[Bab 3]

15.9K 1.9K 24
                                    

Yang Jean tahu, menemukan laki-laki seperti Azka, mungkin tak akan terjadi dua kali di dalam hidupnya. Namun keraguan itu masih juga ada. Berkali-kali memikirkan pun, ketakutan akan merasakan perasaan menyakitkan beberapa tahun lalu kembali terulang.

Hanya saja, bukankah tak adil menyamakan Azka dengan Adrian? Bukankah Azka dan Adrian adalah dua orang yang berbeda?

"Kira-kira lebih bagus model yang mana, ya?" Jean berdeham pelan saat menyadari kalau Azka sedang berbicara padanya. Ia menoleh lalu mengulas senyum tipis pada Azka. "Adik kamu suka warna apa?" balasnya.

Azka terlihat berpikir sejenak, sambil masih memegang dua dress di tangannya. "Ng ... aku nggak tahu dia suka warna apa, sih," cengirnya. "Tapi hampir semua barang-barang dia warnanya cokelat atau krem. Itu bisa dibilang kalau dia suka di antara dua warna itu nggak, ya?"

Jawaban penuh ragu itu membuat Jean mendengus kecil. Kemudian tangannya mulai bergerak memilih beberapa dress yang ada di depan mereka. Jean sesekali kembali mengingat foto Andin yang diperlihatkan Azka saat mereka selesai makan malam kemarin. Laki-laki itu memintanya menemani membeli kado untuk sang adik. "Dari foto yang kamu tunjukin kemaren, menurut aku adik kamu lebih cocok dengan model yang simpel tapi elegan. Nggak perlu punya model aneh-aneh," ujarnya sambil mengitari beberapa dress yang tergantung di dekat mereka. "Dress warna salem gitu juga bagus, kok. Coba ya, aku lihat-lihat sebentar."

Azka memperhatikan setiap gerakan Jean. Sembari meletakkan dua dress kembali ke tempatnya, Azka mengulum senyum. Azka memang tak ingin terlalu percaya diri, tapi ia merasa setelah menonton konser Arjuna beberapa hari lalu, Jean sedikit lebih membuka diri kepadanya. Azka harus bersyukur untuk itu semua.
"Tapi ya, Ka— eh, kamu lagi bengong, ya?"

Azka sontak berdeham canggung saat melihat Jean sudah membalikkan tubuh untuk menatapnya. "Hah? Oh, enggak. Gimana? Tadi kamu mau bilang apa?"

"Oh, itu," Jean menjeda sedetik. "Daripada kamu beliin dress, gimana kalau kamu beliin kalung aja?"

Sebelah alis Azka terangkat, menunjukkan keinginnya untuk mendengar penjelasan lebih lanjut.

Melihat itu, Jean mulai tersenyum kikuk. "Bukannya aku mau ngatur atau gimana, tapi saran aja. Dibanding dress, kayaknya kalau kamu kasih kalung, bakal lebih sering dipake. Iya nggak, sih?" cengirnya.

Pertama kalinya melihat Jean sedikit salah tingkah, membuat Azka merasa gemas saat melihat wajah perempuan itu. Wajah Jean ... lucu. Biasanya, Jean tak pernah memperlihatkan raut wajah seperti itu. "Oke." Azka menepukkan pelan kedua telapak tangannya di udara. Lalu melebarkan senyum. "Tapi kamu yang temenin aku buat beli, kan?"

"Eh?"

"Itu pun kalau kamu nggak keberatan, sih."

Dalam hati, Jean hanya bisa merutuk pelan untuk setiap cara Azka meminta. Bukannya langsung menolak, yang dilakukan Jean justru menganggukkan kepalanya. Dengan dada yang kembali berdebar aneh saat melihat senyum Azka padanya, Jean mengiyakan. "Oke. Ayo, aku temenin." Keduanya lalu melangkah beriringan ke luar butik.

Azka tersenyum lebar. Setelah bertahun-tahun, untuk pertama kalinya Azka merasa sudah melakukan hal yang benar. Tertarik kepada seorang perempuan bukan hanya karena sekadar fisik. Ia benar-benar ingin mengenal lebih, dan sekarang membuatnya kembali merasa hidup. Setelah sekian lama dirinya menjalani kehidupan tanpa tahu arah.

Sekitar satu jam kemudian, Azka dan Jean sudah berada di sebuah toko perhiasan ternama. Azka membiarkan pilihan berada di tangan Jean. Ia sama sekali tak memilih, seakan percaya pada semua pilihan Jean.

"Yang ini manis banget, deh. Bandul mutiaranya simpel tapi tetap kelihatan bagus."

"Iya, bagus."

Jean memutar kedua bola matanya sesaat mendengar sahutan singkat dari Azka. Laki-laki itu benar-benar tak membantu sama sekali. Padahal kalung yang akan mereka beli adalah untuk hadiah ulang tahun adik laki-laki itu.

Menyadari kalau perempuan yang sedang memegang kalung berhiaskan satu bandul mutiara kecil itu terlihat sedikit sebal pada tingkahnya, akhirnya Azka berujar pelan. Tak mempedulikan kalau seorang pramuniaga ada di depan mereka. "Jangan kesel sama aku ya, Je. Aku percaya banget sama pilihan kamu, makanya aku nggak ikutan milih," ucapnya, dengan kekehan kecil di akhir kalimat.

Astaga, Tuhan. Jean hanya bisa menarik napasnya dalam hati. Sedikit tidak mengerti kenapa seorang laki-laki seperti Azka menyerahkan hal seperti itu kepadanya, seseorang yang baru dikenal kurang beberapa bulan belakangan.

Itu karena dia bener-bener mau coba serius sama lo, Je.

Sepenggal kalimat yang muncul di dalam benaknya itu membuat Jean merutuk dalam hati. Bisa-bisanya pemikiran seperti itu muncul! Bodoh sekali.

"Ya udah. Aku kasih kamu dua pilihan model yang menurut Aku cantik. Habis itu kamu yang pilih buat kado adik kamu. Oke?"

Kepala Azka mengangguk pelan. "Oke."

Selang lima belas menit kemudian, keduanya keluar dari toko perhiasan itu. Azka membawa sebuah paper bag kecil berisi kalung untuk diberikan pada Andin, sang adik. Azka ingin mengucapkan terima kasih pada Jean yang masih berjalan di sebelahnya.

"Aku mau traktir kamu makan malem. Mau nggak?"

Ajakan itu membuat Jean memberi senyum tipis. "Maaf ya, Ka. Aku udah ada janji sama bos saya. Malem ini mau makan malem sambil ngomongin persiapan buat gelar busana dua minggu lagi."

"Oh, oke. Mungkin lain kali kita bisa makan malem bareng lagi." Azka membalas dengan senyuman lembut.

"Ya udah. Aku duluan ya, Ka."

"Lho, aku antar aja, daripada kamu naik taksi."

"Eh, nggak usah. Kalau naik mobil, aku takut kena macet di jalan. Aku mau naik ojek aja. Soalnya, bos aku kayaknya udah sampai. Aku harus buru-buru. Makasih buat tawarannya."

Azka menghela napasnya, merasa bersalah. "Aku jadi nggak enak kamu buru-buru begini. Tahu gitu, aku nggak minta tolong sama kamu."

"Santai aja, Azka. Aku suka kok, lihat-lihat barang-barang bagus. Berasa cuci mata." Jean membalas dengan senyuman lembut.

Azka teridam sesaat saat melihat senyuman itu. Bagi Azka, senyuman itu benar-benar cantik.

"Oke. Aku duluan ya, Azka. Hati-hati di jalan."

Belum sempat membalas kalimat itu, Azka sudah melihat punggung Jean menjauh. Jean berjalan cepat ke luar parkiran. Melihat Jean yang dengan cepat menghilang membuat Azka dalam hati merutuk karena sepertinya belum bisa meyakinkan Jean—walau mereka sudah beberapa kali pergi bersama. Azka lalu merogoh saku celananya, mengambil ponsel.

Azka
Sabtu ini, jadi temenin
aku ke ultahnya Andin, kan?

Azka kemudian mengulas senyum tipis. Dadanya kembali berdebar, dan ia tahu pasti alasannya: kehadiran seorang Jeana Aprilia di hidupnya.

Seorang perempuan yang berhasil membuatnya tertarik saat pandangan pertama. Sosok yang hanya menatapnya datar, saat dirinya memeriksa perempuan itu. Padahal, tatapan dengan binar kagum ataupun penasaran, selalu diberikan padanya sejak dulu. Terutama di rumah sakit tempatnya bekerja sekarang. Namun seorang Jeana Aprilia justru benar-benar menatapnya dengan sorot biasa. Tak ada pancaran kagum di sana. Pun saat dirinya meminta nomor ponsel Jean secara langsung, perempuan itu masih bersikap tak ada yang istimewa dengan hal itu.

Lalu semuanya berjalan begitu saja. Setiap hal yang dipikirnya menjadi sebuah usaha, justru sepertinya dianggap hal biasa oleh Jean. Membuatnya kadang menjadi sedikit gemas. Karena menurutnya, Jean benar-benar pandai membentengi diri. Terlebih saat mereka selesai menonton di bioskop minggu lalu.

"Gue bener-bener mau serius sama dia." Azka menggumam kecil. Sambil menatap ke arah tempat Jean menghilang tadi. Lalu, seakan menyadari sesuatu, Azka mendengus geli. Kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, dan mulai memijat-mijat pelipisnya dengan pelan. "Jangan sampe gue dikira orang gila," ucapnya dengan senyum tipis, lalu berjalan menuju mobilnya di parkir.

=+=

salam,
yenny marissa

19 Januari 2021

#2 | Love in Fiction [Completed] ✔Where stories live. Discover now