4

6.2K 546 29
                                    

Benyamin menatap nyalang langit-langit ruangan asing itu dan untuk sejenak tidak dapat memikirkan apapun tentang alasannya berada di sana, atau dimana sebenarnya dirinya berada saat ini, lalu mengerutkan kening. Kepalanya berputar memusingkan saat mencoba melihat kesekitar kamar, yang ternyata bukan kamar Gabby. Karena terakhir kali yang diingat Benyamin adalah kamar apartemen Gabby yang feminin serta pemandangan tubuh telanjang Gabby di atas ranjang dengan tatapan bergairah.

Benyamin mendesah dan menggelengkan kepalanya mencoba memusatkan kembali pikirannya yang bercampur aduk antara masa kini dan masa lalu - tapi tentu saja bagi Benyamin, Gabby belum menjadi masa lalu dan tidak akan menjadi masa lalu - sebelum menarik tubuhnya bangkit untuk duduk. Menilai semua perabotan mewah namun tidak mencerminkan sebuah rumah - hanya terkesan sebuah hunian sementara - dan sama sekali tidak memberinya petunjuk siapa pemilik tempat itu. Ia menyerah untuk mengingat sebelum mendesah, beranjak menuju jendela dan menyumpah saat mendapati jendela itu berjeruji seolah seseorang ingin agar Benyamin tidak pergi kemanapun walaupun jeruji itu sama sekali tidak sesuai dengan mewahnya perabotan yang ditata dengan hati-hati dalam ruangan itu. Lalu berderap dengan berang ke arah pintu untuk mencoba membukanya dan mendapati bahwa pintu itu juga dikunci.

Benyamin menggedor dan menendang dengan marah karena merasa tidak berdaya. Ia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa dan kenapa. Lalu mondar-mandir dengan gelisah di dalam kamar yang seharusnya terasa nyaman namun tidak pada tempatnya itu, mencoba lebih keras lagi untuk mengingat, sebelum berhenti dengan tiba-tiba saat kilasan ingatan tentang kejadian di rumah besar lamanya mulai menghantam otaknya dengan keras. Ia berbalik dengan perlahan saat mendengar pintu dibuka dan sosok mantan anak buahnya berdiri di sana menatapnya tanpa bergindik sedikitpun.

Benyamin sadar posisinya kini sama sekali tidak menguntungkan karena mantan anak buahnya kini berbalik melawannya - jika memang keberadaannya di tempat itu adalah pertanda adanya ancaman yang menantinya.

Benyamin bersedekap dan menatap pria yang masih bergeming di depan pintu dengan tatapan yang pasti akan membuat Benyamin mencongkel matanya jika saja pria itu masih anak buahnya, "halo, Blackhawk." Sapa Benyamin mencoba terlihat tenang padahal Benyamin ingin sekali memukul wajah menantang Blackhawk.

Pria itu menyeringai meremehkan saat mengangkat dagu membalas sapaan Benyamin, "lama tidak bertemu, Ben." Dengan penekanan pada namanya yang dulu pria itu tidak berani sebutkan saat masih bekerja padanya karena pria itu selalu memanggilnya bos. Dan ternyata rasa hormat - atau mungkin rasa takut - pria itu kini hilang saat Benyamin tidak lagi menjadi bosnya.

Benyamin tergelak pelan menyadari perputaran posisi itu. Saat seseorang yang sangat ditakuti menjadi tidak lebih berbahaya di mata orang lain dari pada anak bayi dengan dot di bibirnya yang mudah direbut.

"Dimana dia?" Tanya Benyamin dengan gigi berkeretak menahan amarahnya.

"Kebetulan sekali dia ingin bertemu denganmu," lalu melangkah mundur dari pintu agar Benyamin keluar lebih dulu menuju lorong berkarpet tebal yang meredam langkah kakinya, dan menggiring Benyamin ke sebuah ruangan dengan meja mahoni berkelas yang dapat Benyamin simpulkan adalah ruang kerja, karena pria yang duduk di depan meja itu kini sedang membaca berkas-berkas di tangannya dengan kening berkerut kesal saat Benyamin menatap tak percaya.

Pria di depan meja itu melambaikan tangan tanpa mengangkat pandangan dan membuat Blackhawk meninggalkan ruangan tanpa mengatakan apapun, disertai suara pintu yang tertutup dengan halus, sebelum pria itu melemparkan berkas-berkas di tangannya dengan kasar ke atas meja setelah mendesah lelah seolah mencoba mencari sesuatu yang salah dalam tulisan di kertas itu namun tidak menemukannya. Pria itu akhirnya mendongak dan menatap Benyamin dengan amarah yang berkilat-kilat di mata abu-abunya.

"Kebodohan apa yang sudah kau lakukan?" Desis pria itu pada Benyamin, namun Benyamin tidak sama sekali merespon amarah itu karena terlalu syok dengan apa yang dilihatnya.

Benyamin melangkah satu langkah mendekati meja dengan kening berkerut sebelum tergagap dengan tidak percaya, "kenapa kau... Aku pikir kau..." lalu menggeleng takjub sebelum tergelak pelan. "Ya Tuhan, Dad, aku pikir selama ini kau benar-benar sudah mati seperti yang semua orang bilang." Bisiknya dengan rasa rindu yang sangat besar bagai seorang bocah pada ayahnya yang selalu menjadi idolanya, namun tatapan pria dengan mata abu-abu yang sama persis dengan milik Benyamin itu menghentikan Benyamin dari nostalgia masa kecilnya.

"Hentikan ocehan kekanakanmu, Iblis Kecil, dan jawab aku. Apa yang sudah kau lakukan pada bisnisku?" Geram pria itu dengan mata abu-abu dingin, membuat Benyamin sadar dari keterkejutannya dan mulai memproses pertanyaan itu dalam otaknya.

"Aku... Ayolah, Dad, kita bisa berbicara hal lain selain bisnis di hari pertama kita bertemu kembali setelah sekian tahun lamanya." Kata Benyamin mencoba memunculkan kembali bayangan ayahnya yang dulu sangat menyayanginya, namun pria di depannya itu seolah tidak sama sekali memiliki emosi apapun selain amarah karena tahu bisnis yang dipegang oleh Benyamin kini bangkrut - atau lebih tepat dibilang, sengaja dibuat bangkrut oleh Benyamin sendiri.

"Dan kau pikir aku kembali dari neraka hanya untuk bernostalgia denganmu?" Lalu tergelak pelan, dengan geli. "Ya Tuhan. Kau benar-benar membuatku kecewa, Ben. Kau menghancurkan semua bisnis yang kubangun selama bertahun-tahun hanya dalam hitungan hari." Bentak pria itu namun tidak membuat Benyamin berjengit karena terlalu teralih oleh sikap ayahnya yang ini. Ataukah memang inilah sifat ayahnya dan Benyamin baru menyadarinya? Ya, tentu saja. Bahkan ayahnya bisa dengan mudah membunuh anak buahnya yang berniat berhenti bekerja padanya karena takut anak buahnya itu menjual informasi pada pesaing bisnis ayahnya. Dan tentu saja Benyamin seharusnya tidak terkejut jika nanti ayahnya berencana untuk membunuhnya juga karena telah membuat bangkrut bisnis yang bagi ayahnya berarti lebih dari apapun - atau siapapun.

Benyamin mendesah berat sebelum mengangguk pasrah, "ya. Oke. Aku mengaku salah. Aku sudah membuat berantakan bisnismu, Dad, dan aku berencana mengembalikan sisanya padamu karena kau sudah kembali." Putus Benyamin sebelum ayahnya menyeringai dan mengirimkan alarm peringatan pada kesadaran Benyamin bahwa semua ini pasti tidak semudah itu. Ayahnya bukan pria pemurah dan Benyamin sudah membuat rugi pria itu.

"Bukankah kau sejak kecil ingin menjadi anak kebanggaan Daddy?" kata pria itu meledek Benyamin, membuat Benyamin terganggu. "Lalu apa yang berubah, Buddy? Kenapa kau membuat dad kecewa? Apa karena gadis itu?" Dan membuat Benyamin menggeram sebelum menerjang ke arah ayahnya untuk mencengkeram kemeja depan pria itu, namun tanpa di sadari Benyamin sudah ditarik mundur oleh Blackhawk dan seorang anak buah ayahnya yang tidak di kenal oleh Benyamin.

"Jangan menyentuhnya, Dad. Demi Tuhan, jangan." Kata Benyamin menggeram marah pada ayahnya dengan berusaha menyentak lengannya dari cekalan dua pria di sisi kana dan kirinya.

Ayah Benyamin bersedekap dengan santai dan menatap pada mata abu-abu puteranya yang berapi-api sebelum berdecak meremehkan, "jadi benar karena gadis mungil pirang itu?" tanya ayahnya menantang namun membuat Benyamin berkedip sebelum tergelak keras oleh rasa gelinya.

"Gadis pirang? Maksudmu Catherine Alaska? Ah... Aku hampir saja lupa bahwa namanya sekarang Catherine Dover, tapi tidak, aku tidak peduli padanya." Jelas Benyamin membuat ayahnya menatap marah pada Blackhawk yang memberinya informasi soal Catherine Alaska.

Blackhawk menjilat bibirnya dengan gugup di bawah pengawasan Pria versi tua dari Benyamin Tillman itu, "dia... Dia hanya berpura-pura tidak peduli pada gadis itu, Bos." Elak Blackhawk membuat Benyamin berdecak.

"Kau boleh memastikannya. Kau bisa menculik Catherine, membunuhnya di depanku dan aku sama sekali tidak akan peduli." Tantang Benyamin pada ayahnya dan benar-benar di pertimbangkan oleh pria itu, namun juga membuatnya bertanya-tanya jika bukan Catherine Alaska lalu siapa gadis yang sesaat lalu membuat Benyamin sangat murka bahkan hampir memukulnya? Jika ia bisa menemukan dan memanfaatkan keselamatan gadis itu maka ia bisa mengendalikan Benyamin untuk melakukan apapun yang di perintahkannya, karena dia tahu bahwa anaknya akan melakukan apapun demi gadis yang dicintainya seperti dirinya yang dulu. Tapi dirinya yang dulu sudah mati dan dirinya yang sekarang adalah dirinya yang tanpa perasaan bahkan dengan anaknya sendiri.

"Aku akan menemukannya, Ben. Tapi sebagai permulaan, bagaimana jika kita bermain-main dengan si mungil pirang, Catherine?"

Benyamin TillmanWhere stories live. Discover now