3. Déjà vu (1)

306 77 76
                                    

metisazia An0801

Dan, ya ... benar saja.

Beberapa hari setelah pesan singkat Peter—yang sarat akan permintaan maaf—sampai kepada Ann, pria itu telah muncul di depan pintu apartemen Ann dengan raut menyesal. Ada sedikit rasa bahagia dan lega yang terpancar di sana, namun masih terlalu lemah karena ditutupi pancaran sesal yang amat kuat.

Sontak ketika Ann membuka pintu, gadis itu terkejut setengah mati. Bayangkan saja! Peter muncul di depannya dengan gurat lelah yang sangat kentara—hingga wajahnya sedikit memucat—setelah menghilang selama beberapa hari.

"Ada apa?" tanya Ann sedetik setelah mampu menguasai dirinya dari keterkejutan yang menggulung.

Tanpa menatap Ann dengan kilat lesunya, Peter menjawab dengan satu kata aneh, "Maaf."

Mungkin bagi Peter, permintaan maaf memang bukan hal aneh yang harus ia ucapkan. Namun bagi Ann, hal itu sungguh aneh dan tak berguna. Bukan karena kesalahan Peter yang melampaui batas, namun malah karena Peter yang tak berbuat satu kesalahan pun—menurut Ann.

Karena tanpa Peter tahu, Ann menjalani hari biasanya di rumah sakit tempat ia praktik, tanpa merasa kecewa. Ann sama sekali tak merasa dirugikan karena janji Peter yang terpaksa harus diundur. Gadis itu juga hanya memasang senyum saat rekan-rekannya mengucapkan 'selamat' atas pertunangannya, tanpa merasa euforia yang membuncah.

Dan bahkan, diam-diam, Ann merasa lega selama Peter menghilang, karena kehadiran si misterius yang lenyap tak membekas.

"Kau tidak perlu meminta maaf." Ann meraih lengan Peter dan mengusapnya lembut. "Aku mengerti keadaanmu."

Namun setelah Ann berucap demikian pun, tampaknya Peter masih bertahan pada opininya. "Tidak, Anna. Aku telah melanggar janji. Dan bahkan hal itu terjadi tepat setelah pertunangan kita. Mungkin aku memang tak pantas mendapat kepercayaanmu."

"Kau tahu?" Ann terkekeh. "Kau terlalu mendramatisir."

Peter masih tetap memandang ubin, seolah benda kotak berwarna putih itu jauh lebih menarik daripada wajah kekasihnya sendiri. Bukan, bukan itu maksud yang sebenarnya. Peter merasa bersalah walau ia juga merasa terlalu berlebihan, hingga tubuhnya tampak terlalu lemah untuk sekadar mengangkat kepala.

Namun tanpa diduga—dengan raut serius semacam itu—Peter masih mampu berujar, "Hanya kau yang mampu membuatku seperti tadi."

Maka tanpa dapat ditahan maupun diantisipasi, Ann tergelak. Sungguh, Peter tampak terlalu polos dari usianya. Karena ucapannya jauh lebih menyerupai seorang anak kecil yang telah memecahkan vas bunga milik ibunya, lalu merayu sang ibu agar tak murka.

"Kau terlihat pucat," ucap Ann setelah meredam gelaknya. "Masuklah dulu. Ceritakan padaku apa yang telah terjadi. Kau bisa menganggapnya sebagai tebusan dosa jika kau tak mau memercayaiku bahwa aku benar-benar tak merasa kecewa—apalagi dirugikan—karenamu."

Peter berjalan gontai ke dalam apartemen Ann sembari berujar dengan nada lirih, "Baiklah."

Ann tersenyum. Bahkan saat Peter menampilkan wajah masamnya saja, pria itu telah mampu membuat Ann menemukan satu rasa bahagia yang baru, jenis bahagia yang bahkan tak menimbulkan satu letupan pun dalam hatinya untuk mulai menggumam nama Peter.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" Ann duduk di samping Peter setelah mengambilkan pria itu air putih, berharap hal kecil tersebut mampu sedikit mengusir rasa bersalah Peter.

Peter menenggak sedikit air putih yang diberikan Ann. Lalu sejurus kemudian, ia mengedikkan bahu sembari memijat pelipisnya. "Salah seorang pasienku mengalami pneumonia kelimanya selama tiga tahun ini. Sementara yang terakhir hampir saja membunuhnya."

The Worst ThoughtDonde viven las historias. Descúbrelo ahora