Chapter 1 : Sahabat dan Rival

2.3K 68 0
                                    

Bagian Satu

Aku dan Faris sudah berteman sejak kecil. Rumah kami berhadapan dan orang tua kami pun sangat akrab. Kami selalu di sekolahkan di tempat yang sama mulai dari TK hingga SMU. Kami pun berada di kelas yang sama yaitu kelas 2 IPA 1. Aku dan Faris jika dikelas adalah musuh bebuyutan. Kami menjadi rival abadi sejak dari TK. Kami selalu bersaing untuk menjadi juara kelas dan menjadi yang terbaik.

Kami sama-sama murid yang memiliki prestasi yang bisa dibilang cukup gemilang. Jadi bukan hal yang mustahil bagi kami untuk menjadi siswa populer di sekolah. Jika aku populer di kalangan siswa-siswa karena prestasi akademik yang kumiliki sangat mumpuni. Aku juga tergolong cewek yang lumayanlah bagi cowok-cowok di sekolah. Aku tidak terlalu jelek dan tidak terlalu cantik juga. Tapi sebagai cewek normal, aku masih cukup menariklah bagi 'mereka'. Berbeda dengan kepopuleran Faris di sekolah. Dia sih lumayan gemilang juga. Dia seperti 'Superstar' kalo kata teman-temanku. Faris selain pintar dan menjadi rival abadiku di sekolah, dia juga seorang Ketos loh. Bakatnya di bidang olahraga juga bagus. Selain menjabat sebagai Ketos, Faris juga Kapten Tim Basketnya anak-anak di sekolah. Jadi gak salah kan kalo dia populer di sekolah apalagi dikalangan cewek-cewek centil yang ingin numpang ngetop juga. Wajar sih, muka Faris bisa dibilang ganteng. Tapi kalo menurutku dia biasa aja, sama seperti cowok-cowok lainnya di sekolah.

Ada satu hal yang membuatku merasa aneh. Mengapa anak-anak di sekolah kami berdua adalah pasangan perfect. Padahal kami kan cuma bersahabat. Apa salahnya jika kami dekat dan saling peduli. Wajar aja kan sahabat saling melindungi. Itu sih menurut aku. Tapi penilaian teman-temanku berbeda. Mereka terkadang mengganggap aku dan Faris itu 'pacaran'. Aneh juga sih kalo bersahabat terus dinilai pacaran. 

Kami memang selalu bersama-sama. Gak di sekolah ataupun di rumah. Berangkat pun selalu bareng. Aku sering menumpang pergi dan pulang bareng ke sekolah dengannya. Rumah kami bukan cuma satu kompleks, tapi emang berhadapan. Jadi siapapun diantara kami yang bangun atau siap lebih dulu untuk ke sekolah, maka tugasnya adalah menjadi alarm atau bahkan bisa dibilang menganggu. Gimana enggak mengganggu, kalo pagi-pagi membuat 'sengaja' membuat keributan di dalam kamar. 

Hari ini aku bangun lebih awal dan memang setiap harinya seperti itu. Aku sudah terbiasa menjadi alarmnya Faris kalo ke sekolah. Aku melihat jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 06.15 pagi. Aku mengambil tas slempangku yang berwarna hijau tua dan warna terlihat 'buluk' karena memang seperti itu. Bukan karena tasnya yang sudah lapuk. Tas slempang dari kain tebal dengan bahan yang sangat bagus. Tas favoritku. Aku bergegas menyeberang ke rumah Faris yang berhadapan dengan rumahku.

"Aku pergi ya bun," kataku berpamitan kepada ibuku yang sedang mengolesi sehelai roti dengan selai kacang diatasnya.

"Makasi ya bunda. Love you." Aku mencium pipinya dan langsung menyambar roti yang sudah diolesi dengan selai kacang tadi.

"Raisha. Minum susunya dulu." Ibuku menawariku dengan suara yang lebih kencang karena sudah berada di ambang pintu rumah.

"Gak usah, bun. Aku bisa minum punya Faris nanti!" kataku dengan mulut yang berisi roti. 

Aku berjalan dan segera masuk ke dalam rumah Faris yang pintunya memang tidak tertutup. Aku melihat orang tuanya di meja makan sedang menyantap sarapan pagi yang sudah di siapkan oleh tante Maya.

“Pagi om. Pagi tante!”, sapaku pada mereka yang sedang duduk berdampingan di meja makan bundar dekat dapur.

“Pagi, Raisha!”, tante Maya membalasku. Tante Maya menyiapkan roti untuk om Alex yang mengesap secangkir kopi buatan istrinya.

“oh iya tan, Faris mana? Kok gak ikut sarapan?,” tanyaku memperhatikan kursinya yang masih kosong.

"Ini kan udah hampir jam 7, tapi kok dia belum nongol juga." Aku melirik arlojiku yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.

UNBREAKABLEWhere stories live. Discover now