2. Shackle of the Past (2)

291 83 64
                                    

metisazia An0801

Ann memejamkan mata ketika ia telah sampai di apartemennya. Gadis itu tersenyum sembari meresapi ketenangan, juga kebahagiaan yang ia dapat dalam satu hari ini. Tak pernah ia sangka sebelumnya jika pria yang tak mendapatkan posisi nomor satu dalam hatinya dapat membuat ia sebahagia ini, sedangkan yang selalu mendapat posisi nomor satu dalam hidup Ann malah menyakitinya tiap hari tanpa kenal lelah.

Pria itu memang tak pernah muncul lagi di keseharian Ann dalam wujud nyatanya yang dulu sangat dipuja Ann. Namun karena tragedi yang mengakhiri hubungan indah tersebut, Ann cukup merasa terluka tiap hari hanya dengan mengingatnya.

"Ah, sudahlah. Mengapa aku malah mengingatnya?"

Untuk mengusir pikiran yang berkelana kian jauh, Ann mengusap cincin pertunangannya lembut. Hatinya terus ia paksa untuk meyakini bahwa Peter adalah pria terbaik yang bisa ia dapat di seluruh penjuru dunia dan sepanjang umurnya.

Cincin bertuliskan 'P & A' itu menghias jari manis Ann dengan sangat indah, seindah hal yang mampu diberi Peter untuknya seorang.

Maka sebelum keyakinan tersebut luntur karena bayangan masa lalu, Ann mencoba untuk terlelap.

***

"Apa yang paling kau suka di dunia ini?" Sepasang mata cokelat itu menatap gadis di sampingnya dengan sorot mata teduh, membuat keindahan musim gugur terasa kian damai.

Merah dan jingga yang tetap berjatuhan sepanjang musim adalah lambang dari perasaan mereka. Yang meskipun jatuh, tak akan pernah takut untuk bersemi, walau akhirnya jatuh kembali.

"Aku?" Gadis itu terkekeh. "Semburat jingga dari ucapan selamat tinggal matahari setiap harinya. Aku ... aku sangat menyukainya."

Mata cokelat itu berbinar kembali karena lengkungan bibir yang tercipta, mengutarakan betapa berbedanya gadis yang sedang dia pandang dalam-dalam tersebut. "Alasannya?"

Sang gadis menghela napas sejurus kemudian, merasakan euforia yang membuncah karena hal sesederhana itu. Ya, sederhana. Papan kayu yang difungsikan sebagai tempat duduk, jembatan di atas riak air yang sangat tenang, daun-daun yang berguguran, pendaran jingga di langit, dan tentu saja ... pria yang ia cintai.

"Karena matahari tak pernah meninggalkan tugasnya untuk menyinari bumi--sebenarnya--dengan pancaran yang ia berikan pada sang Bulan yang juga berefek pada terangnya langit malam, walau matahari tak lagi menampakkan wujudnya.

Pun, salam perpisahan yang diberikannya sangatlah indah, membuat semua orang menanti kapan dia kembali, walau tak ada yang tahu hal apa yang menghiasi hari esok."

"Kalau begitu," tangan kanan pria tersebut bergerak meraih tangan kiri sang gadis, lalu meremasnya lembut, menyalurkan kehangatan yang ia tawarkan untuk menghadapi dinginnya salju esok hari, "aku akan melakukannya untukmu. Aku berjanji, dan kuharap kau akan terus mengingat janji itu."

***

Ann terbangun dengan keringat yang bercucuran. Mengapa ... mengapa pria dalam mimpinya tak pernah membiarkan Ann bahagia, bahkan setelah sang pria menghilang?

"Oh Tuhan, apa itu tadi? Mengapa selalu sama?" tanya Ann lirih pada dirinya sendiri.

Semua mimpi yang menyerang Ann sejak hari itu seolah merupakan satu manifestasi dari kenangan menakjubkan, yang berubah menjadi tragedi karena akhir mengerikan yang ditorehkannya.

Bahkan setelah ia memutuskan untuk mengikat dirinya dalam satu hubungan yang lebih serius dengan orang lain, Ann masih mengalami mimpi yang sama.

Ann telah berusaha dengan menggunakan berbagai cara untuk terlepas dari belenggu mengerikan tersebut. Namun fakta tak terelakkan selalu mengatakan bahwa Ann tak akan pernah mampu keluar dari zona jebakan dari masa lalunya sendiri.

"Mengapa kau tak pernah mau melepasku dari semua luka yang terus kau torehkan? Kau lebih baik mati!" maki Ann pada sang pria yang selalu membuatnya frustrasi, walau yang dimaki tak akan pernah mendengar satu pun perkataannya.

Menyadari sang pria tak akan mau melepasnya dari bayang mengerikan tersebut, Ann turun dari tempat tidur dengan entak kaki yang cukup keras. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah tetap terjaga hingga pagi, karena takut mimpi yang sama akan menyeretnya kian dalam.

***

Pagi hari ketika Ann menyalakan ponselnya, hal yang pertama kali ia dapat adalah pesan singkat dari Peter. Pria itu menyampaikan pada Ann bahwa ia tak bisa memenuhi janji yang telah ia utarakan sebelumnya, karena salah seorang pasiennya sedang berada dalam kondisi buruk.

Peter mengucap kata 'maaf' sebanyak puluhan kali dalam pesan tersebut, membuat Ann tersenyum geli. Dan sebagai gantinya, pria itu berjanji akan mengajak Ann ke tempat yang ingin ia tunjukkan, segera setelah si pasien membaik.

"Syukurlah," ucap Ann diiringi dengan embusan napas lega.

Sebagai pasangan normal, seharusnya Ann memang merasa kecewa karena janji sang kekasih tak dapat ditepati karena urusan mendesak. Namun sebagai gadis yang masih terjebak dalam tragedi masa lalu, Ann merasa sangat lega.

Karena jujur saja, ia belum siap untuk menemui Peter, setelah semua yang terjadi pada malam kemarin.

The Worst ThoughtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang