Take - 3 -

41.3K 3.9K 81
                                    

Aku mengerang ketika membuka mata dan menemukan sinar matahari menembus jendela kamarku. Mengerjap beberapa kali, akhirnya aku bisa bangun sepenuhnya.

Setelah mencuci muka dan mengikat rambut panjangku dengan asal --masih dengan menggunakan piyama bergambar keropi-- aku turun ke lantai dasar dan menemukan kedua orang tuaku dan Kilua adikku, sedang bersiap menikmati santap pagi.

Ibu menatapku dengan pandangan mencemooh melihat penampilan khas bangun tidur di saat weekend yang tidak berubah tiga tahun belakangan ini.

Setiap hari Senin sampai Jumat aku tidak mendapatkan kebebasan untuk bermalas-malasan. Dan untuk agenda malas, piyama adalah salah satu setelan yang wajib digunakan. Terima kasih bagi penemu piyama dengan bahan katun yang lembut dan hangat.

"Pagi Pa," sapaku sembari mencium pipi pria berumur lebih dari setengah abad di depanku. Papa mengangguk tanpa melepaskan matanya dari koran yang sedang dia baca.

"Pagi Ma," kemudian aku beralih ke arah dapur. Mencium pipi Mama sekilas sebelum menyeringai ketika mendapatkan sorot menegur dari Mama. Dengan santai aku membuka kulkas. Mengambil susu kotak, menuangnya ke dalam gelas dan mengambil sebuah apel segar.

"Tumben kamu sudah bangun?" Mama bertanya sambil lalu sembari membawa telur dadar dan cah kangkung ke meja makan. Aku mengikutinya sambil menyeringai lebar. Saat hari Sabtu dan Minggu aku memang jarang bangun untuk sarapan pagi bersama. Aku lebih memilih tidur hingga pukul delapan atau sembilan.

Sebelum duduk, aku mengacak rambut Kilua yang sedang sibuk dengan buku astronomi setebal KBBI edisi keempat. Membuatnya mendengkus sebal dan memberikan tatapan membunuhnya yang kutanggapi dengan kekehan. Adik kecilku benar-benar menggemaskan.

"Jangan ganggu adikmu, Nay."

Aku menyeringai lebar. Masih tersenyum geli melihat Kilua yang menutup bukunya dan mulai mengambil makanan di depannya. Setali tiga uang dengan Kilua, Papa juga mulai menutup koran dan menyingkirkannya begitu Mama menyajikan masakannya yang luar biasa menggugah selera.

"Papa sama Mama malam nanti, ada acara?"

"Kenapa? Kamu mau bawa pacar kamu buat kenalan?" ledek Mama, membuatku tersedak apel yang masih kumakan. Oh my... Apa ini yang dinamakan intuisi seorang ibu?

Melihat tingkah lakuku yang mencurigakan, Papa memicingkan matanya padaku. Sekarang Papa juga memiliki intuisi seorang ayah. Lalu kemudian apa? Intuisi seorang adik?

Aku melirik ke arah Kilua, yang benar saja sedang memicingkan matanya ke arahku seolah berkata, "Pria malang mana yang dibawa kakaknya yang resek ke sini?"

"Eh itu, Pa, Ma," kataku tergagap. Membuat perhatian ketiga orang yang paling kusayangi di muka bumi ini terarah padaku. Sepertinya dari kemarin aku terlalu banyak mendapat perhatian berlebihan.

Aku menelan salivaku dengan susah payah. Kedua tanganku bertaut di bawah meja dan mataku mengembara ke segala arah menghindari ketiga pasang mata yang kini menatapku penuh minat. Bagus sekali.

Bertekad menguatkan niat, aku menarik napas panjang sekali. Meneguk sisa susu di gelas hingga tandas dan menatap lurus ke arah Papa yang duduk persis di depanku dan Mama yang duduk di samping Papa.

"Pa, Ma, nanti malam akan datang seseorang yang berniat melamar Kanaya," kataku mencoba membuat nada sesantai mungkin.

"Siapa? Radit ya? Tomi? Angga?" cecar Mama kemudian. Sementara Papa melengos mendengar penuturanku. Memilih meminum teh hangat yang sudah tersedia di atas meja makan dan Kilua yang mulai menyantap makanannya. Ada apa dengan reaksi keluargaku?

Take That [End]Where stories live. Discover now