[Bab 4]

14.3K 1.8K 30
                                    

Berkali-kali Azka harus mengedipkan kedua matanya saat melihat Jean keluar dari indekos perempuan itu. Dengan rambut panjang berwarna cokelat yang bagian bawahnya dibuat bergelombang, lalu dibiarkan menyamping di pundak, membuat Jean terlihat semakin anggun.

"Hai. Maaf, ya. Aku nggak tahu harus pake baju apa. Jadi aku pake dress begini aja. Biar aman." Jean menjelaskan dengan senyuman sedikit kikuk.

Azka masih terpesona. Melihat dress yang dipakai Jean terlihat begitu sempurna membalut tubuh perempuan itu. Tidak ada potongan dengan belahan rendah, pun panjang dress-nya benar-benar hanya sedikit di atas lutut. Untuk ukuran perempuan yang tinggal di kota metropolitan—dengan pekerjaan seorang desainer muda, dress yang dipakai Jean jelas terlihat sangat biasa. Hanya saja, entah mengapa, di mata Azka saat ini, semua itu justru terlihat pas. Sederhana namun tetap menarik. Azka menyukainya.
"Cantik."

"Hah?"

Azka tergeragap. "Eh? Itu—" ucapnya lalu menarik napasnya sesaat, sebelum akhirnya mengulas senyum lebar. Azka berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tiba-tiba berirama lebih cepat dari biasanya. "Dress-nya bagus. Kamu cantik."

Lagi, Azka membuatnya merasa tak berkutik. "Makasih," balasnya, dengan senyum salah tingkah. "Mau jalan sekarang? Nggak enak sama keluarga kamu kalau sampai kita terlambat."

Mereka lalu segera masuk ke dalam mobil Azka, setelah Azka menanyakan paper bag yang dibawa Jean sejak keluar dari indekos perempuan itu tadi—yang ternyata isinya adalah kado untuk Andin.

"Sebenernya, hari ini bukan sekadar rayain ulang tahunnya Andin, tapi sekalian ucapan syukur karena dia lagi hamil tiga bulan. Waktu denger kabar itu, rasanya seneng banget sebentar lagi bakal punya keponakan," kata Azka dengan senyuman bahagia.

Jean menoleh mendengar cerita Azka barusan. Sekalipun sudah pernah mendengar sekilas tentang adik satu-satunya laki-laki itu. Tapi tetap saja informasi soal kehamilan Andin, adalah hal yang baru didengarnya. Sebab yang diketahuinya soal Andin dari Azka adalah umur adik laki-laki itu yang lebih muda setahun dari dirinya, dan sudah menikah sekitar enam bulan yang lalu.

Azka hanya bisa merutuk tanpa suara. Ia bertanya dalam hati, mengapa dirinya mengatakan hal tak penting seperti tadi hanya untuk mengatasi kegugupannya? Benar-benar bodoh!

"Wah, selamat ya! Aku ikut seneng dengernya." Jean menanggapi sebisanya. Basa-basi bukanlah hal yang biasa dilakukannya.

Kalimat itu dibalas Azka dengan ulasan senyum, kemudian mulai menyalakan mobilnya. Ia berujar dengan tulus. "Pokoknya, makasih ya, karena udah nggak nolak ajakan aku malem ini."

Jean balas tersenyum, lalu kembali menatap ke depan.

"Oh, iya. Aku udah bilang kalau nanti ada Papa sama Mama aku, kan?"

Menggigit bibirnya pelan, Jean mengangguk kecil. Iya, Jean tahu. Dan sekarang Jean mulai dilanda kegugupan! Tarik napas, buang pelan-pelan. Jean mengingatkan dirinya sendiri untuk tenang. Pokoknya, di sana nanti, ia tak boleh mempermalukan diri sendiri.

Azka menyadari kegugupan yang sedang melanda perempuan di sebelahnya, tapi itu sedikit melambungkan harapannya. Jika Jean merasa gugup, bukankah itu berarti Jean merasa bahwa bertemu dengan keluarganya adalah sesuatu hal yang penting? Iya, kan?

"Papa sama Mamaku baik, kok. Aku juga udah pernah beberapa kali cerita tentang kamu ke mereka. Mereka antusias banget buat ketemu kamu."

Mata Jean melebar. "Kamu—apa?"

Azka justru melebarkan senyumnya dengan lirikan kecil, sambil memutar kemudinya untuk berbelok ke kanan. "Aku bilang kalau aku lagi deketin perempuan. Cantik. Terus mereka minta dikenalin ke kamu. Biasalah, mereka udah pengin banget punya menantu."

#2 | Love in Fiction [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang