Chapter 3: Before we met

9.4K 863 58
                                    

Hai semua aku balik lagi.. makasih yaa sudah vote and comment di chapter sebelumnya. Ini lanjutannya. Selamat membaca semuanyaa :)

***********

Draco baru saja membuka pintu depan Manor. Tubuhnya benar-benar mendambakan kasur hari ini. Saat dirinya berjalan lebih dalam ke dalam Manor, dia menemukan ibunya tengah menyesap teh di ruang tamunya.

"Kenapa kau baru pulang, Draco? Kau terlambat satu jam hari ini." ujar Narcissa yang menaruh cangkir tehnya lalu menghampiri Draco yang berhenti tidak jauh dari sofa yang diduduki ibunya.

"Hari ini tugas di Kementerian cukup banyak. Aku sangat lelah, Mother. Bisakah kita membicarakannya lain kali?" tanya Draco yang terus menghela nafasnya. Narcissa melihat anaknya mengerutkan keningnya.

"Memang kau tahu apa yang ingin kubicarakan?" tanya Narcissa yang mengelus surai pirang anaknya. Draco menunduk.

"Apapun yang ingin kau katakan. Simpan saja untuk besok. Aku benar-benar butuh istirahat." Jelas Draco yang membuat Narcissa tersenyum. Narcissa sungguh tidak tega melihat anaknya. Sebenarnya dia awalnya menolak kalau Draco ingin bekerja di Kementerian. Dia dan Lucius punya cukup banyak uang untuk menghidupi keluarganya, Draco, dan beberapa cucu dan cicit mereka kelak. Tapi tetap saja, Draco memaksa untuk bekerja di Kementerian. Bukan hanya untuk mencari kesibukan semata, tapi dia juga ingin keluarga Malfoy kembali dipandang baik di dunia sihir. Bukan lagi sebagai pengikut Voldemort yang kejam.

"Baiklah." Narcissa pun membiarkan Draco menuju kamarnya. Draco tersenyum lalu mengecup pipi kanan Ibunya dan berjalan menuju tangga. Langkahnya berhenti ketika Narcissa kembali memanggilnya, "Draco..."

"Aku sudah makan, Mother." Ujar Draco tanpa berpaling dan kembali melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Narcissa pun tersenyum. Apa yang akan dikatakannya sudah dijawab oleh Draco. Dengan anggun, dia pun kembali duduk di ruang tamu dan kembali menyesap tehnya.


Sesampai di kamar, Draco berbaring ditempat tidur berukuran King Size-nya. Terdapat ukiran ular yang terukir dengan rumit di bagian kepala tempat tidurnya. Pakaiannya masih lengkap, bahkan sepatunya masih terpasang dengan baik dikakinya. Harinya benar-benar melelahkan namun menyenangkan karena Hermione Granger yang mengawali senin paginya.

Senyumnya kembali terpulas di bibir tipisnya. Entah sudah berapa kali Ia tersenyum sepanjang hari ini. Mungkin tak terhitung. Dan itu semua karena sosok Hermione Granger yang terus mengisi kepalanya. Jantungnya hampir meledak saking cepat berdetaknya dan saking banyak darah yang berdesir disekujur tubuhnya.

Dia mulai merencanakan bagaimana pertemuannya dengan Hermione selanjutnya akan berjalan. Mereka sudah memutuskan akan pergi ke panti asuhan hari sabtu siang. Dan kini Draco bingung harus bagaimana memperlakukan Hermione. Hermione adalah gadis yang istimewa, jadi harus diperlakukan istimewa pula. Pikirannya langsung terlintas dengan memberikan Hermione bunga atau cokelat sebagai kenang-kenangan atas pertemuan mereka yang direncanakan ini. Namun dirinya ragu. Bagaimana jika Hermione bukanlah sosok perempuan yang menyukai pria romantis? Kepada siapa dia harus bertanya bagaimana cara mendekati seorang gadis?

Baru saja otaknya terlintas sebuah nama, orang yang difikirkannya tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dengan wajah ketakutan seperti dikejar hantu. Pintu kamar Draco pun dikunci secara sihir dan orang itu menghampiri Draco.

"Tolong, mate. Daphne terus menerus menerorku. Dia ada didepan sekarang dengan Narcissa. Tolong, mate." Pinta Blaise Zabini dengan wajah penuh peluh dan mata yang tidak tenang. Matanya terus memperhatikan pintu dan Draco secara bergantian, takut orang yang menjadi alasan ketakutannya ini datang dan mendobrak pintu kamar Draco.

My GrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang