Part 4 - Unknown

12K 1.5K 317
                                    

Mataku mengerjap terbuka, pandanganku terasa terputar saat itu juga. Aku meringis kesakitan merasakan pusing yang mendera di kepalaku, namun kemudian, beberapa saat kemudian, rasa itu hilang, dan pandanganku berangsur-angsur menjadi jelas.

Kutegakkan tubuhku kemudian menatap sekeliling. Dahiku berkerut begitu menyadari aku tidak berada di kamarku. Tempat apa ini? Sangat asing. Baiklah, apa yang terjadi semalam? Memoriku mulai melayang-layang, dan seketika aku teringat, bahwa aku terjatuh, lalu semuanya menjadi gelap, dan aku terbangun di sini. Namun yang aneh, mengapa aku bisa terbangun di sini?

Atau mungkinkah aku menghayal, bahwa semalam aku tidur di kamar, bukan terjatuh? Tetapi ini bukan kamarku. Aku ingat betul ketika kepalaku terhantam sesuatu yang kurasa adalah lantai.

Kamar ini tak besar, namun tak bisa dikatakan kecil juga. Ranjang berukuran single, dengan nakas di samping ranjang, sementara selimut cokelat muda menutupi dari perut hingga kakiku. Dinding kamar berwarna krem. Namun terkesan nyaman, ditambah sebuah lukisan angsa yang sangat indah tergantung di dinding. Tak ada perabotan lain selain ranjang, nakas, lukisan, lampu tiang tinggi, dan tiang gantung untuk topi dan mantel.

Rasa nyut-nyutan masih mendera di sisi kepalaku. Kepalaku menghantam lantai, atau meja dapur, atau apalah itu. Yang jelas kepalaku terbentur keras. Astaga, sakit sekali. Dan berusaha berpikir tempat apa ini membuatku semakin pusing.

Tiba-tiba, pintu coklat itu terbuka, membuatku seketika terkesiap. Seorang lelaki menyembulkan kepalanya dari balik pintu, melirikku. Tampak ia tak kalah terkejut. Namun kemudian, ia tersenyum kaku, melangkah masuk ke dalam kamar, membuatku buru-buru menyibak selimut, hendak bangkit. Namun tiba-tiba ia mengangkat tangannya.

"Hey, jangan bangkit dahulu. Aku tak akan macam-macam." Suaranya terdengar lembut. Aku menatapnya dengan was-was, sementara ia menghampiriku, duduk di pinggir ranjang. Sontak aku pun meringsut menjauh.

"S-siapa kau? Dan di mana aku?"

Ia menoleh ke arahku, dan tersenyum tipis. "Maafkan aku, Nona, telah membawamu dengan lancang ke sini. Namun kemarin, aku menemukanmu tak sadarkan diri di gang, dan aku khawatir akan ada sesuatu yang buruk terjadi, jadi aku memutuskan membawamu ke rumahku. Sungguh aku tak memiliki niat apapun."

"Pingsan?" Aku mengerutkan keningku. "Tunggu, jam berapa sekarang?"

"Pukul 7.30. Kau tergeletak begitu saja di gang, tepatnya sekitar pukul 11.00 malam."

Aku terdiam. Mengapa semuanya terasa begitu aneh? Lelaki itu masih berdiri sambil menatapku. Aku menatapnya penuh tanya. "Dan kau menemukanku di sebuah gang?"

"Ya, Nona. Sangat tidak baik meninggalkan seorang gadis sepertimu tak sadarkan diri di gang sepi seperti itu. Aku sungguh minta maaf lancang membawamu ke kediamanku. Sungguh, aku tak memiliki niat jahat." Ia kembali meminta maaf.

Aku mengusap tengkukku dengan kikuk. "Er, terima kasih."

"Sama-sama," Ia kembali menyunggingkan senyumnya. Kemudian ia tersentak, dan merutuki dirinya. "Ah, astaga, aku lupa mengenalkan diriku. Aku Aiden. Dan kau?"

Untuk sesaat, aku tertegun ketika mengetahui siapa namanya. Ah, ada ribuan orang yang bernama Aiden di luar sana. Aku tersenyum tipis. "Sarah."

"Oh, oke. Nama yang indah," pujinya, lagi-lagi, dengan senyuman yang tersungging di bibirnya. "Aku baru saja membuat sarapan. Ayo, kau pasti lapar."

Dengan kikuk, aku turun dari ranjang, dan mengikutinya dari belakang. Rumah Aiden terlihat sangat nyaman, meski tak besar. Beberapa perabotan dan ornamen rumahnya terbuat dari kayu berwarna coklat gelap, sementara di sepanjang lorong, tergantung beberapa lukisan yang indah.

Through His WorldWhere stories live. Discover now