26

1.7K 74 21
                                    

"Bokuuu!!! Aaaah!"

Aku tidak tahu sejak kapan, tapi dalam waktu yang sangat singkat, tinggi dan berat badannya sudah jauh melampauiku. Tenaganya luar biasa kuat. Kuduga karena dia senang berolah raga. Kudengar dari Mama dia adalah atlet renang nomor satu di sekolahnya. Maka semalam, saat dia datang untuk mendengar keluh kesahku, segalanya terjadi seolah tanpa perlawanan yang berarti.

Aku sama sekali tidak menyangka.

Dia adik yang sangat menghormatiku! Kupikir, saat dia bertanya ke mana aku akan mengajaknya makan-makan karena aku sedang berulang tahun, aku bisa sedikit membagi rasa sakitku dengannya. Aku mengajaknya ke apartemen untuk mendengarku mengaduh mengenai hubungan percintaanku yang kandas.

Sebelum sampai di apartemen, aku sengaja memintanya mampir ke tempat Yudai untuk menjemput barang titipanku yang berupa beberapa botol minuman keras. Aku ingin mabuk dan melupakan segalanya. Tentu saja kularang Boku minum bersamaku. Usianya baru beganti delapan belas beberapa minggu lalu. Dia belum cukup umur untuk minum. Siapa sangka aku justru menggali kuburanku sendiri?

"Kak ... aku masukkan sedikit saja, kakak sudah begini!" katanya dengan suara riang yang menyebalkan. Dia sama sekali tak peduli meski aku menangis kesakitan. Tanpa mempedulikanku, dia menghunjamkan alat kelamin raksasanya memenuhi diriku. Aku menjerit sewaktu benda itu membelesak masuk tanpa ampun.

"Masuknya gampang banget, kak. Nggak kayak semalam!" engahnya di telingaku. Suara beratnya membuatku bergidik ketakutan.

"Tolong ...," rintihku putus asa. Kedua tanganku dikuncinya jadi satu dengan hanya satu tangannya, sementara tangannya yang lain merengkuh habis pinggangku. Sesekali memainkan dua scrotumku yang menggantung pasrah, atau menggelirik ujung penisku yang kelelahan memuntahkan sperma. "Jangan lagi. Kamu bisa membunuhku!"

"Ini pelan-pelan, kak ...," katanya sambil mengentakkan pinggul, menanamkan penisnya jauh lebih dalam ke lubang pantatku.

Pelan-pelan apanya!

Pantatku masih dipenuhi cairan orgasmenya yang semalam. Sewaktu dia memasukkan jari-jarinya kembali ke lubang anusku, jari itu menggelincir dengan sangat mudah. Saking mudahnya, dia tertawa gembira. Seperti menemukan mainan baru. Aku sendiri masih terlalu lelah untuk menolak. Sekali lagi, setelah semalam entah apa yang dilakukannya saat aku kehilangan separuh kesadaran, aku digagahi oleh adik lelakiku sendiri.

Boku sembilan tahun lebih muda dariku.

Ibunya dan ayahku menikah saat usiaku masih belasan.

Sewaktu pertama kali kami dikenalkan, usia Boku masih tujuh tahun. Aku enam belas.

Mama dan Papa sengaja membawa kami sejak mereka kencan pertama. Hubungan keduanya memang terjalin karena perjodohan kawan-kawan mereka. Oleh sebab itu, meski baru awal jumpa, mereka sudah tahu ke mana arah hubungan itu. Mereka ingin kami saling mengenal dan ikut menentukan jadi atau tidaknya mereka melanjutkan hubungan.

Papa sudah lama sekali menduda.

Beliau adalah lelaki baik yang luar biasa setia. Sejak Mama meninggal karena kanker rahim sepuluh tahun sebelumnya, aku tak pernah sekalipun melihat Papa mengencani seorang wanita. Aku selalu mengatakan bahwa aku tidak keberatan jika sebuah keluarga baru membuatnya bahagia, tapi Papa paling-paling hanya tersenyum. Mengiyakan, tapi tidak pernah bertindak.

Baru saat itu Papa menyerah.

Suatu hari, aku kesulitan mencari kemeja putih yang akan kukenakan untuk satu acara sekolah. Kubilang, aku ingin meminjam salah satu kemejanya, tapi beliau mencibir. Katanya, aku nggak akan muat dalam kemejanya. Aku masih kecil, kemejanya terlalu besar untukku.

Kimi Ga IrebaWhere stories live. Discover now