Last, But Not Least

30.5K 2K 312
                                    

Suara lonceng kecil yang dipasang di balik pintu kafe tersebut berbunyi di saat Kendra membukanya. Hari ini merupakan hari terakhir Kendra dan juga para siswa SMA Garuda lainnya untuk menikmati liburan natal dan tahun baru. Dan Kendra memilih untuk menikmati hari terakhir liburannya di Cafe Batavia, sendirian.

Sebenarnya Putra sudah mengajaknya untuk bermain di rumahnya. Namun entah mengapa Kendra sedang ingin sendiri untuk saat ini. Ia hanya membutuhkan ketenangan.

Kendra sedang celingukan mencari tempat duduk karena cafe sudah mulai ramai pengunjung. Ia sampai menggaruk kepalanya karena bingung. Untung saja ada seseorang memanggilnya.

"Ken!" Kendra langsung menoleh dengan jantung berdegup kencang karena kaget. Ternyata sudah ada Sandy di sana dengan sebelah earphone bertengger di telinganya. Sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi Kendra, melihat Sandy dengan earphone-nya.

Kali itu Sandy juga sedang sendiri. Kendra tersenyum lalu berjalan menghampiri Sandy. "Sendirian aja San?"

Sandy mengangguk. "Duduk aja sama gue Ken. Lagi penuh tuh kayaknya."

"G-gak papa nih? Lo biasanya pengen sendirian."

Sandy terkekeh. "Gak lah. Duduk aja."

Kendra menyengir lebar lalu duduk di kursi depan Sandy. Walaupun awalnya tujuan Kendra ke sini ingin sendiri, tapi kalau kepepet seperti ini, mau apa lagi. Lagipula, ia juga tidak enak untuk menolak tawaran cowok pendiam itu.

Setelah memesan minuman dan makanan, Kendra menatap Sandy yang sedang membereskan iPod dan juga earphone-nya. Karena adanya Kendra, Sandy harus melupakan dunia kesendiriannya kali ini.

"Gimana Ken? Masih bingung?"

Dahi Kendra berkerut. Maksudnya?

"Bingung apa San maksudnya?"

Sandy menarik kursi yang ia duduki agar lebih dekat ke meja. "Lo lagi bingung kan pilih Alana apa Tya? Gue tau dari Putra," jawab Sandy lalu terkekeh. Kendra langsung memutar bola matanya. Dasar panu anoa.

"Yaaa ... gitu deh, San." Kendra mengusap tengkuknya seraya cengengesan.

"Terus, lo pilih siapa jadinya?"

Kendra menghela napas berat. Dalam hatinya ia masih tidak tahu jawabannya. Ia takut salah dalam mengambil keputusan. Ia tidak mau menganggap dirinya bodoh lagi untuk kedua kalinya.

"Gak tau deh gue, San. Tapi sih kayaknya masih pilih ... Tya." Kendra masih mengingat pesan yang diberikan Putra di kantin sebelum liburan. Dan itu akan selalu Kendra ingat.

Sandy membulatkan matanya, lalu sedetik kemudian matanya kembali normal. "Wow."

"Kenapa Sa--"

"Kenapa lo pilih Tya?"

Kendra menghela napas panjang. "Gue pernah ada di posisi Tya, San. Gue gak mau bikin orang lain ngerasa apa yang pernah gue rasain, apalagi itu karena perbuatan gue sendiri."

"Jadi, intinya karena kasian? Bukan karena lo sayang dia?"

Ucapan Sandy barusan bagi Kendra sangat menohok. Ucapan Sandy barusan entah mengapa sukses membuat Kendra sadar, kalau selama ini perasaan yang ia miliki itu ... tidak benar.

Sandy berdeham. "Gue emang pendiem dan jarang berinteraksi sama kalian. Kalian mungkin pikir gue orang yang gak peduli dan gak pernah perhatiin kalian. Don't get me wrong, nyatanya gue selalu perhatiin kalian dalam diam.

"Gue tau dibalik kekoplakan Putra, ada sesuatu yang ngeganjel pikiran dia. Nyokapnya dia lagi sakit tapi Bokapnya gak peduli kan?"

Mata Kendra sukses membulat. Yang Kendra tahu, yang tahu masalah ini hanyalah Kendra. Adam pun tidak tahu, apalagi Sandy. Tapi ternyata, cowok pendiam itu lebih tahu dari Kendra. Kendra bahkan tidak tahu kalau Ayahnya Putra tak peduli lagi pada istrinya. Kendra hanya tahu kalau Ibunya Putra sedang sakit.

The Senior Next DoorWhere stories live. Discover now