Take - 1 -

64K 4.9K 101
                                    

Aku masih kehilangan separuh fokusku setelah keluar dari ruangan bapak direktur pemasaran yang terhormat dan tertampan di kantor ini. Tanpa kusadari aku sudah sampai di kubikelku dan duduk terhenyak dengan kening mengerut dalam.

Aku mengerjap sekali dua kali dan mencubit lenganku. Terasa sakit. Ini bukan mimpi, ya?

Melirik ke arah ruangan yang tadi kumasuki, Alisa keluar dengan wajah datarnya. Oh ya, tadi Alisa yang adalah sekretaris dari Arvind Bayanaka Gumala menyela pembicaraan kami. Jadi sebelum aku berhasil menanyakan maksud sebenarnya dari kata-katanya, aku sudah digiring paksa untuk keluar karena yang mulia Arvind harus menghadiri rapat, sementara Alisa tetap berada di dalam kantornya untuk mengatur berkas yang tidak rapi sama sekali.

Gosip tentang Pak Arvind yang kerap kali kehilangan berkas miliknya ternyata benar. Putusku.

Tidak ada sedikit pun bayanganku mengenai bom molotov yang dijatuhkan Pak Arvind beberapa saat yang lalu. Aku memang mengaguminya. Tapi ya ampun, hampir semua kaum hawa yang memiliki vagina di kantor ini pun mengaguminya. Kecuali Alisa yang selalu saja berekspresi datar menghadapinya. Tapi Alisa adalah Alisa. Makhluk dari planet antah berantah dengan penampilan menarik yang menolak didekati kaum adam mana pun. Bahkan sederetan tim gosipku berspekulasi bahwa Alisa adalah seorang lesbian yang sampai saat ini tidak bisa dibuktikan. Gosip adalah gosip. Mereka diciptakan berkebalikan dari fakta walaupun mungkin beberapa di antaranya adalah fakta. Entahlah.

Tanpa kusadari, Alisa ternyata berjalan mendekat. Membuatku yang sedang termenung di kubikel mendongak ke arahnya. Dia lalu menyerahkan secarik kertas yang terlipat.

"Pak Arvind memintaku menyerahkannya kepadamu."

Aku mengambil kertas itu. Mengucapkan terima kasih tanpa basa basi dan Alisa, ehm... seperti menyunggingkan senyum tipis. Begitu tipis sampai aku tidak bisa memastikan dia tersenyum atau hanya otot wajahnya yang berkedut.

Alisa tidak suka basa basi dan itulah yang membuatnya hampir selalu sendirian kecuali saat bersama dengan Pak Arvind.

Melihat kedekatan Pak Arvind dengan Alisa, kukira awalnya mereka menjalin afair. Pak Arvind tentu saja tidak bodoh karena tidak melirik wanita semenarik Alisa saat dia menjadi sekretarisnya. Mereka sering ditugaskan di luar kota bersama dan meeting bersama. Aku tidak protes, sungguh. Karena kupikir mereka memang pasangan yang serasi.

Lagi pula, Alisa bukan tipe orang yang suka menganggap rendah orang lain ataupun tipe Quenn Bee. Dia hanya orang yang sulit bersosialisasi. Jadi tidak ada masalah baginya jika memang hal itu terjadi.

Yah, cukup tentang Alisa.

Kemudian aku membuka secarik kertas dengan harum kayu manis itu dengan was-was. Di dalamnya seuntai tulisan rapi Pak Arvind tercetak dengan rapi dan tegas.

Kita perlu bicara sepulang kerja.

-A

Aku menghela napas panjang. Hanya itu?

"Sstss....."

Aku menoleh ke asal suara. Bianca, teman yang duduk di samping kubikelku memanggil.

Aku menaikan sebelah alisku. Aneh sekali dia berbisik saat memanggilku. Apalagi dia tahu bahwa bos besar sedang tidak di tempatnya. Lagi pula, ruangan Pak Arvind berada di depan sana dengan dibatasi oleh kaca-kaca dengan horizontal blind. Dalam keadaan lain, Bianca bahkan sampai melempariku dengan kertas, tutup bolpoin, atau kulit kacang.

Aku berdecak. "Apa?"

Bianca melihat ke kiri dan kanan lalu mendekat ke arahku.

"Kamu tahu jika Pak Arvind tidak ada di ruangannya, Bianca. Tidak perlu berpura-pura seperti agen intelijen yang menyamar," gerutuku melihat tingkahnya. Bianca merupakan drama queen di kantor ini. Semua orang tahu itu dan dia paling pintar membuat masalah kecil menjadi besar dan sebaliknya. Namun walaupun begitu, dia orang yang baik dan asal tidak menganggunya, maka tidak akan didaulat menjadi salah satu tokoh dari drama yang dia ciptakan.

Take That [End]Where stories live. Discover now