2 (New Version)

12.3K 1K 11
                                    

Aku terduduk lemas diatas padang rumput hijau yang terletak tidak jauh dari rumahku berada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku terduduk lemas diatas padang rumput hijau yang terletak tidak jauh dari rumahku berada. Kulihat aliran air sungai yang mengalir pelan disebelah kananku dengan sendu. Kulirik sekali lagi bunga mawar merah yang kupetik dipekarangan rumahku sebelum kejadian naas itu terjadi. Peristiwa yang merenggut paksa nyawa kedua orang tuaku.

Warna merah bunga mawar ini mengingatkanku akan darah yang mengucur deras dari perut yang sudah terkoyak. Ya, perut Ayah dan Ibuku. Aku melihat sendiri, wajah kesakitan keduanya yang coba mereka tutupi dariku. Dengan napas yang terputus-putus berusaha menekan waktu agar ajal sudi untuk menunggu lebih lama lagi sebelum kematian menghampiri. Ayah dan Ibuku berpegangan tangan menahan rasa sakit juga perih demi menyalurkan sepatah dua patah kata untuk diriku yang masib berusia 12 Tahun.

"Sa-sayang, an-anakku. Kam-kamu, per-pergilah ke tempat, ya-yang sangat ja-uh, dari ru-rumah ini. Jangan per-pernah, kem-kembali lagi ke-kesini. Janji?" itu perkataan terakhir dari mendiang ibuku sebelum kematian datang menjemput hidupnya.

Sementara Ayahku yang masih terlihat sadar kala mengetahui istrinya yang telah terlebih dahulu meninggalkannya, menahan tangis kesakitan juga kesedihan. Ia menatapku yang berdiri agak jauh namun tetap dalam pandang terdekat dengan perasaan yang kacau. Aku tahu ia tak kuasa meninggalkanku seorang diri didunia ini. Namun disisi lain, ia mengetahui bahwa sisa hidupnya sudah tidak akan bertahan lama lagi.

Matanya mulai menurun secara perlahan, sekuat tenaga coba ia resahkan agar tetap bisa bertahan lama demi menyampaikan sebuah pesan padaku. "Leyna, kau mas-masih ingat jal-jalanan aspal menuju kot-kota? Per-pergilah ke-kesana. Dan..." aku tahu ini adalah titik terakhir miliknya. Ayahku, ia tak bisa menahan lebih lama lagi. Kata-kata terakhirnya, "Sel-selamatkanlah hidupmu, Al-Aleyna."

Detik itu juga, diriku yang masih kecil mengetahui suatu fakta. Bahwa aku telah kehilangan Ayah dan Ibuku. Mereka tak'kan pernah bisa kembali lagi walau hanya untuk memelukku, menenangkanku kala aku menangis, mengusap rambutku sebelum tidur, juga berbagai hal yang aku dan orang tuaku dulu lakukan bersama. Kami keluarga kecil yang bahagia. Namun tidak lagi. Sekarang segalanya terasa hancur.

Tak ada air mata, untuk sesaat. Aku masih belum bisa mencerna kalimat keduanya yang terasa menakutkan bagiku. Juga tak ada kalimat yang bisa kuucapkan karena kepergian orang-orang terpenting dalam hidupku. Hanya ada perasaan hampa dan kosong. Anak sekecil itu, setidaknya mengetahui satu hal. Bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa darah. Melihat kubangan air merah disekitar jasad kedua orang tuanya, aku tahu mereka tidak akan bisa hidup lahi. Aku hanya bisa menatap kosong kedua orangtuaku yang 'tertidur' dengan ekspresi kesakitan yang terlihat jelas dikedua wajahnya.

Kuedarkan pandangan kesekitar tempat ini. Hanya ada pepohonan rindang yang bahkan menutupi cakrawala. Ya, rumah kami berada ditengah hutan. Jauh dari peradaban. Yang kutahu, ayah adalah seorang healer, ia bisa menyembuhkan orang-orang dengan obat racikannya. Kutatap sendu sekali lagi kedua orang tuaku yang tergeletak mengenaskan. Apakah tidak ada orang yang bisa menyembuhkan Ayah dan Ibuku? Dimana orang-orang yang datang silih berganti meminta obat demi keberlangsungan kehidupan mereka? Pikirku kala itu.

[MWS:1] A Werewolf Boy (New Version) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang