Don't Want! -23-

12.6K 1.6K 305
                                    


[Tokiya]

.

.

Sambil mengeringkan rambut, aku berjalan ke dapur untuk bicara dengan ibu. Di dapur aku melihat ibu sedang memasak untuk makan malam. Aku berjalan menghampiri meja makan dan duduk memandangi ibu.

"Ibu,"

"Sebentar lagi misonya matang."

"Aku tidak bertanya soal miso! Aku ingin bicara penting dengan ibu."

Ibu menoleh ke belakang, menatapku heran. Aku hanya menatapnya balik dengan kesungguhan untuk menyakinkan dia kalau aku benar-benar ingin membicarakan hal yang serius. Ibu mematikan kompor kemudian berjalan menghampiri meja makan lalu duduk di hadapanku. "Ada apa? Tidak biasanya kau mengajak ibu bicara seserius ini." Aku menatap ibu lalu menjawab, "soal apa yang akan kulakukan setelah lulus nanti."

"Tidak terasa kau akan lulus SMA, ya.." gumamnya palan seraya tersenyum lemah.

"Hmph.."

"Apa kau sudah siap untuk menjadi orang dewasa yang sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatan dan ucapanmu?" tanya ibu.

"Jujur saja... aku tidak tahu, tapi siap atau tidak, aku tidak bisa memutar waktu kembali ke tahun pertama di SMA, bukan?"

Ibu menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Hmph, hmph, siap atau tidak siap kau akan bertumbuh dewasa." Ujarnya. "Ibu, hari ini Pak Ooyama memanggilku dan bertanya apa aku akan lanjut ke Perguruan Tinggi atau ke dunia kerja." Laporku, Ibu kembali menganggukkan kepala. "Aku ingin minta pendapat ibu, mana yang lebih baik untukku..." aku menatap ibu, memperhatikan bagaimana wajahnya terlihat lelah, ibu tidak lagi muda, hampir seluruh masa mudanya ia habiskan untuk bekerja dan merawatku.

"Tokiya sendiri ingin lanjut ke universitas atau bekerja?" ibu ganti bertanya padaku. "Aku tidak tahu, tapi aku rasa aku tidak mampu ke perguruan tinggi." Jawabku. "Kenapa begitu?" tanya ibu lagi. "Yang pertama aku tidak pintar yang kedua biaya masuk universitas tidak murah, yang ketiga aku akan tetap jadi beban bagi ibu." Jawabku, ibu membelalakan matanya kemudian mengangkat tangannya dan memukul kepalaku ringan karena tangan tidak seluruhnya menjangkau. "Tidak pernah sekalipun terpikir oleh ibu kalau kau adalah beban!" seru ibu sambil mengerutkaan dahinya marah, tapi setelah menatapku lekat ibu mulai berurai air mata.

"Kau adalah hadiah paling istimewa yang pernah kuterima... kau begitu istimewa tapi aku bukan ibu yang istimewa... aku tidak bisa memberikan hal-hal yang terbaik untukmu.." ujar ibu, aku menundukkan kepala sambil merenggut lututku, menahan air mataku.

"Siapa bilang ibu bukan ibu yang istimewa... aku tidak akan pernah mau punya ibu lain selain ibu." Balasku kemudian menatapnya lurus tanpa ragu. Ibu membelai rambutku lalu menganggukkan kepalanya dengan wajah yang basah karena air mata, "apapun pilihanmu ibu akan selalu mendukung. Tapi kau harus ingat, saat kau mengambil sebuah keputusan kau harus mengikuti kata hatimu, bukan kata orang."

"Aku mengerti..." jawabku pasti, ibu beranjak dari kursinya kemudian kembali menyalakan kompor. "Kalau kau ingin melanjutkan pendidikan ke universitas tidak perlu khawatir soal biaya, ibu punya tabungan yang cukup untuk membiayaimu," ujarnya sambil mengaduk-aduk sup di panci. "Yang paling penting kau tidak akan menyesal di kemudian hari," tambahnya. "Aku tidak yakin bisa lolos ujian masuk universitas." Gumamku pelan, "Itu gunanya kelas pembekalan bukan?! Kau itu pintar! Buktinya kau bisa masuk ke SMA Koutemae, kan? Hanya saja kau itu mudah terpengaruh orang lain dan salah jalur." Ujar ibu sambil menghela napas.

"Argghhh!! Aku tidak tahu lagi!" seruku sambil mengacak-acak rambut, "tapi Narufumi memintaku untuk memilih kelas pembekalan universitas.." lanjutku, ibu menoleh ke belakang dan menatapku serius. "Kalau begitu kau harus lanjut ke universitas!" Aku mengernyitkan alisku, "HAH?! KATA SIAPA TADI YANG BILANG IKUTI KATA HATI DAN JANGAN KATA ORANG LAIN?!" seruku membantah dengan kesal.

The Love That Won't Be Apart [ 3 ]Where stories live. Discover now