[Bab 5]

15.2K 1.8K 34
                                    

"Kapan-kapan main ke rumah ya, Je. Kabarin Tante aja kalau kamu mau main, biar Tante masakin yang enak."

Tak ada lagi gerakan canggung atau pun kikuk saat Jean membalas pelukan hangat mama Azka. Karena seperti yang Azka katakan tadi, keluarga laki-laki itu benar-benar menunjukkan sikap yang sangat ramah padanya. Sama sekali jauh dari bayangannya, yang berpikir kalau keluarga Azka akan menatapnya tak suka dari pertama kali bertemu. "Iya, Tante. Makasih buat undangannya."

Dinar, mama Azka, kembali tersenyum lebar. Untuk pertama kalinya, dia sependapat dengan Azka soal calon yang dikenalkan putra sulungnya itu padanya. "Kalau Azka bikin ulah, jangan sungkan-sungkan lapor sama Tante," ucapnya. "Oh iya, pesen Tante cuma satu. Tante tunggu kabar baik dari kamu, ya."

"Mama, udah, deh." Azka yang berdiri di belakang Dinar, sontak berujar pelan saat mendengar kalimat sang mama. "Jangan dipaksa-paksa gitu. Ntar kalau Jean makin nggak mau, Mama juga yang rugi," gerutunya, tapi dengan raut wajah bercanda. Sang mama hanya mendelik sebal.

Mendengar kalimat itu, membuat Hans, papa Azka, tertawa kecil. Lalu menatap Jean dengan wajah tenangnya. "Mamanya Azka ini udah pengin banget punya menantu perempuan. Tolong maklumin aja ya, Je."

Setiap kalimat yang diucapkan kedua orangtua Azka bahkan Andin sepanjang makan malam tadi, bukannya membuat Jean merasa tak nyaman, tapi justru merasa senang. Keramahan keluarga Azka padanya kembali membuatnya merasakan sebuah penerimaan yang selama ini jarang sekali diterimanya. Sebuah perasaan tulus tanpa memandang siapa dirinya.

Jean hanya tersenyum maklum. "Makasih ya, Om, Tante. Kapan-kapan aku main ke rumah. Makasih buat malem ini."

"Sama-sama, Cantik," balas mama Azka dengan senyum lembut. "Ya udah. Hati-hati ya, pulangnya. Kasih kabar kalau misalnya udah sampai. Nanti Tante minta nomor kamu ke Azka nggak apa-apa, kan?"

Astaga. Jean hampir saja melebarkan senyumnya setelah mendengar pertanyaan dari mama Azka. Bahkan dulu, orangtua Adrian tak pernah memberinya penerimaan sehangat ini, sekalipun memang tak memberi penolakan secara langsung.

"Iya, Ma, iya. Nanti aku kasih nomornya Jean, tapi sekarang Jean harus aku antar pulang dulu, ya," sambar Azka saat menyadari kalau mamanya terlampau antusias. "Bye, Ma," pamitnya sambil memeluk sang mama.

Berdecak sesaat, Dinar membalas pelukan Azka dengan sayang. "Hati-hati di jalan. Jangan terlalu sering nggak ada kabar. Kamu itu kan, kalau nggak ditanyain suka banget ngilang."

Azka meringis mendengar protes dari mamanya. Setelah mengiyakan dengan gumaman, Azka kemudian berpamitan pada sang papa. Melihat itu, Jean pun ikut berpamitan dengan memberi senyum hangat dan sopan. Untuk mereka yang baru saja membuatnya tiba-tiba rindu akan hadirnya sebuah keluarga.

Karena suasana jalan yang cukup lengang di malam hari, sekitar empat puluh menit kemudian, mobil Azka sudah sampai di depan kostan Jean. Menyadari itu, Jean segera melepas sabuk pengamannya. Lalu menoleh ke Azka, sambil mengulas senyum terima kasih. "Makasih buat hari ini, ya."

Azka membalas senyuman itu. "Aku yang harusnya bilang makasih sama kamu. Semua omongan Papa, Mama sama Andin, nggak usah diambil pusing, ya. Anggap aja angin lalu," candanya.

Sejujurnya, Azka sedikit merasa tak enak saat keluarganya mendesak Jean secara tersirat. Bukannya tak suka, Azka justru bersyukur. Sesuai dengan dugaannya, keluarganya benar-benar menyukai Jean. Itu jelas sesuatu yang sangat baik. Hanya saja, Azka hanya takut kalau Jean merasa tak nyaman dengan semua tingkah keluarganya itu.

"Santai aja, Azka," balas Jean dengan tawa kecil. "Keluarga kamu baik banget. Mana mungkin aku anggap mereka angin lalu," ucapnya, lalu kembali berpamitan setelah mengatakan pada Azka untuk berhati-hati selama perjalanan pulang ke apartemen laki-laki itu.

"Je," panggil Azka sambil menahan gerakan Jean yang akan membuka pintu mobil. Azka lagi-lagi harus merutuk dalam hati, saat dadanya berdesir aneh pada sentuhan mereka ini. Menyadari kalau raut wajah Jean juga berubah, Azka langsung melepaskan pegangannya, kemudian berdeham pelan. "Aku punya sesuatu buat kamu."

Wajah Jean yang tadinya sedikit terkejut karena sentuhan tangan Azka, sontak berubah menjadi bingung. Lalu sedetik kemudian, kembali berganti terkejut saat melihat apa yang dimaksud sesuatu oleh Azka. Sebuah kalung dengan hiasan hati berbentuk kecil, yang beberapa hari lalu tidak dipilih Azka saat dirinya memberi dua model pilihan pada laki-laki itu. Azka lebih memilih kalung berbandul mutiara untuk kado yang diberikan pada Andin.

"Waktu kamu pulang duluan, aku balik lagi ke toko perhiasannya buat beli ini. Nggak tahu kenapa, pengin aja beliin ini buat kamu."

Jean masih menatap Azka dengan tatapan tak percaya.

"Setelah dipikir-pikir, pertama kali aku nanya sama kamu soal aku yang mau bener-bener serius deketin kamu, itu kayaknya biasa banget." Azka menarik napasnya. Merasa kalau kali ini, dirinya benar-benar gugup. "Mungkin kamu mikir kalau aku sedikit aneh. Tapi, Je, umurku bukan lagi umur yang pantes ngajak perempuan pacaran. Aku penginnya hubungan yang lebih serius dari itu. Nggak perlu sekarang. Yang penting kita sama-sama punya tujuan yang sama, mau saling kenal satu sama lain."

Lagi, kalimat Azka membuat Jean terperangah.

Menyadari Jean lalu terdiam, membuat Azka memaksa senyumnya, lalu perlahan membuka telapak tangan Jean untuk meletakkan kalung yang sejak tadi berada di tangannya. "Besok pagi aku antar kamu ke butik, ya?" tanyanya, masih berusaha menatap Jean. "Kalungnya disimpen aja. Kalau kamu emang mau kasih kesempatan sama kita, aku bakal seneng banget kalau kamu pake. Tapi kalau emang enggak ... disimpen atau dibuang aja nggak masalah, kok," lanjutnya. "Nanti aku bakal usaha lagi buat bikin kamu percaya sama aku." Azka mengulas senyum jenakanya. "Tenang aja. Aku belum capek buat usaha, kok. Kamu worth it buat itu semua."

Mati-matian Jean menahan rasa harunya. Kalau memang Azka tipe laki-laki yang pandai membuat perempuan terpesona oleh setiap sikap maupun perkataan, Azka benar-benar berhasil mempengaruhinya.

Membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering, Jean berdeham canggung. "Ng ... aku masuk dulu ya, Ka. Makasih buat malem ini."

Azka menganggukkan kepalanya perlahan. "Sure. Good night, Jeana."

Jean memaksa senyumnya, lalu benar-benar keluar dari dalam mobil Azka. Setelah melambaikan tangan, Jean memilih masuk ke dalam rumah indekosnya dengan langkah yang sedikit dipercepat, tak terpikir sama sekali kemungkinan bahwa bisa saja Azka masih memperhatikan setiap gerakannya. Apa yang saat ini sangat ingin dilakukan Jean adalah menelepon Olin dan juga Vio, lalu merenung di atas kasurnya, sambil memakai kalung pemberian Azka.

Sebab, yang Jean tahu harus dilakukannya hanya satu: memutuskan untuk membuka hati pada sosok laki-laki yang memperlakukannya dengan sangat baik. Menemukan sosok seperti Azka untuk kedua kali dalam hidupnya mungkin adalah sesuatu yang mustahil. Dan, Jean tak ingin bersikap munafik dengan melewatkan kesempatan itu hanya karena masih dibayang-bayangi masa lalu.

=+=

Dear kalian,

Sekadar info, ini part terakhir yang dipost di wattpad. Buat yang mau baca lanjutan cerita Love in Fiction ini bisa baca di akun karyakarsa ku di (@yennymrs) yaa. Kalau gak keberatan, kalian juga bisa follow akunku dan berlangganan ceritaku di sana.

Aku mau bilang makasih buat kalian yang udah mengikuti cerita ini. Terima kasih banyak.

Sampai bertemu di sana yaa.

Salam,
Yenny Marissa

23 Januari 2021

#2 | Love in Fiction [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang