Part 3 - Fainted

11.5K 1.5K 156
                                    

Aku melangkah memasuki Starbucks. Aku memiliki janji dengan Joshua Wellman, editor dari Penerbit Dove, jam 15.00 hari Minggu ini. Tanganku sedikit berkeringat, aku benar-benar gugup. Namun ketimbang memikirkan pertemuan ini, aku justru memikirkan bagaimana rupa Joshua Wellman. Nama depannya seperti seorang lelaki muda, namun nama belakangnya terdengar seperti seorang paruh baya. Ah, siapa juga yang peduli dengan rupanya? Kembali ke dunia nyata, Sarah. Ada naskah yang harus kau diskusikan.

Aku segera memesan minuman, dan mencari tempat duduk. Ia bilang ia datang dengan jaket cokelat tua. Aku menatap seisi Starbucks, berusaha mencari sesosok lelaki dengan jaket cokelat. Kurasa itu dia, duduk di dekat jendela. Segera aku menghampirinya.

"Permisi, Anda Joshua Wellman?" tanyaku.

Ia menoleh, dan senyuman tipis terulas di bibirnya. "Ah, ya. Kau pasti Sarah Ranzley. Silahkan duduk, Nona."

Aku duduk di hadapannya. Joshua Wellman sepertinya berusia akhir tiga puluhan, meski penampilannya membuatnya terlihat sedikit lebih tua. Namun kurasa ia memang masih berusia akhir tiga puluh. Ia terlihat berwibawa dan ramah.

"Kau terlihat lebih muda dari yang kubayangkan," komentar Joshua ramah. "Kau sudah memesan minuman?"

"Ya," balasku.

Ia kembali tersenyum. "Ah, baiklah. Aku ingin sekali membahas naskah novelmu. Boleh kita mulai?"

Aku tersenyum kikuk. "Eh, ya. Tentu."

"Jujur saja, aku benar-benar menyukai alur naskahmu. Terasa begitu nyata, pewatakan tokoh-tokoh benar-benar mengagumkan. Bagaimana kau bisa membuat tokoh seorang OCD dan homicide sedemikian rupa? Pembawaanmu dan gaya bahasanya benar-benar mengagumkan." Ia bertanya dengan mata berbinar.

"Anda berlebihan," ujarku pelan sambil tersenyum. "Aku gemar membaca hal-hal berbau psikologi di internet. Dan aku berpikir untuk membuat seorang tokoh dengan gangguan psikis."

"Ah, aku lihat. Aku menunjukkan naskahmu ke salah satu kawan serta istriku. Mereka juga menyukainya dan menyarankanku untuk menerima naskahmu untuk diterbitkan," kata Joshua. "Namun sebagai editormu, tentu aku akan sedikit mengeditnya. Namun hanya sedikit. Untuk menyempurnakannya."

"Tentu saja. Silahkan."

Aku mendengar namaku dipanggil oleh barista. Aku mengatakan permisi sesaat untuk mengambil cookies and cream frapucinno-ku, dan kembali duduk.

Kami membincangkan banyak hal. Dimulai dari alur, penokohan, hingga sampul buku. Joshua merupakan editor yang sangat baik. Ia nampaknya begitu bersemangat akan naskahku kali ini, dan aku benar-benar bersyukur akan hal itu. Ia bahkan berkata, sampul bukuku akan dibuatkan khusus, dan akan dibuat sesuai seleraku. Ia bilang kami akan bertemu lagi dengan illustrator yang akan mendesain sampulnya nanti, agar kita bisa menentukan desainnya secara rinci. Aku benar-benar bersemangat. Tak kusangka Lunatic's Darling akan segera terbit!

"Aku akan membicarakannya kembali dengan tim redaksi. Mereka juga sangat setuju jika naskah ini terbit," kata Joshua. "Perkiraanku, ini bisa masuk ke best seller."

"Anda terlalu melebih-lebihkan," balasku dengan senyuman tipis.

"Tetapi itu memang kenyataannya. Naskahmu sangat berpotensi," kata Joshua. "Apa kau pernah mengirimkan naskah LD ke penerbit lain?"

Aku menggeleng. "Tidak. Ini kali pertamaku. Itu pun karena dipinta temanku," aku tersenyum geli begitu teringat dengan Linda. "Aku memiliki banyak sekali naskah novel di laptopku, namun tak pernah berniat mengirimnya ke penerbit."

"Kau punya naskah lain juga?" tanyanya tertarik. "Aku penasaran sekali. Apa kau berniat akan mengirimkan yang lain?"

"Mungkin," jawabku sedikit ragu. "Jika yang ini sukses, mungkin aku akan mulai menerbitkannya satu persatu."

Through His WorldOnde histórias criam vida. Descubra agora