25

1.4K 70 6
                                    

           

"Putus?" ulangnya.

Aku mengangguk sambil bersendawa. Kepalaku memang sudah agak berat karena pengaruh alkohol, tapi sepertinya aku masih mampu menuturkan kejadian per kejadian dengan runtut dan baik. Boku menyimak sembari menimang gelas kola di tangannya. Kalau nggak setengah mabuk begini, mungkin aku akan malu mengakui kegagalanku.

Aku selalu menjadi role model-nya.

Sejak kami jadi saudara, aku selalu memperlihatkan sisi terbaikku agar bisa menjadi contoh karena Boku selalu mengagumiku. Harus kuakui, caranya memandang dan mengidolakan membuat hidupku terbebani. Bahkan ketika akhinya aku ingin merasakan menjadi manusia mandiri yang lebih bebas, kuputuskan keluar dari rumah supaya dia tidak melihat sisi-sisi burukku.

"Boku ... kalau nanti nyari pacar, cobalah untuk tidak memberikan seluruh hatimu padanya," racauku sebelum menenggak minuman lagi. Argh. Pendanganku sudah mengabur. Menuang sloki berikutnya saja kesulitan. "Sial!" umpatku saat air minuman mengalir dari bibir botol, tapi tidak tertampung tepat di dalam gelas.

"Aish ... kakak, jangan kebanyakan minum!" ucap Boku sambil menyahut botol minuman dari tanganku. Dia bergerak cepat dan menghilang di dapur.

Sepertinya Boku benar. Kadar toleransiku terhadap alkohol memang sangat rendah. Beberapa sloki saja dan aku sudah sulit menguasai diri. Kepalaku pening. Berputar-putar. Sesuatu seperti mengaduk-aduk isi perutku. Belum lagi pandanganku mengabur karena mataku jadi susah dibuka lebar. Urgh ...! Aku mau muntah.

Jangan muntah di sini.

Boku masih belum juga kembali. Terpaksa, aku merangkak ke kamar mandi dengan susah payah.

"Kakak!" panggil Boku yang baru kembali dari dapur. "Kakak mau apa?"

"Uhg!"—aku nggak bisa menjawab. Isi perutku sudah naik ke kerongkongan saja rasanya. Kubungkam mulut untuk mencegah ledakan muntah.

"Mau muntah?" tanyanya sambil menghambur dan menegakkan tubuhku. Pelan dan lembut, dia membuatku bersandar di dadanya yang bidang.

Mualku entah bagaimana langsung menyurut. Kucoba menenangkan diri dengan menyerahkan seluruh berat badanku ke Boku. Kepalaku ada di tulang selangkanya. Samar-samar, aku bisa menghidu aroma maskulin menguar dari tengkuknya. "Kamu sudah jadi pemuda yang seksi," bisikku tanpa sadar di telinganya. "Sudah lama aku ingin bilang ini. Kakak benar-benar bangga sekaligus iri melihatmu tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan."

Pipi dan telinga Boku yang sontak merona membuatku tertawa. Dia menjauhkan wajahnya dan menatapku marah saat aku mencoba mencubit pipinya.

"Kenapa?"

"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!" protesnya.

Mataku membelalak sebelum tertawa terbahak-bahak. Ini karena mabuk. Biasanya, aku selalu berhenti mengolok-olok kalau dia sudah marah, bukannya tertawa. Boku meronta-ronta kuacak rambutnya.

"Ayolaaah," bujukku. "Jadilah adik yang manis seperti dulu. Hiburlah kakak yang sedang sakit hati. Sini sini biar kurapikan rambutmu, Boku."

Dia cemberut. Pipinya menggelembung, tapi dengan berat hati akhirnya menurut. Kepalanya disodorkan ke bahuku sehingga posisi kami kini berbalik. Kepala Boku ada di lekuk leherku. Berat tubuhnya bersandar di punggungku. Kami begitu dekat dan lekat, sampai aku bisa mendengar degup jantungnya berpacu. Napasnya memburu.

"Aku benar-benar kakak yang memalukan," ratapku. "Seharusnya kamu nggak melihat kegagalanku yang satu ini."

Kepala Boku menggeleng di bahuku.

Kimi Ga IrebaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz