17

2.1K 380 24
                                    

Gabby melewati lautan tubuh yang bergerak tak beraturan di sekitar lantai dansa yang sudah penuh, melemparkan senyuman dan lambaian tangan saat melewati Clarysta dan Noah yang melambai padanya saat ia lewat untuk menuju ke kamar mandi. Mendesah lega saat mendorong pintu kamar mandi dan bersandar di meja marmer tempat westafel ditanam di depan cermin besar, sebelum menegang saat baru menyadari bahwa ia tidak sendirian di sana. Gabby menajamkan pendengaranny dan wajahny memerah saat mendengar seseorang melenguh serta mendesah di salah satu bilik sudut dengan pintu tertutup, lalu ia memutar matanya dengan perasaan konyol karena sempat ketakutan setengah mati. Namun ia tetap saja terlonjak saat mendengar seseorang membuka pintu untuk masuk ke dalam, membuat Gabby berpura-pura menunduk membuka keran air untuk melihat melalui cermin di depannya dan membuat tulang punggung Gabby sedingin es saat mendapati seseorang menghalangi pintu dengan tubuh besarnya yang berbalut kemeja sutra hitam dan celana jeans hitam serta sepatu bot tebal.

Pria itu mengeryit saat mendengar desahan yang tidak kunjung berhenti dari kamar mandi ujung, bergerak tanpa melepaskan pandangan dari tatapan Gabby di cermin yang juga menatapnya dengan wajah pucat, lalu menggedor pintu kamar mandi tidak sabar.

"Pergilah ke neraka, Berengsek." Teriak pria di dalam kamar mandi sebelum kembali melenguh diikuti suara kikikan genit wanita yang menjadi partner seksnya. Dan Gabby berdoa semoga iblis itu tidak membawa kedua orang bodoh itu ke nerakanya, saat Iblis itu menggedor kembali dengan geraman kasar.

"Sebaiknya kalian keluar dari sana, atau dia akan menyeret kalian keluar, dan menendang bokong kalian sampai ke Kutub Utara." Kata Gabby tidak sabar saat pria di dalam kamar mandi itu mengumpat keras. Lalu terdengar suara kain serta resleting disentak dengan marah, lalu pintu bilik kamar mandi terbuka dan terdengar suara dengusan saat pria di dalam bilik menatap pada Benyamin Tillman.

"Kau mau bergabung, Bung? Kita bisa melakukannya bertiga," lalu bibir pria itu membentuk huruf O saat melihat Gabby di depan cermin menatap penasaran pada apa yang akan dilakukan Ben pada pria itu yang tidak sadar bahwa gadis yang dibawanya sudah kabur diam-diam - yang Gabby yakini mengenal Ben dan segala kekejamannya. Gabby mengeryit saat pria itu melihatnya dari atas hingga bawah, sebelum menyeringai, "dia boleh juga. Bahkan lebih cantik dari..."

Gabby beringsut menjauh saat Ben memukul hidung pria itu dan menyeret pria itu keluar dari kamar mandi wanita bahkan sebelum pria itu menyadari apa yang terjadi padanya. Lalu mencengkeram bibir westafel, mendengar kunci pintu diputar.

"Kau berada di kamar mandi wanita." Ingat Gabby saat sadar bahwa Ben mencoba melubangi punggung Gabby dengan tatapannya. Gabby mengangkat pandangan saat tidak mendapatkan respon dari pria itu, dan mengutuki dirinya sendiri saat bersirobok dengan mata abu-abu dingin Ben yang tanpa disadarinya sangat ia rindukan.

Ben bertahan di depan pintu tanpa mengatakan apapun, membuat Gabby tidak nyaman. Ia beranjak ke dinding sebelah cermin untuk mengambil tisu, berusaha terlihat santai saat mengelap tangannya, sebelum beranjak ke pintu namun Ben tidak beranjak sesentipun untuk menyingkir dari hadapan Gabby.

"Bisakah aku pergi dari sini?" Pinta Gabby yang justru terdengar seolah meminta ijin pada Ben.

Setelah dua detakan jantung Gabby yang membuatnya hampir saja mengeluarkan ponselnya - dan lupa bahwa ia tidak membawa tasnya - akhirnya Ben bergerak namun tidak menyingkir dari pintu, hanya menumpukan kakinya ke kaki yang lain.

"Jadi malam ini kau bersama..." berpura-pura mengeryit bingung, "tunanganmu?" Membuat amarah Gabby tersulut mendengar nada santai Ben.

"Bukan urusanmu, oke? Setidaknya Jack bukan pengecut sepertimu. Dia tidak meninggalkan aku dan dia tidak menghilang begitu saja selama berminggu-minggu lalu muncul seolah tidak ada apapun yang terjadi." Lalu mengusap rambutnya dengan tangan gemetar, mengibaskan tangannya dengan asal. "Lupakan." Membuat Ben mengeryit saat Gabby mencoba mendorongnya untuk keluar dari kamar mandi namun Ben mencekal tangan Gabby agar gadis itu tidak bertingkah seperti orang gila yang mengamuk dan menjerit.

"Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya membuatmu semarah itu padaku. Aku bahkan tidak yakin pernah melihatmu walaupun ada sesuatu yang terasa familiar darimu..." dan terhenti saat melihat Gabby mengangkat tangannya dengan wajah kaku.

"Familiar? Aku terasa familiar? Dan kau tidak mengenalku?" Tanya Gabby diambang kemarahan, mendapat kendikan bahu dari Ben sebelum Gabby mengedarkan pandangan ke sudut-sudut dinding untuk mencari kamera pengawas yang mungkin saja membuat Ben berpura-pura tidak mengenalnya, namun ia tidak menemukan apapun, yang membuatnya semakin kesal. "Oke, dengar. Jika kau tidak mengingatku, kenapa kau bersusah payah datang ke kamar mandi wanita untuk menemuiku?"

Ben menyeringai geli dan bersedekap, "mungkin karena caramu menatapku. Mungkin dari caramu menyebut namaku." Lalu melangkah semakin dekat pada Gabby yang memucat dan terhuyung mundur, "atau saat kau berada di dalam dekapan tunanganmu, kau hanya menatapku dan membayangkanku." Bisik Ben mendesak Gabby di dinding dingin kamar mandi. Mata abu-abu Ben berkilat sebelum pria itu menyurukkan hidungnya di tulang selangka Gabby dan menggeram. "Lebih manis dari yang kubayangkan." Membuat Gabby menggigit bibirnya agar tidak mengerang dan mencengkeram ujung gaunnya agar tidak memeluk Ben dengan putus asa.

Jemari besar Ben bermain-main di jemari Gabby yang mencengkeram ujung gaunnya hingga memutih, menggoda jika saja Gabby mungkin mau mengangkat gaun itu lebih tinggi dan membiarkan Ben menikmati pemandangan tubuh telanjang Gabby yang selama berminggu-minggu ini ada dalam bayangan Ben sejak ia melihat wanita itu di Reject. Namun kata-kata gadis itu yang diucapkannya dengan tergesa-gesa seolah jika tidak mengatakannya sekarang maka ia tidak akan pernah berani mengatakannya lagi, membuat Ben mengeryit dan mendongak dari leher Gabby. Mata abu-abunya menatap tajam.

"Kau... Hamil?" Tanya Ben, dan melangkah mundur seolah seseorang menyiram air dingin ke kepalanya untuk membuatnya sadar.

Wajah Gabby memucat melihat respon yang diberikan oleh Ben atas berita itu. Jika Ben mencintainya, Ben pasti akan bahagia dan rencana mereka yang tertunda akan terlaksana, mereka tidak akan mempertaruhkan keselamatan bayi mereka dengan tetap berada di Las Vegas, tapi Ben hanya berdiri di sana menatapnya seolah Gabby adalah seorang wanita gila, menjijikkan, dan aneh.

"Ya, aku hamil. Dua bulan." Kata Gabby menekankan soal usia kandungannya agar Ben mengingat kapan terakhir kali mereka melakukan hubungan intim, namun pria itu tidak merespon apapun dan semakin menunjukkan wajah sebalnya.

"Apa kau berusaha mengatakan padaku bahwa kau lebih memilihku daripada tunanganmu? Karena kau tahu aku bisa memberikan hidup yang lebih baik karena kau tahu siapa aku dan aku memiliki banyak sekali uang?" Sinis pria itu membuat Gabby mengatupkan bibirnya dan mengakat tangannya dengan cepat hampir menampar Ben, namun gadis itu mendesah berat dan tangannya terkulai lemah seolah beban dunia di letakkan di pundaknya.

"Aku tidak berharap bertemu kembali denganmu. Aku bahkan berharap tidak pernah mengenalmu di masa lalu, tapi saat kau mengingatku di masa depan, jangan mencariku karena aku pasti sudah tidak membutuhkanmu lagi." Ucap Gabby membuat Ben terdiam oleh kata-kata penuh rasa sakit yang di ucapkan wanita yang ia yakini baru ia kenal namun sangat menggugah hatinya. Tapi saat Ben akan bertanya nama gadis itu, gadis itu sudah keluar dari kamar mandi dan menghilang di tengah keramaian. Keluar dari bar itu dengan tangan tunangannya melingkar protektif di pinggulnya - yang entah kenapa Ben bayangkan akan membesar beberapa bulan lagi karena gadis itu hamil, dan sejujurnya Ben tidak tahu kenapa gadis itu memberinya kabar soal kehamilan karena semua itu tidak ada sangkut pautnya dengannya.

Ataukah ada?

Benyamin TillmanWhere stories live. Discover now