1. RAINA: Semua Orang Menggilai Turnamen Bulutangkis

389 53 70
                                    

Kami sedang mendengarkan pembahasan terakhir tentang kelainan-kelainan pada nukleus ketika suara gemerisik serentak terdengar di kelas. Bisik-bisik gelisah terdengar keras di sekelilingku. Harusnya mereka tidak perlu berbisik. 

Jam dinding besar yang tergantung tepat di atas kepala pembimbing harian kami, Anung Pramana, menunjukkan jam delapan lebih enam ... tidak, tujuh menit. Seharusnya kelas memang sudah berakhir. Tapi kelebihan waktu tujuh menit bagiku bukan masalah besar. 

Aku menoleh ke sekeliling dan menemukan semua orang  tampak sudah siap terbang menuju pintu. Ini baru jam delapan. Toleransi kelaparan untuk makan malam harusnya pukul sembilan, maksimal pukul sepuluh. Anehnya, mereka kompak sekali. Oke, itu bukan urusanku. Urusanku yang sebenarnya adalah, konsentrasiku buyar. Padahal, Biologi Sel adalah topik yang menarik. Dan Anung Pramana adalah pencerita andal. Dia ilmuwan muda dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Aku tidak tahu apa semua ilmuwan LIPI bisa bercerita seperti Anung Pramana tanpa terdengar membosankan. Dia membuat sains terdengar seperti cerita dongeng yang membuatmu ingin mendengarkannya sampai besok pagi. Satu-satunya yang kukhawatirkan saat ini adalah jika kota kami secara tidak terduga disinggahi gempa hebat, sehingga jam dinding raksasa itu jatuh menimpa Anung Pramana.

Kulirik arlojiku dan tiba-tiba aku merasa gelisah. Aku baru teringat kalau ternyata juga punya urusan. Meski aku tidak pernah keberatan jika harus mendengarkan ceramah Anung Pramana sampai jam sepuluh malam, tapi ini benar-benar urusan penting. 

Ketika menoleh ke luar jendela, yang ada hanya gelap dan tetes-tetes hujan yang jatuh di kaca jendela. Aku membayangkan Papa, menyeduh kopi sendirian di dapur, mendengarkan hujan sambil menyalakan televisi dan menonton apa pun yang ditayangkan di sana, atau membayangkan hari tuanya. Dan Mama, entah di sudut kota yang mana dan bersama siapa. Dan Mbak Ayu, yang mungkin sedang bereksperimen dengan resep baru agar bisa pamer padaku ketika aku pulang. Sekarang adalah jam memasak Mbak Ayu. Dan Steffie, apa dia sudah keluar rumah? Malam ini kami ada janji penting. Aku tidak ingin membuatnya menunggu. Dia selalu menungguku. Aku sering terlambat, dan Steffie selalu datang lebih cepat kapan pun kami berjanji untuk bertemu.

"Kalau tidak ada pertanyaan," kata Anung Pramana, akhirnya. Pandangannya memindai seisi kelas yang untuk sesaat menjadi tenang. "Kalian boleh buru-buru ke lobi. Pertandingan final Malaysia Open mungkin sudah mulai dari tadi."

Anung Pramana tersenyum penuh pengertian. Seisi kelas tertawa dan bertepuk tangan, kecuali aku. Sejak kapan siswa kelas olimpiade punya waktu untuk nonton turnamen bulutangkis di televisi? Sepertinya, cuma aku saja yang tidak punya ketertarikan khusus pada benda bernama "televisi" itu.

Aku membereskan meja, lalu secepat mungkin menjejalkan buku dan alat tulis ke dalam ransel.  Ada hal yang jauh lebih besar dari sekadar menonton orang-orang mengejar-ngejar kok yang dihantam ke sana ke mari di lapangan sempit, sampai paru-paru mereka sesak. Aku baru saja menggantung ransel ke pundak dan berdiri dari bangku ketika Arumi mencengkeram pergelangan tanganku. Dia siswa SMA Dharmawangsa. Aku tidak pernah mengobrol dengannya, tapi dia selalu tampak ingin mengobrol denganku. Dan aku tidak tahu kenapa. Biasanya, orang-orang tidak ingin berbicara baik-baik padaku. Tapi Arumi selalu mengajakku berbicara sambil mengulas senyum yang, akan membuat orang-orang merasa bersalah kalau sampai mengabaikannya. 

"Na, kamu nggak ikut kita nonton di lobi? Arlingga Vanega lolos ke final. Dia itu anak Darbantara juga. Kenal, nggak? Harusnya sih, kenal."

Darbantara adalah singkatan dari Dharma Bakti Nusantara. Itu sekolahku: salah satu sekolah terbaik di kota ini. Sedang Ringga, Aringga, Vana ... siapa tadi katanya?

"Nggak kenal," kataku. "Duluan, ya!"

Aku siswa pertama yang meninggalkan kelas. Ketika tiba di lobi gedung serbaguna LIPI, televisi sedang menayangkan pertandingan final bulutangkis yang digilai semua orang. Begitu mendekati pintu keluar gedung, teman-teman sekelasku terdengar menyerbu lobi degan berisik. 

Pintu otomatis membuka ketika aku berdiri tepat di depan pintu kaca. Aku menoleh sebentar dan melihat Anung Pramana berdiri di tengah kerumunan peserta bimbingan olimpiade Biologi lainnya. Dia ikut mengamati layar televisi dengan antusias. Aku memperhatikannya selama beberapa saat. Dia menyerukan kekecewaan seperti semua orang yang berada di sana. Pandanganku menangkap Arumi. Dia sedang memperhatikanku. Buru-buru kualihkan pandangan dan bergegas meninggalkan gedung. Di belakangku, seorang pewarta olahraga menyiarkan jalannya pertandingan. Pemain Indonesia tertinggal enam angka dari pemain China. 

Begitu melangkah ke luar gedung, aku langsung memasuki siraman gerimis. Ponselku berdering selagi aku berlari menuju parkiran untuk menemukan motorku. Aku meraihdari saku ransel lalu menempelkannya buru-buru di telinga. Di ujung sambungan, Steffie berbicara sambil terengah-engah. Suara sepatunya terdengar cepat, menghantam aspal. Kurasa dia berbicara sambil berlari.

"Kamu belum nyampe, 'kan, Na? Aku agak telat. Maaf."

"Lima belas menit lagi," sahutku. "tunggu di gerbang, ya!"

***

Halo!  Ini Amaya--iya, "Amaya yang itu"! Yang sudah meninggalkan cerita-ceritanya di sini cukup lama, sampai-sampai dia nyaris nggak punya muka untuk kembali lagi. 

Kalau ada frasa yang bermakna lebih untuk mengungkapkan terima kasih, saya akan memilih frasa itu untuk kalian, karena sudah menambahkan cerita ini dalam daftar baca atau perpustakaan kalian. Karena itulah saya kembali dan melanjutkan cerita ini. Petuah bijak bilang, kita harus menyelesaikan apa-apa yang sudah kita mulai. Hehe.... 

Yah, ada banyak perubahan di cerita ini. Bahkan bab pertamanya pun berubah total dari saat saya mempublikasikannya pertama kali. Tapi sejujurnya, saya lebih menyukai versi barunya. Semoga kalian juga, yaa :)

Selamat menunggu bab cerikutnya :)

Salam sayang,

Everybody's Boy & A Lone GirlOù les histoires vivent. Découvrez maintenant