa menatapku tidak percaya dengan mulut terbuka lebar. Aku melihat Ethan yang keluar dari arena pertandingan melihat kita berdua dengan wajah muram. Lalu, seorang laki-laki berjas hitam menggiringku, membuat sejuta pertanyaan yang terproses dalam otakku terbuyarkan.

Aku ingin menangis sekarang, benar-benar ingin menangis. Aku tidak pernah berpikir kalau aku harus membunuh temanku sendiri, ataupun temanku akan membunuhku. Aku tidak habis pikir dengan apa yang berada dipikiran Liza. Apakah pertandingan hari ini tidak seberapa seru sehingga dia ingin membuat sebuah kejutan dengan menyuruhku dan Bianca bertarung dengan sekumpulan singa yang akan memakan kami apabila kami tidak saling membunuh?

Jeruji besi didepanku terbuka keatas, membuat lamunanku terbuyarkan. Laki-laki berjas hitam itu mendorongku keluar dari arena pertandingan. Aku mengedarkan pandanganku kearah kursi penonton. Joe, London, dan Tyler menatapku tidak percaya. Rosalie menutup wajahnya, tampak ingin menangis. Aku melihat Clairine yang berada disamping Liza menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan isak tangis, tetapi matanya bengkak karena menangis.

Bianca berdiri didepanku dengan pisau ditangan kanannya, jarak kami hanya lima meter. Aku melihat wajahnya masih tidak percaya dengan keputusan yang dibuat oleh Liza itu. Tubuhnya bergetar dengan hebat, air mata turun dari kelopak matanya, namun dia buru-buru menghapusnya agar tidak terlihat lemah.

Kurungan besi itu turun dari angkasa, lalu bunyi terompet mebahana. Waktu kita hanya lima menit untuk saling membunuh. Hanya satu orang yang bisa selamat dari kematian ini. Kalau aku menjadi orang lain yang berada diluar arena, kalau misalnya aku menjadi Rosalie yang ingin kabur dari sini dan tidak memiliki hubungan yang erat denganku dan Bianca, siapa yang akan dia pilih untuk hidup? Siapa yang lebih berguna?

Bianca Kajiwara.

Bianca lebih berguna daripadaku. Seharusnya aku sudah tahu, Bianca lebih berguna dariku. Walaupun dia gampang panik dan tidak percaya diri, dia lebih terlatih daripadaku. Dia gampang menyelinap dan mengumpulkan informasi dari musuh tanpa diketahui orang lain. Dia cekatan, lincah, dan lebih mengerti masalah ini daripada aku. Dari semua segi yang ada untuk mengalahkan Liza, Bianca berada diatasku.

Aku tersenyum tipis dengan apa yang kupikirkan. Apakah itu artinya aku harus menyerah dan membiarkan diriku meninggal agar Bianca bisa memenangkan pertandingan ini dan membawa yang lain kabur dari sini? Apakah aku sanggup meninggal karena keinginanku sendiri? Apakah aku rela?

“Apakah kau benar-benar siap untuk meninggal? Apakah kau benar-benar siap dengan kematian? Kau nggak bisa bilang kau siap meninggal kalau kenyataannya kau belum siap. Setidaknya kalau kau ingin meninggal, meninggal dengan cara yang tidak sia-sia. Kita berlima bisa selamat dari sini. Bersama-sama!”

Aku mengingat kata-kataku pada Tyler dua hari yang lalu. Setidaknya kalau kau ingin meninggal, meninggal dengan cara yang tidak sia-sia. Kalimat ini terproses secara terus menerus dalam pikiranku. Kalau aku meninggal, setidaknya aku meninggal dengan cara yang tidak sia-sia kan? Liza tidak membutuhkan pemenang dalam pertandingan ini, dia tidak peduli kalau kita berdua meninggal. Kalau kita berdua meninggal dimakan oleh singa, semuanya akan sia-sia.

Aku tersenyum tipis, menatap Bianca, tetapi lebih pada diriku sendiri. Aku berpikir terlalu lama, begitu juga dengan Bianca yang berada didepanku. Aku mendengus sinis, Bianca melihatku tidak percaya. Aku menatapnya setajam mungkin, sesinis mungkin. Walaupun aku tidak bisa menyalurkan emosi penuh amarah pada Bianca saat ini, setidaknya kelakuanku bisa membuatnya terinterupsi untuk melawanku.

“Bagaimana kalau kita membuatnya menjadi lebih sederhana?” tanyaku berteriak selanatang mungkin, tetapi lebih pada Bianca. “Kita harus saling membunuh disini, kalau kau tidak mau singa-singa itu yang memakan kita,” kataku. “Ayo kita lakukan sekarang,” tambahku dengan suara lebih pelan, mulai ragu dengan ide aku harus meninggal.

“Apakah kau yakin?” tanya Bianca, dia terlihat menganggap itu ide yang tidak bagus.

Aku mengangguk perlahan, menahan diri agar tidak menangis. “Waktu kita tinggal dua menit sebelum kumpulan singa yang akan keluar dari sini,” ucapku dengan suara senormal mungkin.

Bianca didepannya tampak mulai membuat kuda-kuda, bersiap-siap untuk membunuhku dengan pisaunya yang diarahkan kedepan. Aku berdiri ditempatku, mengangkat pedangku kedepan. Aku berteriak sekeras mungkin, berusaha membuang keraguanku yang tidak ingin meninggal demi orang lain. Bianca juga berteriak sekeras mungkin, lalu dia berlari secepat mungkin kearahku. Aku juga mulai berlari dengan langkah goyah, tetapi berusaha agar tetap cepat. Kita semakin dekat, jarak kami hanya sekitar setengah meter, tenggorokanku terasa kering karena terus berteriak. Pegangan pisau ditangan Bianca tampak sangat kuat, mengarah kepadaku. Aku memejamkan mataku sambil membuang pedangku, membiarkan air mata turun dari kelopak mataku. Aku membuka mataku, Bianca berada tepat didepanku dan memandangku tidak percaya, dia berusaha untuk mengerem lajunya, tetapi seakan sia-sia.

Aku mengerlingkan mataku kesekitar untuk terakhir kalinya, dan tatapanku bertemu dengan Rosalie. Apakah kalian tahu cara mereka membuang orang-orang yang sudah meninggal tadi? Mereka membuang enam orang sekaligus dalam sebuah tong sampah besar berwarna kuning yang berada diluar arena pertandingan. Aku melihat lima burung bangkai berjaga disini, seakan-akan Liza menyediakan burung bangkai itu untuk langsung memakan mayatnya. Kata-kata Rosalie pada waktu itu!

Mataku melebar tidak percaya dan melihat pisau ditangan Bianca sudah benar-benar dekat denganku, tetapi dia hendak melepaskannya. Aku memegang tangan kanan Bianca agar tidak melepaskan pegangannya pada pisaunya, lalu menusukannya pada perutku sedalam mungkin. Rasanya benar-benar sakit, tubuhku seakan-akan terbakar, dan tusukannya tepat ditempat Amadeus menyerangku tadi.

Dari sudut mataku, aku melihat Bianca menatap tangannya yang memegang pisaunya penuh dengan darahku, tampak tidak percaya dengan apa yang dia perbuat. Dia memegang tubuhku agar tetap berdiri, walaupun tubuhku sudah terasa goyah, rasa sakit ini benar-benar menyiksaku. Aku memegang perutku yang terasa benar-benar sakit sekarang. Aku menatap Bianca sayu, mataku seakan-akan ingin segera tertutup. “Jangan buat usahaku sia-sia,” kataku, air mataku menetes turun. “Selamatkan semuanya, tetap jalankan rencana tanpaku. Kau lebih berguna daripadaku. Aku tahu.”

“Apa maksudmu?” teriak Bianca tepat diwajahku. “Kenapa kau melempar pedangmu dan membuatku menusuk perutmu?” teriaknya lagi. “Apa kau pikir aku sekuat itu?” tambahnya dengan suara tidak jelas, air mata memasuki bibirnya.

Aku hanya tersenyum lemah padanya. “Kau bisa. Aku tahu kau bisa.” Aku memejamkan mataku, seharusnya aku mengingat kata-kata Rosalie itu sebelum aku melakukan tindakan konyolku ini. Seharusnya aku lebih pintar daripada ini. Namun semuanya terasa tidak sia-sia sekarang. Aku merasa benar-benar yakin Bianca bisa menjalankan misi ini dengan baik. Aku tahu dia bisa. Aku membuka mataku untuk terakhir kalinya. Aku melihat Bianca menangis diatas, merangkulku sangat erat ditengah-tengah padang pasir ini. London, Tyler, dan Rosalie berdiri dari tempat mereka tidak percaya. Claire? Dimana Claire? Kenapa aku tidak melihatnya disisi Liza? Apakah keputusanku ini benar-benar betul? Bagaimana kalau dia kehilangan semangat untuk hidup karena kematianku?

Ethan. Dimana Ethan? Aku mendongkakkan tubuhku, melihat jeruji besi tempat grup A dapat melihatku. Aku melihat Ethan berlutut didepan jeruji besi itu, air mata turun deras dari kelopak matanya tetapi dia terus menatapku. Aku tersenyum tipis padanya. Aku merasa benar-benar bersyukur bisa melihatnya untuk terakhir kalinya. Aku menutup mataku tanpa penyesalan sekarang.

Ketika aku menutup mataku kembali, rasa sakit diperutku benar-benar menyiksaku. Penderitaan ini terasa tanpa akhir. Aku hanya ingin segera meninggal sekarang, tanpa rasa sakit yang berkepanjangan ini. Kenapa semuanya terasa lama? Kenapa waktu harus berjalan selama ini?[]

Luna Wand: The Unknown StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang